Search This Blog

Sunday, 4 January 2015

REPRODUKSI KARANG BATU (HARD CORAL)

I.                   Pendahuluan
Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat yang dihasilkan terutama oleh hewan karang. Karang adalah hewan tak bertulang belakang (Invertebrata) yang termasuk dalam filum Cnidaria atau Coelenterata (hewan berongga). Karang (coral) umumnya berasal dari ordo Scleractinia, subkelas Octocorallia, kelas Anthozoa. Satu individu karang atau polip memiliki ukuran yang bervariasi (1 mm hingga 50 cm) namun umumnya berukuran kecil, misalnya karang dari genera AcroporaAnacropora,Montipora, dan Pocillopora. Polip berukuran besar umumnya ditemukan pada karang soliter, misalnya genus Fungia (Timotius, 2003). Asosiasi-asosiasi organisme yang dominan hidup dan juga membentuk terumbu adalah alga berkapur (coralline algae) (Dawes 1981; Supriharyono 2000).
Salah satu keanekaragaman hayati yang hidup di laut adalah terumbu karang. Jumlah jenis karang batu (hard coral) di Indonesia tercatat sebanyak 590 jenis, yang didominasi oleh karang dari genus Acropora (91 jenis), Montipora (29 jenis) dan Porites (14 jenis) (Direktur Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007).
Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme – organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef ) sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993dalam Wikipedia, 2009).
Terumbu karang (coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas  dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993) dalam(Wikipedia, 2009). Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular) seperti Gymnodinium microadriatum yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai/laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 °C (Nybakken, 1982).
Veron (1995) dan Wallace (1998) dalam Anonim (2010)  mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di atas suhu normal. Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) dalam Anonim (2010) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10oC. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25oC sampai 29oC. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984).


II.                Klasifikasi Karang Batu
Beberapa Genus Karang yang Umum di Indonesia Berdasarkan survei karang yang pernah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia oleh beberapa ahli karang, ternyata genus karang yang umum dijumpai di perairan Indonesia antara lain meliputi :
1. Genus Acropora (Familia Acroporidae)
Genus Acropora memiliki jumlah jenis (spesies) terbanyak dibandingkan genus lainnya pada karang. Karang jenis ini biasanya tumbuh pada perairan jernih dan lokasi dimana terjadi pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya bercabang dan tergolong jenis karang yang cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap sedimentasi dan aktivitas penangkapan ikan.
Karakteristik bentuk rangka kapur genus Acropora antara lain ialah:
•         Koloni biasanya bercabang, jarang sekali menempel ataupun submasif.
•         Koralit dua tipe, axial dan radial.
•         Septa umumnya mempunyai dua lingkaran.
•         Columella tidak ada.
•         Dinding koralit dan coenosteum rapuh.
•         Tentakel umumnya keluar pada malam hari
•         Genus Pocillopora merupakan satu-satunya genus pada karang yang memiliki verrucae. Hal tersebut menjadi ciri khas yang membedakannya dengan genus-genus karang yang lain.

2. Genus Montipora (Familia Acroporidae)
Genus Montipora sering ditemukan mendominasi suatu daerah. Sangat tergantung pada kejernihan suatu perairan. Biasanya berada pada perairan dangkal berkaitan dengan intensitas cahaya yang diperolehnya dengan bentuk koloni berupa lembaran.
Karakteristik bentuk rangka kapur genus Montipora ini antara lain ialah:
• Bentuk koloni bervariasi, ada yang submasif, laminar, menempel ataupun bercabang.
• Ukuran koralit umumnya kecil.
• Septa umumnya memiliki dua lingkaran dengan bagian ujung (gigi) muncul keluar. Apabila disentuh maka akan terasa tajam.
• Tidak memiliki columella.
• Dinding koralit dan coenosteum keropos. Coenosteum memiliki beberapa tipe: Papillae bila coenosteum lebih kecil dibandingkan dengan ukuran koralit, dan tuberculae jika sebaliknya. Apabila berkelompok mengelilingi koralit disebut thecal papillae dan juga ada thecal tuberculae.
• Tentakel umumnya keluar pada malam hari.

Karang yang struktur rangka kapurnya mirip dengan genus Montipora adalah genus Porites, dan kadangkala sulit untuk membedakannya. Namun pada pengamatan bawah air, struktur internal pada koralit karang genus Porites lebih jelas terlihat dibandingkan dengan karang genus Montipora, dan sebagian besar Montipora memiliki coenosteum yang lebar, sementara Porites tidak memiliki coenosteum.

3. Genus Pocillopora (Familia Pocilloporidae)
Karakteristik bentuk rangka kapur genus Pocillopora antara lain ialah:
• Koloni umumnya berbentuk submasif, bercabang, ataupun bercabang dengan bentuk pipih.
• Koloni ditutupi oleh verrucae.
• Koralit cekung ke dalam pada verrucae.
• Koralit mungkin tidak memiliki struktur dalam atau memiliki columella yang kurang berkembang.
• Memiliki dua lingkaran septa yang tidak sama.
• Coenosteum biasanya ditutupi oleh granules (butiran).
• Tentakel umumnya keluar hanya pada malam hari
• Genus Pocillopora merupakan satu-satunya genus pada karang yang memiliki verrucae. Hal tersebut menjadi ciri khas yang membedakannya dengan genus-genus karang yang lain.
4. Genus Seriatopora (Familia Pocilloporidae)
Karakteristik genus Seriatopora antara lain ialah:
•         Ciri khas koloninya berbentuk compact bushes dengan cabang yang halus. Koralit tersusun rapi (neat rows) sepanjang cabang.
•         Koralit sebagian besar tenggelam (immerse) dan struktur internal tidak begitu berkembang kecuali columella.
•         Septa umumnya berjumlah satu, namun kadangkala terdiri atas dua lingkaran, dan telah berkembang dan menyatu hingga ke columella.
•         Coenosteum ditutupi oleh spinules (duri-duri) yang halus.
•         Struktur rangka kapur genus Seriatopora hampir mirip dengan genus Stylophora, tetapi dapat dibedakan, dimana percabangan genus Seriatopora lebih halus (kecil) dibandingkan dengan genus Stylophora.

5. Genus Favia (Familia Faviidae)
Karakteristik bentuk rangka kapur genus Favia antara lain ialah:
•         Bentuk koloni umumnya masif, flat atau dome-shaped.
•         Koralit sebagian besar monocentric (satu columella dalam satu corallite) dan plocoid.
•         Memperbanyak koralit melalui pembelahan intratentacular.
•         Tentakel umumnya keluar hanya pada malam hari.
•         Struktur rangka kapur genus Favia mirip dengan genus Favites tapi dapat dibedakan dengan perbedaan tipe koralit karang. Tipe koralit Favites tergolong ceroid, sedangkan tipe koralit Favia tergolong plocoid.

6. Genus Favites (Familia Faviidae)
Beberapa karakteristik bentuk rangka kapur dari genus Favites :
•         Bentuk koloni umumnya masif, flat atau dome-shaped.
•         Koralit berbentuk monocentric dan ceroid, beberapa berbentuk subplocoid.
•         Pada koloni karang ini, antar dua koralit dibatasi oleh satu dinding koralit.

7. Genus Porites (Familia Poritidae)
Beberapa karakteristik bentuk rangka kapur dari genus Porites :
•         Bentuk koloni ada yang flat (foliaceous atau encrusting), masif atau bercabang.
•         Koloni yang masif berbentuk bulat ataupun setengah bulat. Koloni masif yang kecil akan terlihat berbentuk seperti helm atau dome-shaped, dengan diameter dapat mencapai lebih dari 5 m.
•         Koralit berukuran kecil, cekung ke dalam (terbenam) pada badan koloni dengan lebar Calice kurang dari 2 mm.
•         Tentakel umumnya keluar pada malam hari.

Genus Porites ini mirip dengan genus Montipora dan Stylaraea, namun memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan antara Porites dengan Montipora ialah bahwa Porites memiliki bentuk pertumbuhan yang lebih beragam, koralit pada Porites lebih besar, kokoh dan tidak ada elaborate thecal (perpanjangan dinding koralit). Genus Montipora mempunyai dua tipe coenosteum, yaitu reticulum papillae dan tuberculae. Selain itu, Porites memiliki koralit yang umumnya selalu terlihat septanya, sementara Montipora hanya memiliki perpanjangan gigi septa yang menonjol keluar sehingga terasa runcing dan kasar bila tersentuh.
8. Genus Goniopora (Familia Poritidae)
 Bentuk koloni columnar , masif dan encrusting.
•          Koralit tebal tapi berdinding keropos dan calice memiliki septa yang kokoh dan memiliki columella.
•          Polip genus Goniopora berukuran panjang dan keluar baik pada malam maupun siang hari.
•          Polip genus Goniopora memiliki 24 tentakel.


Spesies Terumbu Karang
Beberapa Spesies Karang Batu di Indonesia dan Klasifikasinya :

1. Acropora cervicornis
Kingdom           : Animalia
Phylum             : Cnidaria
Class                : Anthozoa
Ordo                 : Scleractinia
Family             : Acroporidae
Genus              : Acropora
Spesies            : Acropora cervicornis

Acropora cervicornis
Kedalaman      : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri           : Koloni dapat terhampar sampai beberapa meter, Koloni arborescens, tersusun dari cabang-cabang yang silindris. Koralit berbentuk pipa. Aksial koralit dapat dibedakan.
Warna             : Coklat muda.
Kemiripan       : A. prolifera, A. formosa.
Distribusi        : Perairan Indonesia, Jamaika, dan Kep. Cayman..
Habitat            : Lereng karang bagian tengah dan atas, juga perairan lagun yang jernih.

2. Acropora acuminata
Kingdom          : Animalia
Phylum            : Cnidaria
Class               : Anthozoa
Ordo                : Scleractinia
Family             : Acroporidae
Genus             : Acropora
Spesies           : Acropora acuminata
Acropora acuminata
Kedalaman      : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri                        : Koloni bercabang. Ujung cabangnya lancip. Koralit mempunyai 2 ukuran.
Warna
             : Biru muda atau coklat.
Kemiripan
       : A. hoeksemai, A abrotanoides.
Distribusi
         : Perairan Indonesia, Solomon, Australia, Papua New Guinea dan Philipina.
Habitat                        : Pada bagian atas atau bawah lereng karang yang jernih atau pun keruh.


3. Acropora micropthalma
Kingdom          : Animalia
Phylum            : Cnidaria
Class               : Anthozoa
Ordo                : Scleractinia
Family             : Acroporidae
Genus             : Acropora
Spesies           : Acropora micropthalma
Acropora micropthalma
Kedalaman       : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri              : Koloni bisa mencapai 2 meter luasnya dan hanya terdiri dari satu spesies. Radial koralit kecil, berjumlah banyak dan ukurannya sama.
Warna                 : Abu-abu muda, kadang coklat muda atau krem.
Kemiripan        : A. copiosa, A. Parilis, A. Horrida, A. Vaughani, dan A. exquisita.
Distribusi          : Perairan Indonesia, Solomon, Australia, Papua New Guinea.
Habitat              : Reef slope bagian atas, perairan keruh dan lagun berpasir.
4. Acropora millepora
Kingdom          : Animalia
Phylum            : Cnidaria
Class                : Anthozoa
Ordo                : Scleractinia
Family             : Acroporidae
Genus              : Acropora
Spesies            : Acropora millepora
Acropora millepora
 Kedalaman       : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri             : Koloni berupa korimbosa berbentuk bantalan dengan cabang pendek yang seragam. Aksial koralit terpisah. Radial koralit tersusun rapat.
Warna                : Umumnya berwarna hijau, orange, merah muda, dan biru.
Kemiripan        : Sepintas karang ini mirip dengan A. convexa, A. prostrata, A. aspera dan A. pulchra.
Distribusi          : Tersebar dari Perairan Indonesia, Philipina dan Australia.
Habitat               : Karang ini umumnya banyak hidup di perairan yang dangkal.


5. Acropora palmate
Kingdom          : Animalia
Phylum            : Cnidaria
Class                 : Anthozoa
Ordo                 : Scleractinia
Family              : Acroporidae
Genus               : Acropora
Spesies             : Acropora palmate
Acropora palmate
Kedalaman      : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 5-20 meter.
Ciri-ciri            : Koloni berbentuk cabang besar menyerupai tanduk rusa.
Warna             : Umumnya berwarna coklat muda sampai coklat kekuningan.
Distribusi        : Tersebar di Perairan Indonesia, Karibia, dan Bahama.

Habitat            : Karang ini umumnya banyak hidup di perairan dangkal.
6. Acropora hyacinthus
Kingdom          : Animalia
Phylum             : Cnidaria
Class                : Anthozoa
Ordo                 : Scleractinia
Family              : Acroporidae
Genus               : Acropora
Spesies             : Acropora hyacinthus
Acropora hyacinthus
Kedalaman       : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 15-35 meter.
Ciri-ciri              : Koloni berbentuk datar tipis dan struktur halus di permukaan.
Warna                 : Coklat, hijau, merah muda.
Distribusi          : Perairan Indonesia, Indo-Pasifik.
Habitat               : Umumnya di lereng karang.

7. Acropora echinata
Kingdom          : Animalia
Phylum             : Cnidaria
Class                  : Anthozoa
Ordo                  : Scleractinia
Family              : Acroporidae
Genus               : Acropora
Spesies             : Acropora echinata
Acropora echinata
Kedalaman       : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri              : Koloni berbentik tabung bercabang yang menyerupai tentakel.
Warna                 : Coklat, kuning, putih.
Distribusi          : Indo-Pasifik barat.
Habitat               : Perairan dangkal yang hangat.

8. Siderastrea sidereal
Kingdom          : Animalia
Phylum             : Cnidaria
Class                  : Anthozoa
Ordo                  : Scleractinia
Family              : Siderastreidae
Genus                : Siderastrea
Spesies              : Siderastrea sidereal
Siderastrea sidereal
Kedalaman       : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 7-14 meter.
Ciri-ciri              : Koloni berbentuk batu bulat besar.
Warna                 : Coklat keemasan, abu-abu.
Distribusi          : Perairan Indonesia, Karibia.
Habitat               : Perairan dangkal yang jernih.

 


9. Montipora foliosa

Family : Acroporidae
Genus : Montipora
Spesies : Montipora foliosa
Kedalaman : Dijumpai pada kedalaman 2 - 6 meter.
Ciri-ciri : Koloni terdiri dari lembaran tipis dan seragam, kadang membentuk lingkaran berulir dan bertingkat. Koralit tersusun menurut baris diantara koenesteum.
Warna : Umumnya krem, merah muda, atau coklat dengan warna lebih pucat pada bagian luar.
Kemiripan : Mirip dengan M. aequituberculata, M. delicatula yang mempunyai lembaran lebih tipis, dan ukuran koralit lebih kecil.
Distribusi : Perairan Indonesia, Papua New Guinea, Filipina, Kep. Ryukyu-Jepang, dan Australia.Habitat : Karang ini dijumpai hidup di daerah goba dan daerah yang terlindung.

10. Acropora digitifera

Family : Acroporidae
Genus : Acropora
Spesies : Acropora digitifera


Kedalaman : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri : Koloni berbentuk digitata, umumnya permukaannya rata dengan ukuran bisa mencapai lebih dari 1 meter. Percabangannya kecil, berbentuk bulat atau pita. Aksial koralit kecil. Radial koralit berbentuk bulat, memiliki ukuran yang sama, pinggir koloni berwarna terang.
Warna : Jingga, krem atau kuning, sering berwarna biru muda. Umumnya memiliki warna krem atau kuning pada ujung koloni.
Kemiripan : A. japonica, A. humilis, A. gemmifera.
Distribusi : Perairan Indonesia, Philipina, Australia, Mikronesia, Jepang, Zanzibar, Tanzania.Habitat : Di daerah yang bergelombang dan perairan dangkal.
11. Acropora gemmifera
Family : Acroporidae
Genus : Acropora
Spesies : Acropora gemmifera

Kedalaman : Karang ini banyak dijumpai hidup pada kedalaman 3-15 meter.
Ciri-ciri : Koloninya berbentuk digitata, percabangan tebal, aksial koralit berukuran kecil, Radial koralit memiliki 2 ukuran biasanya berbaris.
Warna : Jingga, biru, krem atau coklat. Ujung cabang berwarna biru atau putih.
Kemiripan : A. humilis, A. Monticulosa.
Distribusi : Perairan Indonesia, Australia, Philipina, Madagaskar. Habitat : Hidup pada daerah perairan dangkal dan tahan terhadap kekeringan (daerah pasang surut).

III.             Anatomi Karang
Polip karang merupakan hewan sederhana berbentuk tabung dengan bagian-bagian tubuh sebagai berikut:
a.      Mulut terletak di bagian atas, dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan (Suharsono 1996; Timotius 2003) dan sebagai alat pertahanan diri (Timotius, 2003).
b.      Tenggorokan pendek, rongga tubuh (coelenteron) merupakan saluran pencernaan.
c.      Tubuh terdiri atas dua lapisan, ektoderm dan endoderm (gastrodermis), diantara keduanya dibatasi oleh lapisan mesoglea (Timotius, 2003). Lapisan ektoderm mengandung nematokista (nematocyst) dan sel mukus, sedangkan lapisan endodermisnya mengandung simbion zooxanthellae (Suharsono, 1996). 
d.      Sistem saraf, otot, dan reproduksi masih sederhana namun telah berkembang dan berfungsi dengan baik (Suharsono, 2004).

Karang dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan kebutuhannya akan cahaya matahari. Karanghermatipik (hermatypic coral) adalah kelompok karang yang tumbuh terbatas di daerah hangat dengan penyinaran yang cukup karena adanya simbion alga (zooxanthellae) (Suharsono, 2004), karang tipe ini merupakan pembentuk bangunan kapur atau terumbu karang (Supriharyono, 2000). Kelompok karang kedua adalah karang ahermatipik (ahermatypic coral) yang tidak membentuk terumbu karang (Supriharyono, 2000). Karang ahermatipik hidup di tempat yang lebih dalam. Karang hermatipik lebih cepat tumbuh dan lebih cepat membentuk deposit kapur dibanding karang ahermatipik (Suharsono, 2004).

IV.             Reproduksi Karang Batu
Reproduksi karang terjadi secara seksual dan aseksual.
1.      Reproduksi aseksual
Terjadi melalui proses pertunasan, fragmentasi, polip bail-out, dan parthenogeneis.
·         Pertunasan secara intratentakular adalah satu polip membelah menjadi dua polip, polip yang baru tumbuh dari polip yang lama. Pertunasan ekstratentakular yaitu tumbuhnya polip baru diantara polip-polip lama.
·         Fragmentasi. Koloni baru terbentuk oleh patahan karang. Patahan koloni karang yang lepas dapat menempel di dasar perairan dan membentuk tunas serta koloni yang baru. Proses ini terutama terjadi pada karang bercabang (branching coral) yang mudah sekali patah namun memiliki laju pertumbuhan yang sangat cepat.
·         Polip bail-out. Polip bailout adalah pembentukan polip dan koloni dari karang mati. Pada karang yang mati, kadang kala jaringan-jaringan yang masih hidup dapat meninggalkan skeletonnya dan terbawa oleh air. Jika jaringan hidup tersebut menempel pada substrat yang sesuai, maka jaringan tersebut dapat tumbuh dan membentuk polip serta koloni baru. Pada karang Seriatopora hystrix, proses polyp bail-out ini merupakan respon terhadap stress sekaligus sebagai proses reproduksi. Individu polip awalnya menempel pada rangka kapur yang lama, lalu terbawa oleh arus air, kemudian melekat pada substrat yang baru (Sammarco, 1982).
·         Parthenogenesis adalah pertumbuhan larva karang dari sel telur yang tidak terbuahi.
2.      Reproduksi seksual
Reproduksi secara seksual terjadi melalui proses peleburan inti gamet jantan dengan inti gamet betina. Karang umumnya bersifat gonochoris (sel gamet jantan dan betina dihasilkan oleh individu yang berbeda) meskipun beberapa species bersifat hermaphrodite (sel gamet jantan dan betina dihasilkan oleh individu yang sama). 
Berdasarkan proses pertemuan antara sel gamet jantan dan betina terdapat dua tipe reproduksi, yaituplanulator (brooding) dan spawning. Pada tipe brooding, sel telur dan sperma tidak dilepaskan ke kolom air. Zigot berkembang menjadi larva planula dalam tubuh polip induk, selanjutnya planula dilepaskan ke kolom air. Tipe reproduksi ini misalnya terjadi pada karang Pocillopora damicornis dan Stylophora sp. Karang tipe spawning melepaskan ovum dan sperma kedalam kolom air, dan fertilisasi terjadi beberapa jam setelah ovum dan sperma dilepaskan. Spawning ini seringkali terjadi secara massal, sehingga disebutmass spawning. Reproduksi spawning misalnya terjadi pada karang genus Favia. Peristiwa mass spawning dapat terjadi selama beberapa hari atau beberapa bulan (Timotius, 2003).


V.                Daur Hidup Karang Batu
Siklus hidup karang dimulai beberapa jam setelah peristiwa mass spawning. Sel sperma akan membuahi ovum 1 – 2 jam setelah spawning, dilanjutkan pembelahan zigot selama ± 18 jam. Zigot akan berkembang menjadi larva planula yang melayang-layang mengikuti arus di kolom perairan selama ± 4 hari, lalu mulai mencari substrat yang cocok untuk menempel. Planula akan menempel pada substrat bila substrat tersebut memenuhi syarat dan mendukung pertumbuhannya. Substrat harus cukup kokoh, tidak ditumbuhi alga, penetrasi cahaya mencukupi, sedikit atau tidak terjadi sedimentasi, dan arus yang ada tidak terlalu kuat (mencukupi untuk adanya makanan). Setelah menempel, planula akan segera tumbuh menjadi polip dan mengalami kalsifikasi (Timotius, 2003).


Keterangan
  1. Pelepasan sel telur dan sel sperma oleh karang dewasa. Sel-sel tersebut akan mengapung di permukaan air
  2. Sel mulai membelah 1 – 2 jam setelah pemijahan
  3. Perkembangan zigot selama 2 – 18 jam
  4. Perkembangan larva planula, bergerak mengikuti arus selama 4 hari
  5. Larva planula mulai mencari substrat yang sesuai untuk menempel
  6. Penempelan planula terjadi pada hari ke-4 atau lebih setelah pemijahan
  7. Perkembangan awal polip dari planula
  8. Pembentukan awal koloni melalui pertunasan polip


VI.             Faktor-faktor yang membatasi Karang Batu
Pertumbuhan karang hermatipik dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, baik internal (kepadatan rangka kapur dan jumlah endosimbion didalam polip karang) mapun eksternal (fisik hidro-oseanografi dan biologi).
Faktor internal
Pertumbuhan karang hermatipik sangat dipengaruhi oleh faktor internal berupa kepadatan rangka kapur (Soong dan Chen 2003) dan jumlah endosimbion (zooxanthellae) didalam polip karang (Jones dan Yellowless 1997; Goreau etal. 2004). Pertumbuhan lebih cepat terjadi pada karang yang memiliki kepadatan rangka kapur yang rendah (porositas tinggi) daripada karang dengan kepadatan rangka kapur yang tinggi. Hal ini terkait dengan translokasi energi untuk pertumbuhan, dimana alokasi energi tertinggi terdapat pada bagian karang yang memiliki porositas tertinggi (Hughes 1987; Anthony et. al., 2002; Soong dan Chen 2003).
Zooxanthellae menyuplai sekitar 95% produk fotosintesisnya (berupa asam amino, gula, karbohidrat, dan peptida-peptida pendek) kepada polip inang yang menggunakan nutrisi tersebut untuk respirasi, pertumbuhan, dan penimbunan CaCO3 (Lesser, 2004). Fotosintesis ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya sehingga tanpa pencahayaan yang cukup, laju  fotosintesis akan menurun, dan hal ini juga akan mengurangi kemampuan karang untuk melakukan metabolisme dan mensekresikan kalsium karbonat.  
Ukuran awal fragmen yang digunakan untuk transplantasi juga sangat berpengaruh terhadap kesintasan dan pertumbuhan fragmen (Soong dan Chen 2003; Fauziah 2003). Semua fragmen yang digunakan dalam penelitian ini memiliki panjang awal >4 cm, sesuai dengan penelitian Soong dan Chen (2003) yang menyatakan bahwa panjang minimal fragmen karang transplan untuk jenis karang bercabang adalah 4 cm.
Faktor eksternal
a. Faktor fisik dan hidro-oseanografi
1. Suhu
Karang merupakan organisme yang kehidupannya sangat dipengaruhi oleh suhu rata-rata air laut. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan hidup karang berkisar antara 250 – 290 C (Wells 1954 dalamSupriharyono, 2000). Sedangkan batas minimum dan maksimum suhu berkisar antara 160 – 170 dan 360C (Kinsman 1964 dalam Supriharyono, 2000), namun beberapa karang masih mampu hidup sampai batas suhu 360 – 400 C (Nybakken, 1997).
Suhu yang mematikan bagi karang bukan hanya suhu yang ekstrem, namun fluktuasi suhu yang mendadak juga sangat berpengaruh (Supriharyono, 2000).
2. Cahaya
Cahaya terutama sangat berpengaruh bagi karang hermatipik, karena karang tipe ini memiliki endosimbion alga zooxanthellae yang memerlukan cahaya matahari untuk melangsungkan proses fotosintesis (Supriharyono, 2000). Tanpa pencahayaan yang cukup, rata-rata fotosintesis akan menurun, dan hal ini juga akan mengurangi kemampuan karang untuk mensekresikan kalsium karbonat dan membentuk terumbu. Umumnya karang (terutama karang hermatipik) tidak tumbuh pada kedalaman 50 – 70 meter, dan lebih mudah dijumpai pada kedalaman 25 m atau kurang, terkait dengan ketersediaan cahaya (Nybakken, 1997).
3. Salinitas
Salinitas air laut di daerah tropis rata-rata ± 35‰, sedangkan karang tumbuh dengan baik pada salinitas ± 34‰ – 36‰ (Kinsman 1964 dalam Supriharyono, 2000). Pengaruh salinitas terhadap karang bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam seperti runoff air tawar, badai, dan hujan sehingga kisaran salinitas dapat mencapai 17,5‰ – 52,2‰ (Vaughan 1919; Wells 1932 dalamSupriharyono, 2000).
Karang hermatipik merupakan organisme laut yang tidak dapat mentoleransi salinitas kurang dari salinitas rata-rata air laut (Nybakken, 1997). Akan tetapi, beberapa jenis karang bahkan dapat hidup pada salinitas 0‰ selama beberapa jam pada waktu air surut yang menerima limpahan air tawar dari sungai (Suprihayono 1986 dalam Supriharyono, 2000).
4. Sedimentasi
Aktifitas antropogenik yang berpotensi membebaskan sedimen (terrigenous sediment) diantaranya adalah pembangunan daerah pesisir, pertanian, pembukaan hutan, pengeboran minyak, dan sebagainya. Keberadaan sedimen tersebut menyebabkan perairan di sekitar terumbu karang menjadi keruh, terutama setelah terjadi hujan atau badai, dan hal ini dapat mempengaruhi kehidupan karang.
Level sedimen yang tinggi dapat langsung membunuh karang dengan cara menutupi mulut karang dan organ penangkap mangsanya (Hubbard dan Pocok 1972; Bak dan Elgershuizen 1976; Bak 1978 dalamSupriharyono, 2000). Efek langsung sedimentasi lainnya adalah penutupan karang muda dan area rekruitmen bagi larva karang sehingga mengurangi populasi karang (Victor, 2005). Rogers (1977) menyatakan bahwa sedimentasi dapat menurunkan produktivitas koloni karang. Secara tidak langsung, sedimen akan mengurangi penetrasi cahaya matahari kedalam perairan dan menurunkan laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985; Supriharyono 1986 dalam Supriharyono, 2000). Selain itu, hara tanah yang terikat pada sedimen akan menyebabkan eutrofikasi dan blooming algae sehingga berkompetisi dengan karang dalam perebutan ruang hidup (Pomeroy et al. 1965 dalam Supriharyono, 2000).
Karang dapat memindahkan sejumlah kecil sedimen dengan memperangkap sedimen tersebut dalam mukus dan membuangnya melalui aksi cilliaris oleh tentakelnya (Nybakken, 1997).
5. Gelombang
Perkembangan terumbu karang lebih cepat pada area yang memiliki gelombang yang cukup kuat. Koloni karang dengan kerangka kapurnya resisten terhadap kerusakan akibat gelombang, namun pada saat yang sama, gelombang juga membawa air laut yang mengandung banyak oksigen dan mencegah penempelan sedimen pada koloni. Gelombang juga dapat membawa banyak zooplankton yang merupakan sumber makanan bagi karang (Nybakken, 1997).
Kerusakan akibat gelombang dapat mempengaruhi tingkat keanekaragaman terumbu, baik melalui gelombang yang bersifat kronik maupun efek ekstrem dari badai yang bersifat destruktif (Setiapermana, 1997).

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang bersifat stenotolerant, dalam artian bahwa terumbu karang hanya memiliki kisaran parameter lingkungan yang relatif sempit, terutama untuk faktor salinitas, suhu, dan sedimentasi (Kleypas et al., 1999). Perubahan kecil parameter lingkungan dapat menyebabkan perubahan rata-rata pertumbuhan yang cukup signifikan (Meesters et al. 1998; Kaandorp 1999 dalamCrabbe and Smith, 2005). Perubahan salinitas, suhu, dan sedimentasi selain dapat merubah rata-rata pertumbuhan juga dapat menyebabkan perubahan diversitas dan kelimpahan karang (Lirman et al. 2003dalam Crabbe and Smith, 2005).

b. Faktor biologi
1. Kompetisi
Kompetisi perebutan ruang dan cahaya sering terjadi antara karang dengan turf alga, antara karang dengan alga, dan diantara karang itu sendiri. Karang bercabang lebih cepat tumbuh daripada jenis karang yang lain, seperti karang masif atau encrusting. Dengan demikian, karang masif akan tertutupi oleh karang bercabang, sehingga kekurangan cahaya dan akhirnya mati (Nybakken, 1997). Lang (1973) dalamNybakken (1997) mengemukakan bahwa karang yang lambat tumbuh (misalnya karang masif dan encrusting) dapat memanjangkan suatu filamen dari rongga gastrovaskulernya yang dapat mencerna dan membunuh bagian koloni species karang lain yang letaknya berdekatan.
Pertumbuhan alga juga membentuk kompetisi dengan karang. Peningkatan kandungan nutrisi dalam air laut (eutrofikasi) akan menyebabkan blooming alga, dimana pertambahan pertumbuhan alga akan menutupi karang dan bahkan menghalangi rekruitmen larva karang (Bruno et al. 2003 dalam Victor, 2005). Kompetisi antara karang dengan alga yang cepat tumbuh direduksi oleh invertebrata dan ikan-ikan peramban (grazer), dimana mekanisme ini menguntungkan karang (Birkeland 1977 dalam Nybakken, 1997). Kompetisi perebutan ruang yang paling umum terlihat dalam suatu terumbu karang adalah kompetisi antara karang dengan organisme kriptofauna (cryptofauna) seperti spons, bryozoa, dan tunicata (Nybakken, 1997).
2. Pemangsaan (predasi) 
Hewan pemangsa karang biasanya hanya memakan polip karang saja, tetapi keseluruhan koloni (terumbu) tetap utuh. Bila polip yang tersisa cukup banyak, maka polip tersebut masih dapat melakukan pemulihan terhadap terumbu yang telah mengalami pemangsaan. Beberapa pemangsa karang adalah moluska (famili Architectonidae, Epitoniidae, Ovulidae, Muricidae, dan Coralliophilidae). Hama pemangsa karang yang sangat terkenal adalah bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci). Bintang laut ini hanya memakan karang hidup, dan keberadaannya dalam jumlah melimpah pada suatu terumbu akan berakibat fatal bagi terumbu tersebut, karena Aplanci mampu makan dalam jumlah besar, sehingga dapat merusak seluruh koloni (Nybakken, 1997). Peledakan populasi Aplanci seringkali dikaitkan dengan peningkatanrunoff dari daratan (Birkeland 1982 dalam Victor, 2005).










VII.          Asosiasi dengan Zooxanthellae
Sebagian besar karang dan anemon di perairan tropis (filum Cnidaria) mengandung sejumlah besar populasi Dinoflagellata simbiotik (Gates et al., 1992). Zooxanthellae merupakan algae Dinoflagellata yang bersimbiosis pada hewan, terutama invertebrata. Zooxanthellae ini dapat hidup bebas, tidak selalu terdapat pada polip karang, namun sebagian besar ditemukan bersimbiosis dengan karang, dan ditemukan pada vakuola didalam lapisan gastrodermis (endoderm) karang (Gates et al. 1992; Timotius 2003). Zooxanthellae yang bersimbiosis terutama berasal dari genus Symbiodinium. Sampai saat ini, zooxanthellae utama yang diketahui terdapat dalam karang adalah Symbiodinium microadriaticum(Lesser, 2004). Zooxanthellae dapat berada dalam tubuh polip melalui proses reproduksi polip. Pada reproduksi seksual, karang dapat mendapatkan zooxanthellae secara langsung dari induk, atau secara tidak langsung dari perairan. Pada reproduksi aseksual, zooxanthellae akan langsung dipindahkan ke koloni baru atau ikut bersama fragmen-fragmen karang yang terpisah dari koloni. Keberadaan zooxanthellae pada polip karang dapat mencapai lebih dari 1 juta sel per cm2 permukaan karang (Timotius, 2003).
Polip karang merupakan habitat yang sesuai bagi zooxanthellae karena merupakan penyuplai terbesar kebutuhan zat anorganik untuk fotosintesis zooxanthellae. Zooxanthellae menerima kebutuhan nutrien penting seperti amonia, fosfat, dan CO2 dari sisa metabolisme karang (Trench 1979; Mueller-Parker and D’Elia 1997 dalam Lesser, 2004).  Zooxanthellae sendiri menyediakan hasil fotosintesis seperti asam amino, gula, dan oksigen untuk karang. Selain itu, asosiasi dengan zooxanthellae juga akan mempercepat proses kalsifikasi (Timotius, 2003).

Beberapa jenis zooxanthellae dapat hidup bersama-sama pada satu jenis karang (Rowan dan Knowlton 1995; Rowan et al. 1997 dalam Westmacott et al., 1997). Zooxanthellae dapat ditemukan dalam jumlah besar didalam setiap polip karang. Zooxanthellae ini hidup bersimbiosis dan memberikan warna, energi dari fotosintesis, dan 90% kebutuhan karbon karang (Sebens, 1987).  Zooxanthellae menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang dan memberikan 95% hasil fotosintesisnya kepada karang (Muscatine 1990dalam Westmacott et al., 2000).


VIII.       Penutup
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan  panjang garis pantai lebih dari 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass beds) (Dahuri et al. 1996). Untuk ekosistem terumbu karang World Resource Institute (WRI) (2002) mengestimasi bahwa luas terumbu karang di Indonesia adalah sekitar 51.000 km2. Angka ini belum mencakup terumbu karang di wilayah terpencil yang belum dipetakan atau yang berada di perairan agak dalam (inland waters). Jika estimasi ini akurat maka 51% terumbu karang di Asia Tenggara atau 18% terumbu karang di dunia berada di perairan Indonesia. Sebagian besar dari terumbu karang ini bertipe terumbu karang tepi (fringing reefs) yang berdekatan dengan garis pantai sehingga mudah diakses oleh masyarakat sekitar. Lebih dari 480 jenis karang batu (hard coral )telah didata di wilayah timur Indonesia dan merupakan 60% dari jenis karang batu di dunia yang telah berhasil dideskripsikan. Keanekaragaman tertinggi ikan karang di dunia juga ditemukan di Indonesia dengan lebih dari 1.650 jenis hanya untuk wilayah Indonesia bagian timur .
Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae. Terumbu karang termasuk dalam jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul,Morfologi dan Fisiologi.
Koloni karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut Polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh Tentakel. Namun pada kebanyakan Spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni. Hewan ini memiliki bentuk unik dan warna beraneka rupa serta dapat menghasilkan CaCO3. Terumbu karang merupakan habitat bagi berbagai spesies tumbuhan laut, hewan laut, dan mikroorganisme laut lainnya.
Selama satu tahun rata-rata karang hanya dapat menghasilkan batu karang setinggi 1 cm saja. Jadi selama 100 tahun karang batu itu hanya tumbuh 100 cm. Kalau begitu, jika karang yang tingginya 5 meter dirusak, diperlukan 500 tahun agar kembali seperti semula.

Daftar Pustaka
Anonymous. 2011. http://faridmuzaki.blogspot.com/2011/01/biologi-karang.html diakses pada tanggal 15 Maret 2013
Burke, L., E. Selig, and M. Spalding. 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute.
Castro, P., M.E. Huber. 2005. Marine Biology, Fifth Edition. New York, USA: McGraw-Hill Companies Inc..
Crabbe, M.J.C. and D.J. Smith. 2005. “Sediment Impacts on Growth Rates of Acropora andPorites Corals from Fringing Reefs of Sulawesi, Indonesia”.
Fauziah, A. 2003. Kecepatan Pertumbuhan Karang Transplantasi di Pulau Pari Kepulauan Seribu. Surabaya; Jurusan Biologi – FMIPA Universitas Airlangga.
Gates, R.D., G. Bagiidasarian, and L. Muscatine. 1992. “Temperature Stress Cause Host Cells Detachment in Symbiotic Cnidarians: Implication for Coral Bleaching”. Biology Bulletin182: 324 – 332.
Gattuso, Jean-Pierre, D. Allemand, and M. Frankignoulle. 1999. “Photosynthesize and Calcification at Cellular, Organismal, and Community Levels in Coral Reefs: An Review on Interactions and Control by Carbonate Chemistry”. American Zoologist, Feb. 1999.
Holmes-Farley, R. 2002. “The Chemical and Biochemical Mechanisms of Calcification”.Advanced Aquarist Online Magazine: April 2002.
Hughes, T.P. 1987. “Skeletal Density and Growth Form of Corals”. Marine Ecology – Progress Series 35: 259 – 266.
Kunzmann, A. 2002. “On The Way to Management of West Sumatra’s Coastal Ecosystems”.Naga, The ICLARM Quarterly 25 (1): 4 – 10.
Lesser, M.P. 2004. “Experimental Biology of Coral Reef Ecosystems”. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 300 (2004): 217 – 252.
Nybakken, J.W. 1997. Marine Biology: An Ecological Approach, Fourth Edition. Addison-Wesley Educational Publishers Inc.
Sammarco, P.W. 1982. “Polyp Bail-out: An Escape Response to Environmental Stress and A New Means of Reproduction in Corals”. Marine Ecology Progress Series 10: 57 – 65.
Setiapermana, 1997. “Peranan Disturbansi pada Keanekaragaman Jenis Terumbu Karang pada Perairan Dangkal”. Oseana XXII (3): 17 – 24.
Spotts, D.G and J.H Spotts. 2001. “Stony Coral Asexual Reproduction”. Bulletin de l'Institut Océanographique, Monaco, n° Spécial 20, Fascicule 1 (2001).
Suharsono. 2004. Jenis-jenis Karang di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Timotius, S. 2003. “Biologi Karang”. Makalah Training Course: Karakteristik Biologi Karang. PSK – UI; Yayasan Terangi.
Victor, S. 2005. Effects of Sedimentation on Palau’s Coral Reefs. International Coral Reef Initiative (ICRI) GM Japan/Palau (1) 2005/11.1/1.
Westmacott, S., K. Teleki, S. Wells, dan J. West. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang yang Telah Memutih  dan Rusak Kritis. Terjemahan oleh J.H Steffen. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).