I.
Pendahuluan
Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa
deposit kalsium karbonat yang dihasilkan terutama oleh hewan karang. Karang
adalah hewan tak bertulang belakang (Invertebrata) yang termasuk dalam filum
Cnidaria atau Coelenterata (hewan berongga). Karang (coral) umumnya
berasal dari ordo Scleractinia, subkelas Octocorallia, kelas Anthozoa. Satu
individu karang atau polip memiliki ukuran yang bervariasi (1 mm hingga 50 cm)
namun umumnya berukuran kecil, misalnya karang dari genera Acropora, Anacropora,Montipora,
dan Pocillopora. Polip berukuran besar umumnya ditemukan pada
karang soliter, misalnya genus Fungia (Timotius, 2003).
Asosiasi-asosiasi organisme yang dominan hidup dan juga membentuk terumbu
adalah alga berkapur (coralline algae) (Dawes 1981; Supriharyono 2000).
Salah
satu keanekaragaman hayati yang hidup di laut adalah terumbu karang. Jumlah
jenis karang batu (hard coral) di Indonesia tercatat sebanyak 590 jenis,
yang didominasi oleh karang dari genus Acropora (91
jenis), Montipora (29 jenis) dan Porites (14
jenis) (Direktur Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007).
Terumbu
karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup
didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup
kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme – organisme yang dominan
hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan
algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu
karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral)
sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral
reef ) sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993dalam Wikipedia,
2009).
Terumbu
karang (coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni
utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh
ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang
terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan
mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel.
Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang
menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993) dalam(Wikipedia,
2009). Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik.
Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan
karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan
didaerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini
merupakan kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang
hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antara
karang hermatipik dengan zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata
unisular) seperti Gymnodinium microadriatum yang terdapat
di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis. Hasil
samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang struktur dan
bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis
atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu
perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu
bersifat fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan
pantai/laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke
dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup binatang karang membutuhkan
suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 °C (Nybakken, 1982).
Veron
(1995) dan Wallace (1998) dalam Anonim
(2010) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik
karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitive terhadap
perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi,
eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian
halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda
perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching)
yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat
selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan
Indonesia adalah 2-3 oC di atas suhu normal. Selain dari
perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu
karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) dalam Anonim
(2010) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan
(mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan
sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah
kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi
terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap
karang.
Meskipun
beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang
membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan
dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang
mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10oC.
Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan
suhu sekitar 25oC sampai 29oC. Karena sifat hidup inilah
maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984).
II.
Klasifikasi Karang Batu
Beberapa
Genus Karang yang Umum di Indonesia Berdasarkan survei karang yang pernah
dilakukan di beberapa daerah di Indonesia oleh beberapa ahli karang, ternyata
genus karang yang umum dijumpai di perairan Indonesia antara lain meliputi :
1.
Genus Acropora (Familia Acroporidae)
Genus
Acropora memiliki jumlah jenis (spesies) terbanyak dibandingkan genus lainnya
pada karang. Karang jenis ini biasanya tumbuh pada perairan jernih dan lokasi
dimana terjadi pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya bercabang dan tergolong
jenis karang yang cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap sedimentasi dan
aktivitas penangkapan ikan.
Karakteristik
bentuk rangka kapur genus Acropora antara lain ialah:
• Koloni biasanya bercabang, jarang
sekali menempel ataupun submasif.
• Koralit dua tipe, axial dan radial.
• Septa umumnya mempunyai dua lingkaran.
• Columella tidak ada.
• Dinding koralit dan coenosteum rapuh.
• Tentakel umumnya keluar pada malam
hari
• Genus Pocillopora merupakan
satu-satunya genus pada karang yang memiliki verrucae. Hal tersebut menjadi
ciri khas yang membedakannya dengan genus-genus karang yang lain.
2. Genus Montipora (Familia Acroporidae)
Genus
Montipora sering ditemukan mendominasi suatu daerah. Sangat tergantung pada
kejernihan suatu perairan. Biasanya berada pada perairan dangkal berkaitan
dengan intensitas cahaya yang diperolehnya dengan bentuk koloni berupa
lembaran.
Karakteristik
bentuk rangka kapur genus Montipora ini antara lain ialah:
• Bentuk koloni bervariasi, ada yang submasif,
laminar, menempel ataupun bercabang.
• Ukuran koralit umumnya kecil.
• Septa umumnya memiliki dua lingkaran dengan bagian
ujung (gigi) muncul keluar. Apabila disentuh maka akan terasa tajam.
• Tidak memiliki columella.
• Dinding koralit dan coenosteum keropos. Coenosteum
memiliki beberapa tipe: Papillae bila coenosteum lebih kecil dibandingkan
dengan ukuran koralit, dan tuberculae jika sebaliknya. Apabila berkelompok
mengelilingi koralit disebut thecal papillae dan juga ada thecal tuberculae.
• Tentakel umumnya keluar pada malam hari.
Karang yang struktur rangka kapurnya
mirip dengan genus Montipora adalah genus Porites, dan kadangkala sulit untuk
membedakannya. Namun pada pengamatan bawah air, struktur internal pada koralit
karang genus Porites lebih jelas terlihat dibandingkan dengan karang genus
Montipora, dan sebagian besar Montipora memiliki coenosteum yang lebar,
sementara Porites tidak memiliki coenosteum.
3. Genus Pocillopora (Familia Pocilloporidae)
Karakteristik bentuk rangka kapur
genus Pocillopora antara lain ialah:
•
Koloni umumnya berbentuk submasif, bercabang, ataupun bercabang dengan bentuk
pipih.
•
Koloni ditutupi oleh verrucae.
• Koralit cekung ke dalam pada verrucae.
• Koralit mungkin tidak memiliki struktur dalam atau
memiliki columella yang kurang berkembang.
• Memiliki dua lingkaran septa yang tidak sama.
• Coenosteum biasanya ditutupi oleh granules
(butiran).
• Tentakel umumnya keluar hanya pada malam hari
•
Genus Pocillopora merupakan satu-satunya genus pada karang yang memiliki
verrucae. Hal tersebut menjadi ciri khas yang membedakannya dengan genus-genus
karang yang lain.
4.
Genus Seriatopora (Familia
Pocilloporidae)
Karakteristik
genus Seriatopora antara lain ialah:
• Ciri khas koloninya berbentuk compact
bushes dengan cabang yang halus. Koralit tersusun rapi (neat rows) sepanjang
cabang.
• Koralit sebagian besar tenggelam
(immerse) dan struktur internal tidak begitu berkembang kecuali columella.
• Septa umumnya berjumlah satu, namun
kadangkala terdiri atas dua lingkaran, dan telah berkembang dan menyatu hingga
ke columella.
• Coenosteum ditutupi oleh spinules
(duri-duri) yang halus.
• Struktur rangka kapur genus
Seriatopora hampir mirip dengan genus Stylophora, tetapi dapat dibedakan,
dimana percabangan genus Seriatopora lebih halus (kecil) dibandingkan dengan
genus Stylophora.
5.
Genus Favia (Familia Faviidae)
Karakteristik
bentuk rangka kapur genus Favia antara lain ialah:
• Bentuk koloni umumnya masif, flat atau
dome-shaped.
• Koralit sebagian besar monocentric
(satu columella dalam satu corallite) dan plocoid.
• Memperbanyak koralit melalui
pembelahan intratentacular.
• Tentakel umumnya keluar hanya pada
malam hari.
• Struktur rangka kapur genus Favia
mirip dengan genus Favites tapi dapat dibedakan dengan perbedaan tipe koralit
karang. Tipe koralit Favites tergolong ceroid, sedangkan tipe koralit Favia
tergolong plocoid.
6. Genus Favites (Familia Faviidae)
Beberapa
karakteristik bentuk rangka kapur dari genus Favites :
• Bentuk koloni umumnya masif, flat atau
dome-shaped.
• Koralit berbentuk monocentric dan
ceroid, beberapa berbentuk subplocoid.
• Pada koloni karang ini, antar dua
koralit dibatasi oleh satu dinding koralit.
7. Genus Porites (Familia Poritidae)
Beberapa
karakteristik bentuk rangka kapur dari genus Porites :
• Bentuk koloni ada yang flat
(foliaceous atau encrusting), masif atau bercabang.
• Koloni yang masif berbentuk bulat
ataupun setengah bulat. Koloni masif yang kecil akan terlihat berbentuk seperti
helm atau dome-shaped, dengan diameter dapat mencapai lebih dari 5 m.
• Koralit berukuran kecil, cekung ke
dalam (terbenam) pada badan koloni dengan lebar Calice kurang dari 2 mm.
• Tentakel umumnya keluar pada malam
hari.
Genus
Porites ini mirip dengan genus Montipora dan Stylaraea, namun memiliki beberapa
perbedaan. Perbedaan antara Porites dengan Montipora ialah bahwa Porites
memiliki bentuk pertumbuhan yang lebih beragam, koralit pada Porites lebih
besar, kokoh dan tidak ada elaborate thecal (perpanjangan dinding koralit).
Genus Montipora mempunyai dua tipe coenosteum, yaitu reticulum papillae dan
tuberculae. Selain itu, Porites memiliki koralit yang umumnya selalu terlihat
septanya, sementara Montipora hanya memiliki perpanjangan gigi septa yang
menonjol keluar sehingga terasa runcing dan kasar bila tersentuh.
8.
Genus Goniopora (Familia Poritidae)
Bentuk koloni columnar , masif
dan encrusting.
• Koralit tebal tapi berdinding
keropos dan calice memiliki septa yang kokoh dan memiliki columella.
• Polip genus Goniopora berukuran
panjang dan keluar baik pada malam maupun siang hari.
• Polip genus Goniopora memiliki
24 tentakel.
Spesies
Terumbu Karang
Beberapa Spesies Karang Batu
di Indonesia dan
Klasifikasinya :
1. Acropora cervicornis
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Cnidaria
Class
: Anthozoa
Ordo
: Scleractinia
Family :
Acroporidae
Genus
:
Acropora
Spesies
: Acropora
cervicornis
Acropora cervicornis |
Kedalaman :
Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri : Koloni dapat
terhampar sampai beberapa meter, Koloni arborescens, tersusun dari
cabang-cabang yang silindris. Koralit berbentuk pipa. Aksial koralit dapat
dibedakan.
Warna
: Coklat muda.
Kemiripan
: A.
prolifera, A. formosa.
Distribusi
: Perairan Indonesia, Jamaika, dan Kep. Cayman..
Habitat
: Lereng karang
bagian tengah dan atas, juga perairan lagun yang jernih.
2. Acropora acuminata
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Cnidaria
Class
: Anthozoa
Ordo
: Scleractinia
Family
: Acroporidae
Genus
:
Acropora
Spesies
: Acropora acuminata
Acropora acuminata |
Kedalaman :
Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri : Koloni bercabang. Ujung cabangnya
lancip. Koralit mempunyai 2 ukuran.
Warna : Biru muda atau coklat.
Kemiripan : A. hoeksemai, A abrotanoides.
Distribusi : Perairan Indonesia, Solomon, Australia, Papua New Guinea dan Philipina.
Warna : Biru muda atau coklat.
Kemiripan : A. hoeksemai, A abrotanoides.
Distribusi : Perairan Indonesia, Solomon, Australia, Papua New Guinea dan Philipina.
Habitat :
Pada bagian atas atau bawah lereng karang yang jernih atau pun keruh.
3. Acropora micropthalma
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Cnidaria
Class
: Anthozoa
Ordo
: Scleractinia
Family
: Acroporidae
Genus
:
Acropora
Spesies
: Acropora micropthalma
Acropora micropthalma |
Kedalaman
: Karang ini banyak dijumpai hidup pada
kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri :
Koloni bisa mencapai 2 meter luasnya dan hanya terdiri dari satu spesies.
Radial koralit kecil, berjumlah banyak dan ukurannya sama.
Warna : Abu-abu muda, kadang coklat muda atau krem.
Kemiripan : A. copiosa, A. Parilis, A. Horrida, A. Vaughani, dan A. exquisita.
Distribusi : Perairan Indonesia, Solomon, Australia, Papua New Guinea.
Warna : Abu-abu muda, kadang coklat muda atau krem.
Kemiripan : A. copiosa, A. Parilis, A. Horrida, A. Vaughani, dan A. exquisita.
Distribusi : Perairan Indonesia, Solomon, Australia, Papua New Guinea.
Habitat
: Reef
slope bagian atas, perairan keruh dan lagun berpasir.
4. Acropora millepora
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Cnidaria
Class
: Anthozoa
Ordo
: Scleractinia
Family
: Acroporidae
Genus
:
Acropora
Spesies
: Acropora millepora
Acropora millepora |
Kedalaman
: Karang ini banyak dijumpai hidup pada
kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri :
Koloni berupa korimbosa berbentuk bantalan dengan cabang pendek yang seragam.
Aksial koralit terpisah. Radial koralit tersusun rapat.
Warna : Umumnya berwarna hijau, orange, merah muda, dan biru.
Kemiripan : Sepintas karang ini mirip dengan A. convexa, A. prostrata, A. aspera dan A. pulchra.
Distribusi : Tersebar dari Perairan Indonesia, Philipina dan Australia.
Warna : Umumnya berwarna hijau, orange, merah muda, dan biru.
Kemiripan : Sepintas karang ini mirip dengan A. convexa, A. prostrata, A. aspera dan A. pulchra.
Distribusi : Tersebar dari Perairan Indonesia, Philipina dan Australia.
Habitat
: Karang
ini umumnya banyak hidup di perairan yang dangkal.
5. Acropora palmate
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Cnidaria
Class
: Anthozoa
Ordo
: Scleractinia
Family
: Acroporidae
Genus
: Acropora
Spesies
: Acropora palmate
Acropora palmate |
Kedalaman :
Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 5-20 meter.
Ciri-ciri :
Koloni berbentuk cabang besar menyerupai tanduk rusa.
Warna
: Umumnya berwarna coklat muda sampai coklat kekuningan.
Distribusi :
Tersebar di Perairan Indonesia, Karibia, dan Bahama.
Habitat : Karang ini umumnya banyak hidup di perairan dangkal.
6. Acropora hyacinthus
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Cnidaria
Class
: Anthozoa
Ordo
: Scleractinia
Family
: Acroporidae
Genus
: Acropora
Spesies
: Acropora
hyacinthus
Acropora hyacinthus |
Kedalaman
: Karang ini banyak dijumpai hidup pada
kedalaman 15-35 meter.
Ciri-ciri : Koloni berbentuk datar tipis dan struktur halus di permukaan.
Warna : Coklat, hijau, merah muda.
Distribusi : Perairan Indonesia, Indo-Pasifik.
Habitat : Umumnya di lereng karang.
Ciri-ciri : Koloni berbentuk datar tipis dan struktur halus di permukaan.
Warna : Coklat, hijau, merah muda.
Distribusi : Perairan Indonesia, Indo-Pasifik.
Habitat : Umumnya di lereng karang.
7. Acropora echinata
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Cnidaria
Class
: Anthozoa
Ordo
: Scleractinia
Family
: Acroporidae
Genus
: Acropora
Spesies
: Acropora echinata
Acropora echinata |
Kedalaman
: Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman
3-15 meter.
Ciri-ciri : Koloni berbentik tabung bercabang yang menyerupai tentakel.
Warna : Coklat, kuning, putih.
Distribusi : Indo-Pasifik barat.
Habitat : Perairan dangkal yang hangat.
Ciri-ciri : Koloni berbentik tabung bercabang yang menyerupai tentakel.
Warna : Coklat, kuning, putih.
Distribusi : Indo-Pasifik barat.
Habitat : Perairan dangkal yang hangat.
8. Siderastrea sidereal
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Cnidaria
Class
: Anthozoa
Ordo
: Scleractinia
Family
: Siderastreidae
Genus
: Siderastrea
Spesies
: Siderastrea
sidereal
Siderastrea sidereal |
Kedalaman
: Karang ini banyak dijumpai hidup pada
kedalaman 7-14 meter.
Ciri-ciri :
Koloni berbentuk batu bulat besar.
Warna : Coklat keemasan, abu-abu.
Distribusi : Perairan Indonesia, Karibia.
Habitat : Perairan dangkal yang jernih.
Warna : Coklat keemasan, abu-abu.
Distribusi : Perairan Indonesia, Karibia.
Habitat : Perairan dangkal yang jernih.
9. Montipora
foliosa
Family : Acroporidae
Genus : Montipora
Spesies : Montipora foliosa
Kedalaman : Dijumpai pada kedalaman 2 - 6 meter.
Genus : Montipora
Spesies : Montipora foliosa
Kedalaman : Dijumpai pada kedalaman 2 - 6 meter.
Warna : Umumnya krem, merah muda, atau coklat dengan warna lebih pucat pada
bagian luar.
Kemiripan : Mirip dengan M. aequituberculata, M. delicatula yang mempunyai lembaran lebih tipis, dan ukuran koralit lebih kecil.
Distribusi : Perairan Indonesia, Papua New Guinea, Filipina, Kep. Ryukyu-Jepang, dan Australia.Habitat : Karang ini dijumpai hidup di daerah goba dan daerah yang terlindung.
Kemiripan : Mirip dengan M. aequituberculata, M. delicatula yang mempunyai lembaran lebih tipis, dan ukuran koralit lebih kecil.
Distribusi : Perairan Indonesia, Papua New Guinea, Filipina, Kep. Ryukyu-Jepang, dan Australia.Habitat : Karang ini dijumpai hidup di daerah goba dan daerah yang terlindung.
10. Acropora digitifera
Family : Acroporidae
Genus : Acropora
Spesies : Acropora digitifera
Genus : Acropora
Spesies : Acropora digitifera
Kedalaman : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri : Koloni berbentuk digitata, umumnya permukaannya rata dengan ukuran bisa mencapai lebih dari 1 meter. Percabangannya kecil, berbentuk bulat atau pita. Aksial koralit kecil. Radial koralit berbentuk bulat, memiliki ukuran yang sama, pinggir koloni berwarna terang.
Warna : Jingga, krem atau kuning, sering berwarna biru muda. Umumnya memiliki warna krem atau kuning pada ujung koloni.
Kemiripan : A. japonica, A. humilis, A. gemmifera.
Distribusi : Perairan Indonesia, Philipina, Australia, Mikronesia, Jepang, Zanzibar, Tanzania.Habitat : Di daerah yang bergelombang dan perairan dangkal.
11.
Acropora gemmifera
Family : Acroporidae
Genus : Acropora
Spesies : Acropora gemmifera
Genus : Acropora
Spesies : Acropora gemmifera
Kedalaman : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri : Koloninya berbentuk digitata, percabangan tebal, aksial koralit berukuran kecil, Radial koralit memiliki 2 ukuran biasanya berbaris.
Warna : Jingga, biru, krem atau coklat. Ujung cabang berwarna biru atau putih.
Kemiripan : A. humilis, A. Monticulosa.
Distribusi : Perairan Indonesia, Australia, Philipina, Madagaskar. Habitat : Hidup pada daerah perairan dangkal dan tahan terhadap kekeringan (daerah pasang surut).
III.
Anatomi Karang
Polip karang merupakan hewan sederhana berbentuk tabung
dengan bagian-bagian tubuh sebagai berikut:
a. Mulut terletak di bagian atas, dikelilingi
oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan (Suharsono
1996; Timotius 2003) dan sebagai alat pertahanan diri (Timotius, 2003).
b. Tenggorokan
pendek, rongga tubuh (coelenteron) merupakan saluran pencernaan.
c. Tubuh
terdiri atas dua lapisan, ektoderm dan endoderm (gastrodermis), diantara
keduanya dibatasi oleh lapisan mesoglea (Timotius, 2003). Lapisan ektoderm
mengandung nematokista (nematocyst) dan sel mukus, sedangkan lapisan
endodermisnya mengandung simbion zooxanthellae (Suharsono, 1996).
d. Sistem saraf, otot, dan reproduksi
masih sederhana namun telah berkembang dan berfungsi dengan baik (Suharsono,
2004).
Karang dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan kebutuhannya
akan cahaya matahari. Karanghermatipik (hermatypic coral)
adalah kelompok karang yang tumbuh terbatas di daerah hangat dengan penyinaran
yang cukup karena adanya simbion alga (zooxanthellae) (Suharsono, 2004), karang
tipe ini merupakan pembentuk bangunan kapur atau terumbu karang (Supriharyono,
2000). Kelompok karang kedua adalah karang ahermatipik (ahermatypic
coral) yang tidak membentuk terumbu karang (Supriharyono, 2000). Karang
ahermatipik hidup di tempat yang lebih dalam. Karang hermatipik lebih cepat
tumbuh dan lebih cepat membentuk deposit kapur dibanding karang ahermatipik
(Suharsono, 2004).
IV.
Reproduksi Karang Batu
Reproduksi
karang terjadi secara seksual dan aseksual.
1.
Reproduksi aseksual
Terjadi
melalui proses pertunasan, fragmentasi, polip bail-out, dan
parthenogeneis.
·
Pertunasan secara
intratentakular adalah satu polip membelah menjadi dua polip, polip yang baru
tumbuh dari polip yang lama. Pertunasan ekstratentakular yaitu tumbuhnya polip
baru diantara polip-polip lama.
·
Fragmentasi.
Koloni baru terbentuk oleh patahan karang. Patahan koloni karang yang lepas
dapat menempel di dasar perairan dan membentuk tunas serta koloni yang baru.
Proses ini terutama terjadi pada karang bercabang (branching coral) yang
mudah sekali patah namun memiliki laju pertumbuhan yang sangat cepat.
·
Polip
bail-out. Polip bailout adalah
pembentukan polip dan koloni dari karang mati. Pada karang yang mati, kadang
kala jaringan-jaringan yang masih hidup dapat meninggalkan skeletonnya dan
terbawa oleh air. Jika jaringan hidup tersebut menempel pada substrat yang
sesuai, maka jaringan tersebut dapat tumbuh dan membentuk polip serta koloni
baru. Pada karang Seriatopora hystrix, proses polyp
bail-out ini merupakan respon terhadap stress sekaligus sebagai proses
reproduksi. Individu polip awalnya menempel pada rangka kapur yang lama, lalu
terbawa oleh arus air, kemudian melekat pada substrat yang baru (Sammarco,
1982).
·
Parthenogenesis adalah pertumbuhan larva karang
dari sel telur yang tidak terbuahi.
2.
Reproduksi seksual
Reproduksi secara seksual terjadi melalui proses
peleburan inti gamet jantan dengan inti gamet betina. Karang umumnya
bersifat gonochoris (sel gamet jantan dan betina
dihasilkan oleh individu yang berbeda) meskipun beberapa species bersifat hermaphrodite (sel
gamet jantan dan betina dihasilkan oleh individu yang sama).
Berdasarkan
proses pertemuan antara sel gamet jantan dan betina terdapat dua tipe
reproduksi, yaituplanulator (brooding)
dan spawning. Pada tipe brooding, sel telur dan
sperma tidak dilepaskan ke kolom air. Zigot berkembang menjadi larva planula
dalam tubuh polip induk, selanjutnya planula dilepaskan ke kolom air. Tipe
reproduksi ini misalnya terjadi pada karang Pocillopora
damicornis dan Stylophora sp. Karang tipe spawning melepaskan
ovum dan sperma kedalam kolom air, dan fertilisasi terjadi beberapa jam setelah
ovum dan sperma dilepaskan. Spawning ini seringkali terjadi
secara massal, sehingga disebutmass spawning. Reproduksi spawning misalnya
terjadi pada karang genus Favia. Peristiwa mass
spawning dapat terjadi selama beberapa hari atau beberapa bulan
(Timotius, 2003).
V.
Daur Hidup Karang Batu
Siklus hidup karang dimulai beberapa jam setelah
peristiwa mass spawning. Sel sperma akan membuahi ovum 1 – 2 jam
setelah spawning, dilanjutkan pembelahan zigot selama ± 18 jam.
Zigot akan berkembang menjadi larva planula yang melayang-layang mengikuti arus
di kolom perairan selama ± 4 hari, lalu mulai mencari substrat yang cocok untuk
menempel. Planula akan menempel pada substrat bila substrat tersebut memenuhi
syarat dan mendukung pertumbuhannya. Substrat harus cukup kokoh, tidak
ditumbuhi alga, penetrasi cahaya mencukupi, sedikit atau tidak terjadi
sedimentasi, dan arus yang ada tidak terlalu kuat (mencukupi untuk adanya
makanan). Setelah menempel, planula akan segera tumbuh menjadi polip dan
mengalami kalsifikasi (Timotius, 2003).
Keterangan
- Pelepasan sel telur dan sel sperma
oleh karang dewasa. Sel-sel tersebut akan mengapung di permukaan air
- Sel mulai membelah 1 – 2 jam
setelah pemijahan
- Perkembangan zigot selama 2 – 18
jam
- Perkembangan larva planula,
bergerak mengikuti arus selama 4 hari
- Larva planula mulai mencari
substrat yang sesuai untuk menempel
- Penempelan planula terjadi pada
hari ke-4 atau lebih setelah pemijahan
- Perkembangan awal polip dari
planula
- Pembentukan awal koloni melalui
pertunasan polip
VI.
Faktor-faktor yang membatasi Karang Batu
Pertumbuhan karang hermatipik dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor, baik internal (kepadatan rangka kapur dan jumlah endosimbion
didalam polip karang) mapun eksternal (fisik hidro-oseanografi dan biologi).
Faktor
internal
Pertumbuhan karang hermatipik sangat dipengaruhi oleh
faktor internal berupa kepadatan rangka kapur (Soong dan Chen 2003) dan jumlah
endosimbion (zooxanthellae) didalam polip karang (Jones dan Yellowless 1997;
Goreau et. al. 2004). Pertumbuhan lebih cepat terjadi
pada karang yang memiliki kepadatan rangka kapur yang rendah (porositas tinggi)
daripada karang dengan kepadatan rangka kapur yang tinggi. Hal ini terkait
dengan translokasi energi untuk pertumbuhan, dimana alokasi energi tertinggi
terdapat pada bagian karang yang memiliki porositas tertinggi (Hughes 1987;
Anthony et. al., 2002; Soong dan Chen 2003).
Zooxanthellae menyuplai sekitar 95% produk
fotosintesisnya (berupa asam amino, gula, karbohidrat, dan peptida-peptida
pendek) kepada polip inang yang menggunakan nutrisi tersebut untuk respirasi,
pertumbuhan, dan penimbunan CaCO3 (Lesser, 2004). Fotosintesis
ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya sehingga tanpa pencahayaan yang
cukup, laju fotosintesis akan menurun, dan hal ini juga akan
mengurangi kemampuan karang untuk melakukan metabolisme dan mensekresikan
kalsium karbonat.
Ukuran awal fragmen yang digunakan untuk transplantasi
juga sangat berpengaruh terhadap kesintasan dan pertumbuhan fragmen (Soong dan
Chen 2003; Fauziah 2003). Semua fragmen yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki panjang awal >4 cm, sesuai dengan penelitian Soong dan Chen (2003)
yang menyatakan bahwa panjang minimal fragmen karang transplan untuk jenis
karang bercabang adalah 4 cm.
Faktor eksternal
a.
Faktor fisik dan hidro-oseanografi
1.
Suhu
Karang merupakan organisme yang kehidupannya sangat
dipengaruhi oleh suhu rata-rata air laut. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan
dan hidup karang berkisar antara 250 – 290 C
(Wells 1954 dalamSupriharyono, 2000). Sedangkan batas minimum dan
maksimum suhu berkisar antara 160 – 170 dan 360C
(Kinsman 1964 dalam Supriharyono, 2000), namun beberapa karang
masih mampu hidup sampai batas suhu 360 – 400 C
(Nybakken, 1997).
Suhu yang mematikan bagi karang bukan hanya suhu yang
ekstrem, namun fluktuasi suhu yang mendadak juga sangat berpengaruh
(Supriharyono, 2000).
2.
Cahaya
Cahaya terutama sangat berpengaruh bagi karang
hermatipik, karena karang tipe ini memiliki endosimbion alga zooxanthellae yang
memerlukan cahaya matahari untuk melangsungkan proses fotosintesis
(Supriharyono, 2000). Tanpa pencahayaan yang cukup, rata-rata fotosintesis akan
menurun, dan hal ini juga akan mengurangi kemampuan karang untuk mensekresikan
kalsium karbonat dan membentuk terumbu. Umumnya karang (terutama karang
hermatipik) tidak tumbuh pada kedalaman 50 – 70 meter, dan lebih mudah dijumpai
pada kedalaman 25 m atau kurang, terkait dengan ketersediaan cahaya (Nybakken,
1997).
3.
Salinitas
Salinitas air laut di daerah tropis rata-rata ± 35‰,
sedangkan karang tumbuh dengan baik pada salinitas ± 34‰ – 36‰ (Kinsman
1964 dalam Supriharyono, 2000). Pengaruh salinitas terhadap
karang bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau
pengaruh alam seperti runoff air tawar, badai, dan hujan
sehingga kisaran salinitas dapat mencapai 17,5‰ – 52,2‰ (Vaughan 1919; Wells
1932 dalamSupriharyono, 2000).
Karang hermatipik merupakan organisme laut yang tidak
dapat mentoleransi salinitas kurang dari salinitas rata-rata air laut
(Nybakken, 1997). Akan tetapi, beberapa jenis karang bahkan dapat hidup pada
salinitas 0‰ selama beberapa jam pada waktu air surut yang menerima limpahan
air tawar dari sungai (Suprihayono 1986 dalam Supriharyono,
2000).
4.
Sedimentasi
Aktifitas antropogenik yang berpotensi membebaskan
sedimen (terrigenous sediment) diantaranya adalah pembangunan daerah
pesisir, pertanian, pembukaan hutan, pengeboran minyak, dan sebagainya.
Keberadaan sedimen tersebut menyebabkan perairan di sekitar terumbu karang
menjadi keruh, terutama setelah terjadi hujan atau badai, dan hal ini dapat
mempengaruhi kehidupan karang.
Level sedimen yang tinggi dapat langsung membunuh karang
dengan cara menutupi mulut karang dan organ penangkap mangsanya (Hubbard dan
Pocok 1972; Bak dan Elgershuizen 1976; Bak 1978 dalamSupriharyono,
2000). Efek langsung sedimentasi lainnya adalah penutupan karang muda dan area
rekruitmen bagi larva karang sehingga mengurangi populasi karang (Victor,
2005). Rogers (1977) menyatakan bahwa sedimentasi dapat menurunkan
produktivitas koloni karang. Secara tidak langsung, sedimen akan mengurangi
penetrasi cahaya matahari kedalam perairan dan menurunkan laju pertumbuhan
karang (Pastorok dan Bilyard 1985; Supriharyono 1986 dalam Supriharyono,
2000). Selain itu, hara tanah yang terikat pada sedimen akan menyebabkan
eutrofikasi dan blooming algae sehingga berkompetisi dengan
karang dalam perebutan ruang hidup (Pomeroy et al. 1965 dalam Supriharyono,
2000).
Karang dapat memindahkan sejumlah kecil sedimen dengan
memperangkap sedimen tersebut dalam mukus dan membuangnya melalui aksi
cilliaris oleh tentakelnya (Nybakken, 1997).
5.
Gelombang
Perkembangan terumbu karang lebih cepat pada area yang
memiliki gelombang yang cukup kuat. Koloni karang dengan kerangka kapurnya
resisten terhadap kerusakan akibat gelombang, namun pada saat yang sama,
gelombang juga membawa air laut yang mengandung banyak oksigen dan mencegah
penempelan sedimen pada koloni. Gelombang juga dapat membawa banyak zooplankton
yang merupakan sumber makanan bagi karang (Nybakken, 1997).
Kerusakan akibat gelombang dapat mempengaruhi tingkat
keanekaragaman terumbu, baik melalui gelombang yang bersifat kronik maupun efek
ekstrem dari badai yang bersifat destruktif (Setiapermana, 1997).
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang
bersifat stenotolerant, dalam artian bahwa terumbu karang hanya
memiliki kisaran parameter lingkungan yang relatif sempit, terutama untuk
faktor salinitas, suhu, dan sedimentasi (Kleypas et al., 1999).
Perubahan kecil parameter lingkungan dapat menyebabkan perubahan rata-rata
pertumbuhan yang cukup signifikan (Meesters et al. 1998; Kaandorp
1999 dalamCrabbe and Smith, 2005). Perubahan salinitas, suhu, dan
sedimentasi selain dapat merubah rata-rata pertumbuhan juga dapat menyebabkan
perubahan diversitas dan kelimpahan karang (Lirman et al. 2003dalam Crabbe
and Smith, 2005).
b.
Faktor biologi
1.
Kompetisi
Kompetisi perebutan ruang dan cahaya sering terjadi
antara karang dengan turf alga, antara karang dengan alga, dan diantara karang
itu sendiri. Karang bercabang lebih cepat tumbuh daripada jenis karang yang
lain, seperti karang masif atau encrusting. Dengan demikian, karang
masif akan tertutupi oleh karang bercabang, sehingga kekurangan cahaya dan
akhirnya mati (Nybakken, 1997). Lang (1973) dalamNybakken (1997)
mengemukakan bahwa karang yang lambat tumbuh (misalnya karang masif dan
encrusting) dapat memanjangkan suatu filamen dari rongga gastrovaskulernya yang
dapat mencerna dan membunuh bagian koloni species karang lain yang letaknya
berdekatan.
Pertumbuhan alga juga membentuk kompetisi dengan karang.
Peningkatan kandungan nutrisi dalam air laut (eutrofikasi) akan
menyebabkan blooming alga, dimana pertambahan pertumbuhan alga
akan menutupi karang dan bahkan menghalangi rekruitmen larva karang
(Bruno et al. 2003 dalam Victor, 2005). Kompetisi
antara karang dengan alga yang cepat tumbuh direduksi oleh invertebrata dan
ikan-ikan peramban (grazer), dimana mekanisme ini menguntungkan karang
(Birkeland 1977 dalam Nybakken, 1997). Kompetisi perebutan
ruang yang paling umum terlihat dalam suatu terumbu karang adalah kompetisi
antara karang dengan organisme kriptofauna (cryptofauna) seperti spons,
bryozoa, dan tunicata (Nybakken, 1997).
2.
Pemangsaan (predasi)
Hewan pemangsa karang biasanya hanya memakan polip karang
saja, tetapi keseluruhan koloni (terumbu) tetap utuh. Bila polip yang tersisa
cukup banyak, maka polip tersebut masih dapat melakukan pemulihan terhadap
terumbu yang telah mengalami pemangsaan. Beberapa pemangsa karang adalah
moluska (famili Architectonidae, Epitoniidae, Ovulidae, Muricidae, dan
Coralliophilidae). Hama pemangsa karang yang sangat terkenal adalah bintang laut
mahkota duri (Acanthaster planci). Bintang laut ini hanya memakan karang
hidup, dan keberadaannya dalam jumlah melimpah pada suatu terumbu akan
berakibat fatal bagi terumbu tersebut, karena A. planci mampu
makan dalam jumlah besar, sehingga dapat merusak seluruh koloni (Nybakken,
1997). Peledakan populasi A. planci seringkali
dikaitkan dengan peningkatanrunoff dari daratan (Birkeland
1982 dalam Victor, 2005).
VII.
Asosiasi dengan Zooxanthellae
Sebagian besar karang dan anemon di perairan tropis
(filum Cnidaria) mengandung sejumlah besar populasi Dinoflagellata simbiotik
(Gates et al., 1992). Zooxanthellae merupakan algae Dinoflagellata
yang bersimbiosis pada hewan, terutama invertebrata. Zooxanthellae ini dapat
hidup bebas, tidak selalu terdapat pada polip karang, namun sebagian besar
ditemukan bersimbiosis dengan karang, dan ditemukan pada vakuola didalam
lapisan gastrodermis (endoderm) karang (Gates et al. 1992; Timotius
2003). Zooxanthellae yang bersimbiosis terutama berasal dari genus Symbiodinium.
Sampai saat ini, zooxanthellae utama yang diketahui terdapat dalam karang
adalah Symbiodinium microadriaticum(Lesser, 2004). Zooxanthellae dapat
berada dalam tubuh polip melalui proses reproduksi polip. Pada reproduksi
seksual, karang dapat mendapatkan zooxanthellae secara langsung dari induk,
atau secara tidak langsung dari perairan. Pada reproduksi aseksual,
zooxanthellae akan langsung dipindahkan ke koloni baru atau ikut bersama
fragmen-fragmen karang yang terpisah dari koloni. Keberadaan zooxanthellae pada
polip karang dapat mencapai lebih dari 1 juta sel per cm2 permukaan
karang (Timotius, 2003).
Polip karang merupakan habitat yang sesuai bagi
zooxanthellae karena merupakan penyuplai terbesar kebutuhan zat anorganik untuk
fotosintesis zooxanthellae. Zooxanthellae menerima kebutuhan nutrien penting
seperti amonia, fosfat, dan CO2 dari sisa metabolisme karang
(Trench 1979; Mueller-Parker and D’Elia 1997 dalam Lesser,
2004). Zooxanthellae sendiri menyediakan hasil fotosintesis seperti
asam amino, gula, dan oksigen untuk karang. Selain itu, asosiasi dengan
zooxanthellae juga akan mempercepat proses kalsifikasi (Timotius, 2003).
Beberapa jenis zooxanthellae dapat hidup bersama-sama pada satu jenis karang (Rowan dan Knowlton 1995; Rowan et al. 1997 dalam Westmacott et al., 1997). Zooxanthellae dapat ditemukan dalam jumlah besar didalam setiap polip karang. Zooxanthellae ini hidup bersimbiosis dan memberikan warna, energi dari fotosintesis, dan 90% kebutuhan karbon karang (Sebens, 1987). Zooxanthellae menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang dan memberikan 95% hasil fotosintesisnya kepada karang (Muscatine 1990dalam Westmacott et al., 2000).
VIII.
Penutup
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km
serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 sehingga
wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan
keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan memiliki
ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang
lamun (sea grass beds) (Dahuri et al. 1996). Untuk ekosistem terumbu karang
World Resource Institute (WRI) (2002) mengestimasi bahwa luas terumbu karang di
Indonesia adalah sekitar 51.000 km2. Angka ini belum mencakup terumbu karang di
wilayah terpencil yang belum dipetakan atau yang berada di perairan agak dalam
(inland waters). Jika estimasi ini akurat maka 51% terumbu karang di Asia
Tenggara atau 18% terumbu karang di dunia berada di perairan Indonesia.
Sebagian besar dari terumbu karang ini bertipe terumbu karang tepi (fringing
reefs) yang berdekatan dengan garis pantai sehingga mudah diakses oleh
masyarakat sekitar. Lebih dari 480 jenis karang batu (hard coral )telah didata
di wilayah timur Indonesia dan merupakan 60% dari jenis karang batu di dunia
yang telah berhasil dideskripsikan. Keanekaragaman tertinggi ikan karang di
dunia juga ditemukan di Indonesia dengan lebih dari 1.650 jenis hanya untuk
wilayah Indonesia bagian timur .
Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis
dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae. Terumbu
karang termasuk dalam jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang
memiliki tentakel. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu
Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara
asal-usul,Morfologi dan Fisiologi.
Koloni karang dibentuk
oleh ribuan hewan kecil yang disebut Polip. Dalam bentuk
sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh
seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi
oleh Tentakel. Namun pada kebanyakan Spesies, satu individu
polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni. Hewan
ini memiliki bentuk unik dan warna beraneka rupa serta dapat menghasilkan CaCO3. Terumbu
karang merupakan habitat bagi berbagai spesies tumbuhan laut, hewan laut,
dan mikroorganisme laut lainnya.
Selama satu tahun
rata-rata karang hanya dapat menghasilkan batu karang setinggi 1 cm saja. Jadi
selama 100 tahun karang batu itu hanya tumbuh 100 cm. Kalau begitu, jika karang
yang tingginya 5 meter dirusak, diperlukan 500 tahun agar kembali seperti
semula.
Daftar Pustaka
Anonymous. 2011. http://faridmuzaki.blogspot.com/2011/01/biologi-karang.html
diakses pada tanggal 15 Maret 2013
Burke, L., E. Selig, and M. Spalding.
2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute.
Castro, P., M.E. Huber. 2005. Marine
Biology, Fifth Edition. New York, USA: McGraw-Hill Companies Inc..
Crabbe, M.J.C. and D.J. Smith. 2005.
“Sediment Impacts on Growth Rates of Acropora andPorites Corals
from Fringing Reefs of Sulawesi, Indonesia”.
Fauziah, A. 2003. Kecepatan
Pertumbuhan Karang Transplantasi di Pulau Pari Kepulauan Seribu. Surabaya;
Jurusan Biologi – FMIPA Universitas Airlangga.
Gates, R.D., G. Bagiidasarian, and L.
Muscatine. 1992. “Temperature Stress Cause Host Cells Detachment in Symbiotic
Cnidarians: Implication for Coral Bleaching”. Biology Bulletin182:
324 – 332.
Gattuso, Jean-Pierre, D. Allemand, and
M. Frankignoulle. 1999. “Photosynthesize and Calcification at Cellular,
Organismal, and Community Levels in Coral Reefs: An Review on Interactions and
Control by Carbonate Chemistry”. American Zoologist, Feb. 1999.
Holmes-Farley, R. 2002. “The Chemical
and Biochemical Mechanisms of Calcification”.Advanced Aquarist Online
Magazine: April 2002.
Hughes, T.P. 1987. “Skeletal Density
and Growth Form of Corals”. Marine Ecology – Progress Series 35:
259 – 266.
Kunzmann, A. 2002. “On The Way to
Management of West Sumatra’s Coastal Ecosystems”.Naga, The ICLARM Quarterly 25
(1): 4 – 10.
Lesser, M.P. 2004. “Experimental
Biology of Coral Reef Ecosystems”. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology 300 (2004): 217 – 252.
Nybakken, J.W. 1997. Marine
Biology: An Ecological Approach, Fourth Edition. Addison-Wesley Educational
Publishers Inc.
Sammarco, P.W. 1982. “Polyp Bail-out:
An Escape Response to Environmental Stress and A New Means of Reproduction in
Corals”. Marine Ecology Progress Series 10: 57 – 65.
Setiapermana, 1997. “Peranan
Disturbansi pada Keanekaragaman Jenis Terumbu Karang pada Perairan
Dangkal”. Oseana XXII (3): 17 – 24.
Spotts, D.G and J.H Spotts. 2001.
“Stony Coral Asexual Reproduction”. Bulletin de l'Institut
Océanographique, Monaco, n° Spécial 20, Fascicule 1 (2001).
Suharsono. 2004. Jenis-jenis
Karang di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan
Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Timotius, S. 2003. “Biologi
Karang”. Makalah Training Course: Karakteristik Biologi Karang. PSK
– UI; Yayasan Terangi.
Victor, S. 2005. Effects of
Sedimentation on Palau’s Coral Reefs. International Coral Reef Initiative
(ICRI) GM Japan/Palau (1) 2005/11.1/1.
Westmacott, S., K. Teleki, S. Wells,
dan J. West. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang yang Telah Memutih
dan Rusak Kritis. Terjemahan oleh J.H Steffen. International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).