Search This Blog

Monday, 8 December 2014

FISIOLOGI CRUSTACEA

FISIOLOGI CRUSTACEA
(REPRODUKSI DAN PERGERAKANNYA)


Crustacea disebut juga hewan bercangkang. Telah dikenal kurang lebih 26.000 jenis Crustacea yang paling umum adalah udang dan kepiting. Habitat Crustacea sebagian besar di air tawar dan air laut, hanya sedikit yang hidup di darat. Tubuh Crustacea bersegmen (beruas) dan terdiri atas sefalotoraks (kepala dan dada menjadi satu) serta abdomen (perut). Bagian anterior (ujung depan) tubuh besar dan lebih lebar, sedangkan posterior (ujung belakang)nya sempit. Pada bagian kepala terdapat beberapa alat mulut, yaitu: 2 pasang antenna, 1 pasang mandibula, untuk menggigit mangsanya, 1 pasang maksilla, 1 pasang maksilliped. Maksilla dan maksiliped berfungsi untuk menyaring makanan dan menghantarkan makanan ke mulut. Alat gerak berupa kaki (satu pasang setiap ruas pada abdomen) dan berfungsi untuk berenang, merangkak atau menempel di dasar perairan.


Klasifikasi Crustacea
Berdasarkan ukuran tubuhnya Crustacea dikelompokkan sebagai berikut :
1)      Entomostraca (udang tingkat rendah). Hewan ini dikelompokkan menjadi empat ordo, yaitu: Branchiopoda , Ostracoda , Copecoda , Cirripedia


2)      Malakostraca (udang tingkat tinggi). Hewan ini dikelompokkan dalam tiga ordo, yaitu: Isopoda , Stomatopoda , Decapoda


Reproduksi
Sistem reproduksinya bersifat diesis (berkelamin satu). Pembuahan terjadi secara eksternal. Telur menetas menjadi larva yang sangat kecil, berkaki tiga pasang dan bersilia. Alat reproduksi pada umumnya terpisah, kecuali pada beberapa Crustacea rendah. Alat kelamin betina terdapat pada pasangan kaki ketiga. Sedangkan alat kelamin jantan terdapat pada pasangan kaki kelima. Pembuahan terjadi secara eksternal (di luar tubuh).

Dalam pertumbuhannya, udang mengalami ekdisis atau pergantian kulit. Udang dewasa melakukan ekdisis dua kali setahun, sedangkan udang yang masih muda mengalami ekdisis dua minggu sekali. Selain itu udang mampu melakukan autotomi (pemutusan sebagian anggota tubuhnya). Misalnya: udang akan memutuskan sebagian pangkal kakinya, bila kita menangkap udang pada bagian kakinya. Kemudian kaki tersebut akan tumbuh kembali melalui proses regenerasi.

Reproduksi Pada Branchiopoda

Reproduksi aseksual tidak ada. Umumnya berkembang biak secara parthenogenesis. Namun bagi spesies tertentu pada saat bersamaan terjadi baik reproduksi secara parthenogenesis maupun singamik terjadi kopulasi dan pembuahan di dalam. Telur yang telah dibuahi dan telur  parthenogenesis dierami oleh betina selama beberapa hari. Beberapa jenis phyllopoda menghasilkan dua macam telur, bercangkang tipis yang secara meretas dan telur dorman bercangkang tebal yang tahan panas, dingin maupun kekeringan. Kedua macam telur tersebut dapat terjadi baik ada jantan maupun tanpa jantan dalam populasi. Perkembangan embrio dalam telur mulai terjadi selama waktu pengeraman, kemudian dilepas ke air kelompok demi kelompok dengan selang waktu 2 sampai 6 hari. Telur menetas menjadi larva nauplius atau metanauplius tergantung spesiesnya.

Cladocera dioecious, dalam lingkungan yang baik sepanjang tahun berkembang biak secara partenogenesis, telur dierami dalam kantung pengeraman, anak yang dihasilkan selalu betina. Tidak ada stadia larva. Sekali bertelur antara 2 sampai 40 butir, tetapi umumnya antara 10 sampai 20 butir. Biasanya sekelompok telur masuk ke kantung pengeraman terjadi setiap usai pergantian kulit. Telur dierami sekitar 2 hari. Dengan mengerak-gerakkan post-abdomen ke belakang, induk betina  melepaskan anak-anaknya keluar sudah dalam stadia juvenil pertama. Pertumbuhan paling cepat terjadi pada stadium juvernil ini, dimana setiap kali setelah molting, ukuran tubuh menjadi hampir 2 kali lipat. Selama juvernil terdapat sekitar 2 sampai 5 instar, dan dewas 10 sampai 25 instar tergantung jenisnya. Umur cladocera sejak telur masuk ke kantung pengeraman, menetas, juvernil, dewasa sampai mati bervariasi tergantung spesies dan lingkungan. Panjang umur Daphnia longispina antara 28 sampai 33 hari. Menjelang dan setelah molting pada cladocera terjadi 4 peristiwa yang berurutan dan berlangsung dengan cepat, antara beberapa menit sampai beberapa jam, yaitu
 (1) melepaskan anak-anaknya dari kantung pengeraman,
(2) molting,
(3) pertumbuhan ukuran panjang, dan
(4) mengeluarkan kelompok telur baru dari ovari ke kantung pengeraman.

Bila lingkungan memburuk, maka dalam populasi terdapat jantan antara 5% sampai 50%. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya jantan antara lain
(1) populasi betina yang terlalu padat,
 (2) kekurangan makanan,
(3) perubahan suhu, terlalu rendah atau tinggi.

Diduga faktor tersebut meningkatkan metabolisme yang berpengaruh terhadap mekanisme kromosom sedemikian rupa sehingga menghasilkan telur partenogenesis jantan dan bukan telur betina seperti biasanya. Bentuk jantan hampir sama dengan yang betina, hanya berukuran lebih kecil, antenul lebih besar, post-abdomen mengalami modifikasi dan kaki pertama dilengkapi kait yang tebal untuk memegang betina. Lingkungan memburuk juga memicu timbulnya betina yang mampu menghasilkan telur seksual. Artinya telur haploid yang dapat dibuahi jantan, jumlahnya hanya satu atau dua butir. Telur tersebut juga berada dalam kantung pengeraman dan dibungkus kapsul tebal dan gelap yang disebut ephippium. Ephippia tahan terhadap kekeringan, panas dan beku, mudah diterbangkan angin. Bila lingkungan sesuai, maka ephippium akan menetas menjadi betina partenogenesis. Pada cladocera terutama betina dari spesies limnetik, cyclomorfosa merupakan peristiwa biasa, misalnya pada Daphnia pulex. Cyclomorfosa ialah perubahan bentuk tubuh dalam suatu populasi disebabkan oleh perubahan musim di daerah bermusim empat. D. carinata di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat juga mengalami perubahan bentuk kepala pada waktu stadia juvenil, juvenil pertama mancung dan mulai membulat tiap kali molting.

Reproduksi Pada Decapoda

Decapoda dioecious, terjadi kopulasi, beberapa jenis membentuk spermatofora dan betina mempunyai seminal receptacle. Sepasang testis atau ovari terletak dalam thorax, dan memanjang sampai bagian anterior abdomen. Banyak decapoda memperlihatkan perbedaan jenis jantan dan betina, misalnya hewan jantan lebih kecil daripada yang betina, atau salah satu capit pada jantan besar sekali sedangkan pada betina capitnya kecil, atau jantan mempunyai warna lebih indah.

Pada beberapa jenis penaeid yang tidak mengerami telur dan udang. Sergestes, telur menetas menjadi larva nauplius, metanauplius atau protozoea. Namun pada kebanyakan decapoda laut, telur menetas menjadi protozoea atau zoea. Tergantung habitatnya, reproduksi dan daur hidup decapoda sangat beraneka ragam. Berikut ini disajikan reproduksi daur hidup beberapa jenis decapoda yang banyak dikenal. Jenis udang dari famili Penaeidae dalam daur hidupnya melakukan migrasi. Udang dewasa bertelur di laut. Telur dilepas ke air dan menjadi larva nauplius yang hidup sebagai plankton dan akan menuju tepi pantai. Dalam perjalanannya menuju tepi pantai, nauplius mengalami metamorfosa menjadi protozoea, zoea, mysis dan post larva.

Pada musim tertentu, udang stadia mysis atau post larva dalam jumlah sangat banyak bersama air pasang memasuki muara sungai, hutan bakau dan tambak ikan atau tambak udang melalui pintu tambak. Daerah tersebutmerupakan nursery ground bagi anak udang sampai stadia juvenil. Pada akhir stadia juvenile atau menjelang dewasa, udang akan kembali ke laut untuk bertelur. Udang galah, Macrobrachium rosenbergii dewasa mengerami telur pada pleopod. Sebelum telur menetas, udang betina akan pergi ke muara sungai, tepi pantai dan perairan payau. Telur menetas menjadi larva stadium mysis di air tawar atau air payau. Bila dalam waktu 4-5 hari mysis tidak mencapai air payau, akan mati. Muara sungai, tepi pantai dan perairan payau merupakan daerah pembesaran (nursey ground) bagi mysis yang planktonik sampai mencapai stadium juvenile yang bersifat benthik. Stadium juvenil akan melakukan migrasike hulu sungai, ke air tawar dan tinggal di perairan tawar sampai dewasa. Udang galah disebut juga giant river prawn. Jantan mencapai panjang 25 cm dan betina 15 cm. Banyak terdapat di daerah tropis dan subtropis di wilayah Indo Pasifik. Bentuk zoea kepiting mudah dikenal karena mempunyai duri rostrum yang sangat panjang dan adakalanya terdapat sepasang duri lateral pada tepi posterior karapas. Larva zoea sebanyak 4 instar kemudian menjadi larva megapola yang mempunyai karapas lebar dan 5 pasang apendik thorax tetapi tidak mempunyai duri panjang. Stadia zoea menjadi megapola berenang bebas sebagai plankton, kemudian megapola akan turun ke dasar perairan dan berganti kulit menjadi kepiting muda dengan bentuk karapas lebih besar dan abdomen melipat kebawah thorax, dan menjadi benthos sperti yang dewasa.


Pergerakan Crustacea
Kebanyakan anggotanya dapat bebas bergerak, walaupun beberapa takson bersifat parasit dan hidup dengan menumpang pada inangnya.
Ordo Anostraca dan Notostraca berenang dengan lemah gemulai dan anggun, lambat dan cepat, atau beristirahat di dasar perairan. Kaki yang banyak dan langsing merupakan alat renang. Anostraca mempunyai kebiasaan berenang terbalik. Notostraca seringkali kali merayap atau meliang pada permukaan subtract yang lembut. Pada Conchostraca, antenna kedua merupakan alat renang utama, sedang kakikaki kurang berperan. Conchostraca sering kali meliang atau merayap dengan kikuk di permukaan substrat.

Kelompok Entomostraca umumnya merupakan penyusun zooplankton,hidupnya melayang-layang di dalam air dan merupakan makanan ikan.Ostracoda (Contoh: Cypris candida, Codona suburdana)
Hidup di air tawar dan laut sebagai plankton, tubuh kecil dan dapat bergerak dengan antena. Pada umumnya copepoda yang hidup bebas berukuran kecil, panjangnya antara satu dan beberapa milimeter. Kedua antenanya yang paling besar berguna untuk menghambat laju tenggelamnya.
Abludomelita obtusata, suatu amphipoda

Pada udang mempunyai sifat alami yakni aktif pada malam hari. Pada siang hari udang menyembunyikan diri di tempat yang teduh atau dalam lumpur. Namun bilakeadaan siang hari tidak terlalu terik, udang akan aktif mencari makan. Gerakan mereka yang rupa-rupanya dengan alat tertentu bukannya tanpa sebab. Gerakan chemoreseptor pindah tempat pada udang berlangsung dengan dua cara yaitu berjalan dan berenang. Udang dapat berjalan ke segala arah biasanya ke depan  belakang, samping, serong atau mundur. Baik pada saat istirahat maupun bergerak. Keseimbangan tubuhnya tidak stabil dan harus dipertahankan dalam posisi normal dengan usahanya sendiri, yang dibantu oleh statocyt. Persinggungan statocytdirambut-rambut statocyt merupakan stimulus yang menyebabkan hewan bertahan pada posisi normal (Radiopoetra, 1977).
Udang memiliki organ vesus atau organ–organ penting seperti kaki renang dan yang terutama adalah antenna yang berupa juluran panjang pada bagian anterior sungut dan memiliki antenna yang berukuran pendek letaknya di depan rostrum. Berbeda dengan antenula yang hanya terdapat sepasang dan berukuran pendek. Pada dasarnya Crustacea  udang air tawar memiliki morfologi yang berupa cepalothorax dan abdomen akan tetapi setelah diidentifikasi ternyata udang memiliki bagian tubuh yang cepalothorax dan abdomennya memisah (Suwignyo, 2005).


Sumber Pustaka dan Gambar
http://kilasbiologi.blogspot.com/2010/01/crustacea-udang.html diakses pada tanggal 28 Agustus 2012 , pukul 10.00
http://id.wikipedia.org/wiki/Crustacea diakses pada tanggal 30 Agustus 2012, pukul 20.58
http://www.scribd.com/doc/25411183/CRUSTACEA-II diakses pada tanggal 30 Agsustus 2012, pukul 21.00
http://ardianismart.blogspot.com/2011/12/makalah-arthropoda.html diakses pada tanggal 30 Agustus 2012, pukul 21.05
http://biologigonz.blogspot.com/2010/03/arthropoda.html diakses pada tanggal 30 Agustus 2012 , pukul 21.20
Suwignyo, Sugiarti dkk. 2005. Avertebrata Air Jilid I. Jakarta. Penerbar Swadaya.

Radiopoetro. 1977.  Zoology. Erlangga, Jakarta.

MANGROVE

       I.            Pendahuluan
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang kaya dan menjadi salah satu sumberdaya yang produktif.
Hutan mangrove sebagai salah satu sumberdaya kelautan mempunyai peranan yang cukup panting. Secara ekologis berbagai jenis hewan laut hidup di daerah mangrove.
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling 
khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.
Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).

Manfaat hutan mangrove dan elemen-elemennya baik secara langsung maupun tidak langsung mencakup berbagai sektor. Secara fisik hutan mangrove dengan sistem perakarannya yang kokoh mampu melindungi dan menjaga stbilitas pantai (Budiman dan Suhardjo, 1992). 
Secara ekologis ekosistem mangrove merupakan habitat alami, daerah pemijahan (spawning ground) serta daerah mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis biota laut seperti ikan,krustacea dan gastropod dan biota darat seperti burung,reptil dan mamalia. Mangrove menyediakan habitata bagi berbagai jenis biota laut yang bersifat ekonomis dan bersifat kritis dalam daur hidup mereka. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai tempat asuhan (nursery ground) pada beberapa kasus (Tomlinson, 1994).
Selain itu mangrove sebagai suatu sumberdaya juga sering dimanfaatkan sebagai bahan kontruksi bahan bangunan pantai, bahan baku industri bahan bakar dan perikanan (Budiman dan Suhardjono, 1992).


     II.            Definisi Mangrove
Kata ‘mangrove’ berasal bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove . Dalam Bahasa Inggris, mangrove berarti komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut dan individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Dalam bahasa Portugis kata ’mangrove’ : individu spesies tumbuhan ; ’mangal’ komunitas tumbuhan tersebut.
Menurut FAO, mangrove adalah  individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut.
Snedaker (1978) dalam Kusmana (2003), hutan mangrove merupakan kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis; memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam  dan bersifat an-aerob.
 Tomlinson (1986) mangrove adalah  tanaman tropis dan komunitasnya yang tumbuh pada daerah intertidal. Mangrove : ekosistem spesifik karena umumnya hanya dijumpai pada pantai berombak kecil atau bahkan terlindung dari ombak, di sepanjang delta dan estuarin yang dipengaruhi oleh masukan air dan lumpur dari daratan.
Secara ringkas, hutan mangrove adalah  tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama pada pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas genangan pada saat surut ; bertoleransi terhadap garam.
 Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas organisme (hewan dan tumbuhan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove.
Beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hutan mangrove; tidal forest,coastal woodland,  vloedbosschen, hutan payau dan hutan bakau. Penyebutan hutan bakau, kurang sesuai untuk menggambarkan mangrove sebagai komunitas berbagai tumbuhan yang berasosiasi dengan lingkungan mangrove.  Di Indonesia, bakau digunakan untuk genus Rhizopora. Sedangkan kenyataannya mangrove terdiri dari banyak genus dan berbagai jenis, sehingga penyebutan hutan mangrove dengan istilah hutan bakau sebaiknya dihindari.

  III.            Vegetasi Mangrove
Vegetasi (dari bahasa Inggris: vegetation) dalam ekologi adalah istilah untuk keseluruhan komunitas tetumbuhan. Vegetasi merupakan bagian hidup yang tersusun dari tetumbuhan yang menempati suatu ekosistem. Beraneka tipe hutankebunpadang rumput, dan tundra merupakan contoh-contoh vegetasi.Analisis vegetasi biasa dilakukan oleh ilmuwan ekologi untuk mempelajari kemelimpahan jenis serta kerapatan tumbuh tumbuhan pada suatu tempat.(Wikipedia,30 Maret 2011)
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis.
Mangrove merupakan suatu varietas komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa pohon yang khas atau semak-semak yang mampu beradaptasi dengan perairan asin.(Nybakken, 1988) Hutan mangrove sering juga disebut hutan bakau. Dinamakan hutan bakau karena sebagian besar vegetasinya yang didominasi oleh jenis bakau dan disebut hutan payau oleh karena hutannya yang tumbuh diatas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur (Bengen, 1999).
Mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimum dalam kondisi dimana terjadi penggenangan dan sirkulasi air permukaan yang menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus menerus. Sirkulasi yang tetap (terus-menerus) meningkatkan pasokan oksigen dan nutrient, untuk keperluan respirasi dan produksi yang dilakukan oleh tumbuhan. Perairan dengan salinitas rendah akan menghilangkan garam-garam dan bahan-bahan alkalin, mengingat air yang mengandung garam dapat menetralisir keasaman tanah. Mangrove dapat tumbuh pada berbagai macam substrat (sebagai contoh tanah berpasir, tanah lumpur, lempung, tanah berbatu dan sebagainya). Mangrove tumbuh pada berbagai jenis substrat yang bergantung pada proses pertukaran air untuk memelihara pertumbuhan mangrove.(Dahuri, 1996)
Tomlinson, The Botany of Mangrove (1986) membagi spesies mangrove ke dalam 3 komponen, yaitu:
1. Major component (komponen utama)
Tumbuhan yang membentuk spesialisasi morfologis seperti akar udara dan mekasime fisiologi khusus lainnya untuk mengeluarkan garam agar dapat beradaptasi terhadap lingkungan mangrove. Secara taksonomi kelompok tumbuhan ini berbeda dengan kelompok tumbuhan darat.  Kelompok ini hanya terdapat di hutan mangrove dan membentuk tegakan murni, tidak pernah bergabung dengan kelompok tumbuhan darat. Rhizopora sp.,Ceriops sp., Avicennia sp., Bruguiera sp., Sonneratia sp.
2. Minor component (komponen tambahan)
Komponen tambahan : kelompok ini bukan merupakan bagian yang penting dari mangrove, biasanya terdapat pada daerah tepi dan jarang sekali membentuk tegakan murni. Spinifex litoreus (gulung-gulung), Ipomea-pes caprae (ketang-ketang).

3. Asosiasi mangrove
Asosiasi mangrove : kelompok ini tidak pernah tumbuh di dalam komunitas mangrove sejati dan biasanya hidup bersama tumbuhan darat. Terminalia cattapa (ketapang) dan Cerbera manghas (bintaro)

Penyusun utama



TIPE VEGETASI MANGROVE
Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam empat zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar.(Noor, dkk, 1999)

Mangrove terbuka
Mangrove terbuka berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.  Samingan (1980) menemukan bahwa di Karang Agung, Sumatra Selatan, di zona ini didominasi oleh Soneratia alba yang tumbuh pada areal yang betul-betul dipengaruhi oleh air laut.
Van Steenis (1958) melaporkan bahwa S. alba dan A. alba merupakan jenis-jenis ko-dominan pada areal pantai yang sangat tergenang ini. Komiyama, dkk (1988) menemukan bahwa Halmahera, Maluku, di zona ini didominasi oleh S. alba. Komposisi floristik dari komunitas di zona terbuka sangat bergantung pada substratnya. S. alba cenderung untuk mendominasi daerah berpasir, sememtara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi daerah yang lebih berlumpur (Van Steenis, 1958). Meskipun demikian, Sonneratia akan berasosiasi dengan Avicennia jika tanah lumpurnya kaya akan bahan organik (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993).
Mangrove tengah
Untuk mangrove tengah, di zona ini terletak di belakang mangrove terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Namun, Samingan (1980) menemukan di Karang Agung didominasi oleh Bruguiera cylindrica. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan di Karang Agung adalah B. eriopetala, B. gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, R. mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.
Mangrove payau
Dilanjutkan dengan mangrove payau, yaitu mangrove yang berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Di Karang Agung, komunitas N. fruticans terdapat pada jalur yang sempit di sepanjang sebagian besar sungai. Di jalur-jalur tersebut sering kali ditemukan tegakan N. fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri dari Cerbera sp, Gluta renghas, Stenochlaena palustris dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai, campuran komunitas Sonneratia – Nypa lebih sering ditemukan. Di sebagian besar daerah lainnya, seperti di Pulau Kaget dan Pulau Kembang di mulut Sungai Barito di Kalimantan Selatan atau di mulut Sungai Singkil di Aceh, Sonneratia caseolaris lebih dominan terutama di bagian estuari yang berair hampir tawar (Giesen & Van Balen, 1991).
Mangrove daratan
Untuk yang terakhir adalah mangrove daratan. Mangrove ini berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Instia bijug, N. fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp dan Xylocarpus moluccensis (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993). Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya.
Meskipun kelihatannya terdapat zonasi dalam vegetasi mangrove, namun kenyataanya di lapangan tidaklah sesederhana itu. Banyak formasi serta zona vegetasi yang tumpang tindih dan bercampur serta sering kali struktur dan korelasi yang nampak di suatu daerah tidak selalu dapat diaplikasikan di daerah lain.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VEGETASI MANGROVE
Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:

 

Jenis tanah

Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut.
Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.

Terpaan ombak

Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang.
Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.

Penggenangan oleh air pasang

Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan kadang-kadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.
Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering.
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini.
Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerberaspp.).
Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta(Excoecaria agallocha).

  IV.            Stuktur dan Adaptasi Mangrove
Mangrove Terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xilocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Snaeda dan Conocarpus) yang termasuk dalam 8 famili yang berbeda (Nybakken, 1988).
Vegetasi Hutan Mangrove memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis yang tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun tidak semua jenis mangrove dapat ditemukan pada ekosistem mangrove, paling tidak didalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati yang dominan pada hutan mangrove, sepeti famili Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Avicenniaceae, Meliaceae (Bengen, 1999).
Mangrove tertentu, seperti Rhizophora sp dan Bruguiera sp mempunyai daur hidup khusus yang diawali dari benih yang ketika masih pada tumbuhan induk berkecambah dan mulai tumbuh dalam semaian tanpa istirahat. Selama waktu tersebut, semaian memanjang dan distribusi beratnya berubah menjadi lebih berat sehingga terlepas dari induknya dan selanjutnya jatuh dan mengapung pada permukaan air, yang selanjtya terbawa oleh arus ke perairan yang cukup dangkal dimana ujung akar dapat mencapai dasar perairan untuk selanjutnya akar dipancangkan dan secara bertahap tumbuh menjadi akar. Adapula propagul atau buah mangrove jenis Rhizophoraceae yang lepas dari induk dan jatuk keperairan dan langsung menancap ke substrat yang kemudian tumbuh akar yang selanjutnya menjadi pohon (Bengen, 1999).
Mangrove mempunyai sejumlah adaptasi morfologis dan fisiologis khusus yang memungkinkan mereka dapat tumbuh di wilayah yang berlumpur dan dipengaruhi oleh pasang surut yang relatif asin, Anatara lain dengan daur hidup yang khas yaitu vivipari pada jenis Rhizophoraceae, dimana fase perkecambahan terjadi dipohon induk sedangkan Aegiceras dan Avicennia memiliki bentuk reproduksi yang disebut kriptovivipari, dimana fase perkecambahan (germination) terjadi dipohon induk tetapi masih tertutup oleh kulit buahnya (Hogart, 1999).
Mangrove juga memiliki sistem perakaran yang unik dan khas agar dapat hidup di lingkungan yang berlumpur anoksik (Hogart, 1999). Perakaran mangrove secara fisiologis merupakan adapitasi terhadap lingkungan air laut. Scholander dalam Tomlinson (1994) menyatakan bahwa proses pemisahan garam seharusnya terjadi pada ujung akar dan dibantu oleh proses fisiknya. Tomlinson memberikan contoh ultrafiltration yang terjadi ada Aegieras dan Avicennia dimana proses ini menolak 90% pada akar dan meningkat menjadi 97% pada lingkungan yang salinitasnya semakin tinggi.
Bentuk adaptasi lainnya adalah struktur daun yang meiliki kelenjar garam atau salt gland, bagian atas daun Avicennia, Ceriops dan aegiceras terasa asin jika dijilat dan terkadang memperlihatkan kristal-kristal garam dan bagian bawah daun Avicennia tertutup oleh bulu-bulu untuk membantu sekresi air asin dari permukaan daun (Osborne dan Berjak, 1997 dalam Hogart,1999). Tomlinson (1994) menambahkan bahwa proses pengeluaran garam juga dilakukan oleh semua jenis mangrove dengan cara menggugurkan daunnya.
Sistem Perakaran
Daerah yang menjadi tempat tumbuh mangrove menjadi anaerob (tak ada udara) ketika digenangi air. Beberapa spesies mangrove mengembangkan sistem perakaran khusus yang dikenal sebagai akar udara (aerial roots), yang sangat cocok untuk kondisi tanah yang anaerob. Akar udara ini dapat berupa akar tunjang, akar napas, akar lutut dan akar papan. Akar napas dan akar tunjang yang muda berisi zat hijau daun (klorofil) di bawah lapisan kulit akar (epidermis) dan mampu untuk berfotosintesis. Akar udara memiliki fungsi untuk pertukaran gas dan menyimpan udara selama akar terendam.
Buah
Semua spesies mangrove menghasilkan buah yang biasanya disebarkan oleh air. Buah yang dihasilkan oleh spesies mangrove memiliki bentuk silindris, bola, kacang, dan lain-lain. Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, dan Kandelia) memiliki buah silindris (serupa tongkat) yang dikenal sebagai tipe vivipari. Buah semacam ini dikenal sebagai tipe buah vivipari. Biji Rhizophoraceae telah berkecambah sejak biji masih berada di dalam buah dan hipokotilnya telah mencuat ke luar pada saat buah masih bergelantung di pohon induk.
Avicennia (buah berbentuk seperti kacang), Aegiceras (buah silindris) dan Nypa membentuk tipe buah yang dikenal sebagaikriptovivipari, dimana biji telah berkecambah tetapi tetap terlindungi oleh kulit buah (perikarp) sebelum lepas dari pohon induk. Sonneratia dan Xylocarpus memiliki buah berbentuk bola yang berisi biji yang normal. Buah dari berbagai jenis lainnya berbentuk kapsul atau seperti kapsul yang berisi biji normal.
Kelenjar Garam 
Beberapa spesies mangrove dapat menyesuaikan diri terhadap kadar garam tinggi, yaitu antara lain dengan cara membentuk kelenjar garam (salt glands) yang berfungsi untuk membuang kelebihan garam. Avicennia, Aegiceras, Acanthus, dan Aegialitis mengatur keseimbangan kadar garam dengan mengeluarkan garam dari kelenjar garam (Tomlinson, 1986). Kelenjar garam banyak ditemukan pada bagian permukaan daun, sehingga kadang-kadang pada permukaan daun sering terlihat kristal-kristal garam.
Spesies lainnya, Rhizophora , Bruguiera, Ceriops, Sonneratia dan Lumnitzera mengatur keseimbangan garam dengan cara yang lain yaitu dengan menggugurkan daun tua yang berisi akumulasi garam atau dengan melakukan tekanan osmosis pada akar. Meskipun demikian secara detil hal ini belum terungkap dengan jelas.




    V.            Identifikasi Mangrove













  VI.            Reproduksi Mangrove
Adaptasi Mangrove untuk reproduksi
Pembungaan dan polinasi. Polen yang berukuran kecil dan tidak bertangkai memungkinkan polinasi dengan bantuan angin, serangga dan burung. Polen bertangkai polinasi dibantu dengan serangga tertentu. Bunga Sonneratia mekar pada malam hari sehingga polinasi dibantu oleh serangga yang aktif di malam hari
Produksi propagul. Kebanyakan mangrove di daerah sub-tropis menghasilkan propagul masak pada musim panas. Sedang pada daerah tropis mangrove berbunga dan berbuah umumnya pada awal musim kemarau
Vivipari dan kriptovivipari. Vivipari adalah biji sudah berkecambah ketika masih diatas pohon dan embrio telah keluar dari pericarp, misalnya pada Rhizopora,Bruguiera, Ceriops dan Kandelia. Sedangkan Kriptovivipari adalah biji sudah berkecambah ketika masih diatas pohon (embrio berkembang di dalam buah) tetapi tidak cukup kuat menembus pericarp
Penyebaran propagul dan pembentukannya. Propagul pohon-pohon mangrove biasanya memiliki kemampuan mengapung sehingga dapat beradaptasi dengan penyebaran oleh air. Misal pada Rhizopora, selama proses vivipari buah memanjang dan distribusi beratnya berubah sehingga menjadi lebih berat pada bagian ujung bawah serta akhirnya terlepas. Kemudian propagul ini mengapung di air (atau langsung menancap di substrat ketika air surut), tumbuh dimulai dari akar yang muncul dari ujung propagul dan bertahap akan menjadi individu baru.
  
VII.            Daur Hidup Mangrove
Vivipari adalah perkecambahan dimana embrio keluar dari perikarp selagi masih menempel pada ranting pohon, kadang-kadang berlangsung lama pada pohon induknya.
Vivipari terjadi pada :
Ø  Bruguiera
Ø  Ceriops
Ø  Rhizophora
Ø  Kandelia
Ø  Nypa
Kriptovivivari adalah perkecambahan dimana embrio berkembang dalam buah, tapi tidak mencukupi untuk keluar dari pericarp.
Kriptovivipari terjadi pada :
Ø  Aegialitis
Ø  Acanthus
Ø  Avicennia
Ø  Laguncularia
Ø  Pelliciera
Viviparitas ini merupakan mekanisme adaptasi terhadap beberapa aspek lingkungan, diantaranya bertujuan untuk mempercepat perakaran, pengaturan kadar garam, keseimbangan ion, perkembangan daya apung dan memperpanjang waktu memperoleh nutrisi dari induk.


 Gambar Daur Hidup Mangrove


VIII.            Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi ekosistem hutan, air dan alam sekitarnya. Secara fisik hutan mangrove berfungsi dan bermanfaat sebagai : penahan abrasi pantai; penahan intrusi (peresapan) air laut; penahan angin; menurunkan kandungan gas karbon dioksida (CO2) di udara, dan bahan-bahan pencemar di perairan rawa pantai. Secara Biologi hutan mangrove berfungsi dan bermanfaat sebagai : tempat hidup (berlindung, mencari makan, pemijahan dan asuhan) biota laut seperti ikan dan udang); sumber bahan organik sebagai sumber pakan konsumen pertama (pakan cacing, kepiting dan golongan kerang/keong), yang selanjutnya menjadi sumber makanan bagi konsumen di atasnya dalam siklus rantai makanan dalam suatu ekosistem; tempat hidup berbagai satwa liar, seperti monyet, buaya muara, biawak dan burung.
Dilihat dari fungsi dan manfaat sosial dan ekonomi, hutan mangrove juga berfungsi dan bermanfaat sebagai : tempat kegiatan wisata alam (rekreasi, pendidikan dan penelitian); penghasil kayu untuk kayu bangunan, kayu bakar, arang dan bahan baku kertas, serta daun nipah untuk pembuatan atap rumah; penghasil tannin untuk pembuatan tinta, plastik, lem, pengawet net dan penyamakan kulit; penghasil bahan pangan (ikan/udang/kepiting, dan gula nira nipah), dan obat-obatan (daun Bruguiera sexangula untuk obat penghambat tumor, Ceriops tagal dan Xylocarpus mollucensis untuk obat sakit gigi, dan lain-lain); tempat sumber mata pencaharian masyarakat nelayan tangkap dan petambak., dan pengrajin atap dan gula nipah.
Sedangkan menurut Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut :
1. Habitat satwa langka
Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus)
2. Pelindung terhadap bencana alam
Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.
3. Pengendapan lumpur
Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
4. Penambah unsur hara
Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.
5. Penambat racun
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif
6. Transportasi
Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
7. Sumber plasma nutfah
Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untukmemelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.
8. Rekreasi dan pariwisata
Hutan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang ada di dalamnya. Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.
9. Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
10. Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
11. Penyerapan karbon
Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
12. Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi hutan bakau mampu menjaga ketembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
13. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
Keberadaan hutan bakau dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya kondisi alam.





DAFTAR PUSTAKA
Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN. Bangkok. Thailand. 176 hal
Bengen, D.G. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan. Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSDL-IPB:Bogor.
Chapman, V.J.C. 1984. Mangrove Biogeography dalm F.D. Poor dan Inka Dor (Eds). Hydrobiology of Mangal. W. Junk Publisher. Boston
Dahuri,R.J J.RaisJ S.P. GintingJ dan M.J.Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Hogart, P . J. 1999. The Biology of Mangroves. Oxford University Press, Inc. New York. 228 hal
Ilmukelautan.com
Kennish, M.J. 1990. Ecology of Estuaries. Biological Aspect. Vol. II Crc Press Inc. USA
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago dan S. Baba. 1997. Handbook of Mangrove in Indonesia. Bali and Lombok. JICA/ISME.Denpasar. 119 hal
Macnae, W. 1968. A General Account of The Fauna and Flora of Mangrove Swamps ang Forest in Indo-West Pasific Region. Adv. Marine Biology. 6: 73-270
Nybakken, James and Bertness, Mark, 1988. Marine Biology: An Ecological Approach, Sixth Edition
Rusila Noor, Y., M. Khazali dan I N. N. Suryadiputra.1999. apanduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP.Bogor. 220 hal
Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.
The Botany Of Mangroves by P. B. Tomlinson ISBN Number: 052146675X, 9780521466752, 978-0521466752.
Tomlinson, P. B. 1994. The Botany of Mangrove. Cambridge Universiy Press. UK. 419 hal
Wikipedia.org