I.
PENDAHULUAN
Sebagai
negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak wilayah pesisir sebagai bagian dari
kedaulatan negaranya. Dalam hal ini, wilayah pesisir mempunyai potensi yang
signifikan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya nasional. Konsep wawasan
nusantara menganggap seluruh wilayah baik darat, laut serta udara sebagai suatu
kesatuan yang utuh, termasuk di dalamnya wilayah pesisir yang di antaranya
menjadi wilayah perbatasan dengan negara lain. Tentunya hal ini menyangkut
sistem pertahanan dan keamanan wilayah, terutama dalam hal pengelolaan
sumberdaya, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan.
Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang
langka akibat tingkat ekstraksi yang berlebihan over-exploitation dan kurang
memperhatikan aspek keberlanjutan. Kendati ia secara ekonomi dapat meningkatkan
nilai jual, namun di sisi lain juga bias menimbulkan ancaman kerugian ekologi
yang jauh lebih besar, seperti hilangnya lahan, langkanya air bersih, banjir,
longsor, dan sebagainya.
Kegagalan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup ditengarai akibat
adanya tiga kegagalan dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan.
Pertama akibat adanya kegagalan kebijakan lag of policysebagai bagian dari
kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan
lingkungan yang ada. Kegagalan kebijakan lag of policy terindikasi terjadi
akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker dalam menentukan
kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberadaan SDA
dan lingkungan. Artinya bahwa, kebijakan tersebut membuat ‘blunder’ sehingga
lingkungan hanya menjadi variabel minor. Padahal, dunia internasional saat ini
selalu mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup,
seperti green product, sanitary safety, dan sebagainya. Selain itu, proses
penciptaan dan penentuan kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan ini
dilakukan dengan minim sekali melibatkan partisipasi masyarakat dan menjadikan
masyarakat sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi. Contoh menarik
adalah kebijakan penambangan pasir laut. Di satu sisi, kebijakan tersebut
dibuat untuk membantu menciptakan peluang investasi terlebih pasarnya sudah
jelas. Namun di sisi lain telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan dan
sangat dirasakan langsung oleh nelayan dan pembudidaya ikan di sekitar
kegiatan. Bahkan secara tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat di
daerah lain. Misalnya terjadi gerusan/abrasi pantai, karena karakteristik
wilayah pesisir yang bersifat dinamis.
Kedua adanya kegagalan masyarakat lag of community sebagai bagian
dari kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan
mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat lag of
community terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk dapat
menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak, disamping kurangnya
kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan pressure kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan melindungi
lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin memperburuk
"bargaining position" masyarakat sebagai pengelola lokal dan
pemanfaat SDA dan lingkungan. Misalnya saja, kegagalan masyarakat melakukan
penanggulangan masalah pencemaran yang diakibatkan oleh kurang perdulinya
publik swasta untuk melakukan internalisasi eksternalitas dari kegiatan
usahanya. Contoh kongkrit adalah banyaknya pabrik-pabrik yang membuang limbah
yang tidak diinternalisasi ke DAS yang pasti akan terbuang ke laut atau
kebocoran pipa pembuangan residu dari proses ekstrasi minyak yang tersembunyi,
dan sebagainya.
Ketiga adanya kegagalan pemerintah (lag of government) sebagai
bagian kegagalan pelaku pengelolaan regional yang diakibatkan oleh kurangnya
perhatian pemerintah dalam menanggapi persoalan lingkungan. Kegagalan
pemerintah (lag of government) terjadi akibat kurangnya kepedulian pemerintah
untuk mencari alternatif pemecahan persoalan lingkungan yang dihadapi secara
menyeluruh dengan melibatkan segenap komponen terkait (stakeholders). Dalam hal
ini, seringkali pemerintah melakukan penanggulangan permasalahan lingkungan
yang ada secara parsial dan kurang terkoordinasi. Dampaknya, proses penciptaan
co-existence antar variabel lingkungan yang menuju keharmonisan dan keberlanjutan
antar variabel menjadi terabaikan. Misalnya saja, solusi pembuatan
tanggul-tanggul penahan abrasi yang dilakukan di beberapa daerah Pantai Utara
(Pantura) Jawa, secara jangka pendek mungkin dapat menanggulangi permasalahan
yang ada, namun secara jangka panjang persoalan lain yang mungkin sama atau
juga mungkin lebih besar akan terjadi di daerah lain karena karakteristik
wilayah pesisir dan laut yang bersifat dinamis.
Penanggulangan
kerusakan lingkungan pesisir dan laut perlu dilakukan secara hati-hati agar
tujuan dari upaya dapat dicapai. Mengingat bahwa subjek dan objek
penanggulangan ini terkait erat dengan keberadaan masyarakat pesisir, dimana
mereka juga mempunyai ketergantungan yang cukup tinggi terhadap ketersediaan
sumberdaya di sekitar, seperti ikan, udang, kepiting, kayu mangrove, dan
sebagainya, maka penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut yang
berbasis masyarakat menjadi pilihan yang bijaksana untuk diimplementasikan.
Penanggulangan
kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat diharapkan mampu
menjawab persoalan yang terjadi di suatu wilayah berdasarkan karakteristik
sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di wilayah tersebut. Dalam hal ini,
suatu komunitas mempunyai hak untuk dilibatkan atau bahkan mempunyai kewenangan
secara langsung untuk membuat sebuah perencanaan pengelolaan wilayahnya
disesuaikan dengan kapasitas dan daya dukung wilayah terhadap ragam aktivitas
masyarakat di sekitarnya.
Pola
perencanaan pengelolaan seperti ini sering dikenal dengan sebutan participatory
management planning, dimana pola pendekatan perencanaan dari bawah yang
disinkronkan dengan pola pendekatan perencanaan dari atas menjadi sinergi
diimplementasikan. Dalam hal ini prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat
menjadi hal krusial yang harus dijadikan dasar implementasi sebuah pengelolaan
berbasis masyarakat.
Tujuan
umum penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat
dalam hal ini meminjam definisi COREMAP-LIPI (1997) yang menyebutkan tujuan
umum pengelolaan berbasis masyarakat, COREMAP dalam hal ini mengambil ekosistem
terumbu karang sebagai objek pengelolaan. Oleh karena itu, tujuan
penanggulangan kerusakan pesisir dan laut berbasis masyarakat dalam hal ini
adalah memberdayakan masyarakat agar dapat berperanserta secara aktif dan
terlibat langsung dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan lokal untuk
menjamin dan menjaga kelestarian pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan,
sehingga diharapkan pula dapat menjamin adanya pembangunan yang
berkesinambungan di wilayah bersangkutan.
II.
KERUSAKAN TERUMBU KARANG
Terumbu Karang
Terumbu
karang merupakan organisme yang hidup di dasar perairan. Terumbu karang
terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat yang dihasilkan oleh karang
pembentuk terumbu dari filiuum coridaria, ordo sclractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae
dan sedikit tambahan alga berkapur serta organisme lain (Bengen G, 2001).
Terumbu
karang merupakan organisme yang amat penting bagi keberlanjutan sumber daya
yang ada di kawasan pesisir dan lautan. Ekosistem ini umumnya tumbuh di daerah tropis dan mempunyai produktivitas primer yang tinggi. Tingginya produktivitas primer
di daerah terumbu karang menyebabkan terjadinya pengumpulan hewan yang beraneka
ragam seperti udang, ikan, mollusca dan lain-lain. Kondisi ini memungkinkan
perairan di sekitar terumbu karang dijadikan tempat pemijahan (spawning
ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) dari
kebanyakan ikan di laut. Dengan demikian, maka secara otomatis produksi ikan di
daerah terumbu karang sangat tinggi.
Ekosistem
terumbu karang berfungsi sebagai tempat tinggal berbagai biota laut, penahan
gelombang, obyek penelitian, ornamental dan akuarium ikan laut, obyek wisata,
dan sumber makanan. Sebaran terumbu karang di Indonesia mencapai 60.000 km2
luasnya, sebagian besar berada di Indonesia bagian tengah, Sulawesi, Bali dan
Lombok, Papua, Pulau Jawa, Kepulauan Riau dan pantai Barat serta ujung barat
daya Pulau Sumatera (www.goblue.or.id). Sebagian besar terumbu karang dunia
(55%) terdapat Indonesia, Pilipina, Australia Utara dan Kepulauan Pasifik, 30%
di Lautan Hindia dan Laut Merah, serta 14% di Karibia dan 1% di Atlantik Utara
(www.goblue.or.id). Seperti yang kita ketahui Indonesia memiliki keragaman
jenis yang beragam dan sebaran terumbu karang yang luas.
Penyebab rusaknya terumbu karang
Kerusakan terumbu karang dapat disebabkan oleh
a)
aktivitas aktivitas manusia seperti kegiatan
pariwisata yang tidak ramah lingkungan, lalu lintas kapal dan juga tumpahan
minyak kapal.
b)
Kerusakan terumbu karang juga dapat terjadi
secara alami seperti turunnya permukaan laut, perubahan cuaca ekstrem, penyakit
karang dan gelombang perairan yang besar.
Salah
satu manfaat terumbu karang seperti yang dijelaskan sebelumnya adalah sebagai
mata pencaharian masyarakat pesisir. Masyarakat mengambil ikan-ikan yang ada
pada terumbu karang, terumbu karang dijadikan obyek pariwisata, masyarakat
mengambil indukan karang untuk budidaya karang hias, dan terumbu juga dapat
dijadikan bahan bangunan. Kegiatan masyarakat ini dapat bersifat ekstraktif
maupun non-ekstraktif yang memiliki dampak yang bervariasi terhadap ekosistem
terumbu karang, dari yang sifatnya sementara hingga yang bersifat merusak
secara permanen.
Namun
bila dikaji lebih jauh maka akar persoalan yang dari kerusakan ekosistem
terumbu karang adalah rendahnya tingkat
kesadaran masyarakat dalam melakukan pengelolaan terumbu masyarakat yang
disebabkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat, keserakahan yang
terbangun atas prinsip yang materialistik, dan kebijakan pengelolaan yang tidak
jelas dimulai dari perencanaan sampai pada regulasi dan penegakan hukum yang
lemah bagi perusak ekosistem terumbu karang.
Dampak kerusakan terumbu karang
Kerusakan
pada terumbu karang dapat menyebabkan :
Ø
penurunan produktifitas ikan
Ø
hilangnya mata pencaharian nelayan
Ø
degradasi tanah (pasir) pantai
Ø
penurunan kegiatan pariwisata
Ø
dan hilangnya keseimbangan alam
Ø
Selain itu kerusakan terumbu karang akan
menyebabkan domino effect pada ekosisem lainnya, yaitu kerusakan yang terjadi
terhadap salah satu ekosistem dapat menimbulkan dampak lanjutan bagi ekosistem
di sekitarnya maupun ekosistem lain di luar, seperti daratan pesisir dan laut
lepas. Contoh pada komunitas karang, kerusakan yang terjadi pada komunitas
karang dapat mengakibatkan konversi habitat dasar dari komunitas karang batu
yang keras menjadi komunitas yang didominasi biota lunak seperti alga dan/atau
karang lunak.
Bagaimana seharusnya mengelola sumberdaya
karang pada kawasan pesisir
Sehingga
semua kegiatan pemanfaatan terumbu karang yang dilakukan oleh masyarakat sudah
seharusnya berbasis ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan pentingnya
kelestarian terumbu karang demi keberlanjutan sumberdaya pada kawasan pesisir
dan lautan. Oleh karenanya kegiatan pemanfaatan terumbu karang seperti
penggunaan terumbu untuk bahan bangunan, pengeboman untuk mengambil ikan dan
pengambilan ikan karang secara berlebihan sudah dilarang oleh pemerintah maupun
LSM/NGO. Pemerintah mengatur kegiatan yang berkaitan dengan perikanan pada
Undang-undang Republik Indonesia no.31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Keberlanjutan sumberdaya pada kawasan pesisir dan laut akan terlaksana jika
terdapat pengelolaan yang tepat, selain dengan adanya peraturan
perundang-undangan dibutuhkan juga penerapan peraturan tersebut dan sebuah
kelembagaan yang sesuai dengan kearifan lokal untuk mengelola sumberdaya
tersebut.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah dan
Pulau-pulau Kecil menjelaskan pada Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 1 bahwa
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian pada Pasal 15 bahwa Rencana
Pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur,
dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan keputusan di antara
berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber
daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan. Pembentukan Kawasan
Konservasi Laut Daerah (KKLD) merupakan salah satu bentuk pengelolaan
sumberdaya agar terjaga kelestariannya. KKLD adalah salah satu bentuk
pencegahan dan penanggulangan hilangnya sumberdaya pesisir laut akibat kegiatan
manusia. Suatu kawasan yang ditutup secara permanen dan dilindungi secara hukum
dari semua kegiatan ekstraktif manusia terutama penangkapan ikan dengan tujuan
pelestarian wilayah pesisir laut.
Upaya
pengelolaan dan rehabilitasi telah dilakukan oleh pemerintah dalam
mempertahankan kelestarian sumber daya terumbu karang di Indonesia, baik dengan pencegahan melalui
perundang-undangan maupun pelaksanaan konservasi. Semua itu tidak akan berjalan
dengan baik apabila kesadaran masyarakat masih sangat rendah, karena peran
serta masyarakat untuk mencintai dan menjaga kelestarian lingkungan alam
terumbu karang sangat dibutuhkan, tanpa kesadaran masyarakat maka bisa
dipastikan proyek rehabilitasi ekosistem terumbu karang menjadi sia-sia.
Salah
satu upaya yang sangat strategis untuk menyelamatkan terumbu karang adalah
dengan pendekatan pengelolaan yang berbasis masyarakat. Carter (1996)
mendefinisikan pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat sebagai suatu strategi untuk mencapai
pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan
mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak
di tangan masyarakat tersebut. Masyarakat sendiri yang mendefinisikan
kebutuhan, aspirasi, tujuan, membuat perencanaan dan keputusan demi
kesejahteraan mereka. Jadi dalam model pengelolaan berbasis masyarakat ini
memberikan ruang yang luas untuk partisipasi masyarakat untuk ikut aktif dalam proses pengelolaan terumbu karang.
Masyarakat
dalam konteks ini, diletakkan pada posisi yang sangat menentukan melebihi
pemerintah dalam pengelolaan terumbu karang. Secara antropologis, masyarakat bukanlah entitas
yang independen, terdapat seperangkat nilai, moral dan pranata yang
mempengaruhi perilaku individu dalam masyarakat. Pengetahuan dan keyakinan
dalam masyarakat merupakan seperangkat konsep, nilai, sistem kategori, metode
dan teori-teori yang digunakan secara selektif
dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Dengan
demikian pengelolan terumbu karang berbasis masyarakat sangat dipengaruhi oleh
cara pandang, budaya dan keyakinan nilai yang melingkupi masyarakat setempat.
Transplantasi
Karang
Transplantasi
karang merupakan salah satu upaya rehabilitasi terumbu karang yang semakin
terdegradasi melalui pencangkokan atau pemotongan karang hidup yang selanjutnya
ditanam di tempat lain yang mengalami kerusakan atau menciptakan habitat baru.
Teknik ini semakin populer baik di pihak pemerintah (DKP-red) maupun di
kalangan masyarakat.
Transplantasi
karang dapat dilakukan untuk berbagai tujuan yaitu :
a)
Untuk pemulihan kembali terumbu karang yang
telah rusak;
b)
Untuk pemanfaatan terumbu karang secara
lestari (perdagangan karang hias);
c)
Untuk perluasan Terumbu Karang;
d)
Untuk tujuan pariwisata;
e)
Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan
status terumbu karang;
f)
Untuk
tujuan perikanan;
g)
Terumbu karang buatan;
h)
Untuk tujuan penelitian.
III.
KONVERSI HUTAN MANGROVE
PENGERTIAN HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM
MANGROVE
Hutan
mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara
teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi
tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang
terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut
dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994
dalam Santoso, 2000).
Menurut
Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas
atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan
asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8
famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie,
Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera,
Ceriops, Xylocarpus,
Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras,
Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus
(Bengen, 2000).
Ekosistem
mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang
mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya
dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak
yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Fungsi
Hutan Mangrove (ekologis dan ekonomis)
Ekosistem
mangrove merupakan penghasil detritus,
sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh
arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik
dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang dan juga berfungsi
sebagai penjebak sedimen (sedimen trap)
sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Ekosistem
terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak
(gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai
habitat (tempat tinggal), tempat mencari
makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat
pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun
terumbu karang. Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut
juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme
perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau
sebaliknya (Kaswadji, 2001).
Fungsi ekologis :
a)
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan
mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai
fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi
ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai
b)
mencegah intrusi air laut
c)
habitat (tempat tinggal)
d)
tempat mencari makan (feeding ground)
e)
tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground)
f)
tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka
biota perairan
g)
serta sebagai pengatur iklim mikro
Sedangkan fungsi ekonominya antara
lain
a)
penghasil keperluan rumah tangga
b)
penghasil keperluan industry
c)
dan penghasil bibit.
Pengalihan
Fungsi Lahan Mangrove oleh Manusia
Sebagian
manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat
dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman,
industri, dan sebagainya maupun
penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat
berkurang dan rusaknya ekosistem
mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi
dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu
keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir.
Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan
pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat
manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove.
DAMPAK KEGIATAN MANUSIA TERHADAP
EKOSISTEM MANGROVE
Kegiatan
manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap
ekosistem mangrove. Dalam tabel 1. dijelaskan beberapa aktivitas manusia
terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya. Dampak dari aktivitas manusia
terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup
menghawatirkan. Luas hutan mangrove di
Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982–1987, menjadi
3,24 juta hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993
(Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas
tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar,
sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar.
PENGELOLAAN
EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA
Pengelolaan
mangrove di Indonesia harus mempertimbangkan beberapa isu utama yaitu meliputi
isu- isu antara lain : ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat
hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana.
Ekologi
dan Isu Sosial Ekonomi
Isu
ekologi melihat secara detail dampak ekologis intervensi manusia terhadap
ekosistem mangrove, dengan cara melakukan identifikasi, baik yang telah terjadi
maupun yang akan terjadi di kemudian hari.
Isu sosial
ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia
(terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya
mangrove. Juga perlu diidentifikasi kegiatan industri, tambak, perikanan
tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya
di sekitar hutan mangrove.
Kelembagaan
dan Perangkat Hukum
Departemen
yang paling berkompeten dalam pengelolaan hutan Mangrove adalah Departemen
Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan. Koordinasi
antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove mendesak untuk
dilakukan saat ini. Perangkat hukum yang meliputi peraturan dan undang-undang
yang terkait dengan pengelolaan mangrove juga sangat penting untuk menjaga
keberadaan hutan Mangrove dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sudah
cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan
instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove, tetapi yang
diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap
perangkat hukum tersebut.
Strategi
dan Pelaksanaan Rencana
Dalam
kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut
pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat
memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep
tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove
(Bengen, 2001).
Salah satu
cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan
mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan
kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi
sungai. Dalam konteks di atas,
berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat
dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data
Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas :
Kawasan
Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman
hutan raya, cagar biosfir).
Kawasan
Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
IV.
SEDIMENTASI DAN ADAPTASI PANTAI
Sedimentasi adalah masuknya muatan
sedimen ke dalam suatu lingkungan perairan tertentu melalui media air dan
diendapkan di dalam lingkungan tersebut. Sedimentasi yang terjadi di lingkungan
pantai menjadi persoalan bila terjadi di lokasi-lokasi yang terdapat aktifitas
manusia yang membutuhkan kondisi perairan yang dalam seperti pelabuhan, dan
alur-alur pelayaran, atau yang membutuhkan kondisi perairan yang jernih seperti
tempat wisata, ekosistem terumbu karang atau padang lamun. Untuk daerah-daerah
yang tidak terdapat kepentingan seperti itu, sedimentasi memberikan keuntungan,
karena sedimentasi menghasilkan pertambahan lahan pesisir ke arah laut.
Sedimentasi
di suatu lingkungan pantai terjadi karena terdapat suplai muatan sedimen yang
tinggi di lingkungan pantai tersebut. Suplai muatan sedimen yang sangat tinggi
yang menyebabkan sedimentasi itu hanya dapat berasal dari daratan yang dibawa
ke laut melalui aliran sungai. Pembukaan lahan di daerah aliran sungai yang
meningkatkan erosi permukaan merupakan faktor utama yang meningkatkan suplai
muatan sedimen ke laut. Selain itu, sedimentasi dalam skala yang lebih kecil
dapat terjadi karena transportasi sedimen sepanjang pantai.
Sedimentasi
di perairan pesisir terjadi perlahan dan berlangsung menerus selama suplai
muatan sedimen yang tinggi terus berlangsung. Perubahan laju sedimentasi dapat
terjadi bila terjadi perubahan kondisi lingkungan fisik di daerah aliran sungai
terkait. Pembukaan lahan yang meningkatkan erosi permukaan dapat meningkatkan laju
sedimentasi. Sebaliknya, pembangunan dam atau pengalihan aliran sungai dapat
merubah kondisi sedimentasi menjadi kondisi erosional.
Bila
sedimentasi semata-mata karena tranportasi muatan sedimen sepanjang pantai,
laju sedimentasi yang terjadi relatif lebih lambat bila dibandingkan dengan
sedimentasi yang mendapat suplai muatan sedimen dari daratan.
Proses
sedimentasi berlangsung perlahan dan terus menerus selama suplai muatan sedimen
yang banyak dari daratan masih terus terjadi. Proses sedimentasi berhenti atau
berubah menjadi erosi bila suplai muatan sedimen berkurang karena pembangunan
dam atau pengalihan alur sungai.
Areal
yang terganggu oleh proses sedimentasi terbatas pada lokasi-lokasi yang
terdapat aktifitas manusia yang membutuhkan perairan yang cukup dalam, seperti
pelabuhan dan alur-alur pelayaran.
Untuk
melindungi pelabuhan dan alur pelabuhan, upaya mitigasi dapat dilakukan dengan
membangun jetty. Sementara itu, tindakan upaya menghentikan atau mengurangi
sedimentasi di suatu kawasan teluk misalnya, dapat dilakukan dengan pengalihan
alur sungai yang diketahui suplai muatan sedimen dari sungai itu mengerah ke
teluk tersebut. Dalam skala yang lebih luas, mitigasi bencana karena
sedimentasi dapat dilakukan dengan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) yang
merupakan sumber utama muatan sedimen yang masuk ke perairan.
V.
PENCEMARAN
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak wilayah
pesisir sebagai bagian dari kedaulatan negaranya. Dalam hal ini, wilayah
pesisir mempunyai potensi yang signifikan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya
nasional. Konsep wawasan nusantara menganggap seluruh wilayah baik darat, laut
serta udara sebagai suatu kesatuan yang utuh, termasuk di dalamnya wilayah
pesisir yang di antaranya menjadi wilayah perbatasan dengan negara lain.
Tentunya hal ini menyangkut sistem pertahanan dan keamanan wilayah, terutama
dalam hal pengelolaan sumberdaya, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia
maupun sumberdaya buatan.
Kawasan pesisir dan pantai merupakan wilayah yang sangat rentan
dari berbagai masalah, baik menyangkut masalah dari aspek fisik dan biologi
maupun masalah yang menyangkut aspek sosial, ekonomi maupun budaya.
Permasalahan ini, terutama menyangkut sumberdaya alam sebagai kendala yang
merupakan ekosistem penting bagi keberlanjutan hidup baik manusianya sendiri
maupun sumberdaya alam dan lingkungannya secara keseluruhan. Konflik perebutan
sumberdaya pesisir sekarang ini telah menjadi masalah yang cukup pelik
dikarenakan kawasan pesisir merupakan sebuah entitas ekosistem yang sedemikian
kaya, sehingga menarik selera para penanam modal untuk berinvestasi. Daya tarik
wilayah pesisir dan pantai oleh pemerintah kota maupun kabupaten diyakini
merupakan salah satu jalan keluar dari keterpurukan ekonomi seiring dengan
menipisnya sumber daya alam, apalagi pada wilayah yang tidak mempunyai
keunggulan komparatif.
Sebagian
besar permasalahan lingkungan yang menyebabkan kerusakan kawasan pesisir
dan laut
merupakan akibat dari kegiatan-kegiatan di darat. Kerusakan lingkungan di
kawasan pesisir tersebut disebabkan oleh akumulasi limbah yang dialirkan dari
daerah hulu melalui Daerah Aliran Sungai (DAS). Penurunan kualitas lingkungan
kawasan pesisir terjadi apabila jumlah limbah telah melebihi kapasitas daya
dukungnya. Bahan pencemaran atau polutan di perairan pantai dapat berasal dari
kegiatan rumah tangga, industri dan pertanian. Wilayah pesisir merupakan tempat
terakumulasinya segala macam limbah yang dibawa melalui aliran air, baik limbah
cair maupun padat. Menurut Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 1999, pengertian
pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energy,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut
tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Pencemaran laut adalah
masuknya zat atau energi, secara langsung maupun tidak langsung oleh kegiatan
manusia ke dalam lingkungan laut termasuk daerah pesisir pantai, sehingga dapat
menimbulkan akibat yang merugikan baik terhadap sumber daya alam hayati,
kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut, termasuk perikanan dan
penggunaan lain-lain yang dapat menyebabkan penurunan tingkat kualitas air laut
serta menurunkan kualitas tempat tinggal dan rekreasi (Kantor
Menteri
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1991).
Laut
merupakan tempat pembuangan langsung sampah atau limbah dari berbagai
aktifitasmanusia dengan cara yang murah dan mudah, sehingga di laut dapat
ditemukan berbagai jenis sampah dan bahan pencemar. Sampah sering ditemukan
berserakan di sepanjang pantai dan semakin banyak di dekat pemukiman, khususnya
pemukiman yang membelakangi pantai. Pemukiman seperti ini dikategorikan sebagai
pemukiman kumuh yang fasilitas sanitasi dan kebersihan lingkungan sangat buruk.
Dengan demikian upaya pencegahan adalah sangat penting untuk dilakukan guna
melindungi wilayah pesisir dari daerah yang terancam pencemaran. Secara normal,
laut memiliki daya asimilasi untuk memproses dan mendaur ulang bahan-bahan pencemar
yang masuk kedalamnya. Tetapi konsentrasi akumulasi bahan pencemar yang semakin
tinggi mengakibatkan daya asimilatif laut sebagai ³gudang sampah´ menjadi
menurun dan menimbulkan masalah lingkungan. Pencemaran oleh limbah
pabrik-pabrik mengakibatkan kerugian cukup besar bagi nelayan. Laut tak lagi
jernih dengan aneka hasilnya yang kian menyusut, jadi indikasi betapa buramnya
potret kehidupan nelayan kita. Aktivitas di laut yang mengancam terumbu karang
antara lain pencemaran dari pelabuhan, tumpahan minyak, pembuangan bangkai
kapal, pembuangan sampah dari atas kapal, dan akibat langsung dari pelemparan
jangkar kapal. Dampak pencemaran ini mempengaruhi kehidupan manusia, organisme
lain serta lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu pencemaran harus dikendalikan
secara dini, sehingga tidak merusak lingkungan laut, menurunkan keanekaragaman
hayati dan tidak mengganggu keseimbangan ekosistem laut
Penyebab utama pencemaran wilayah
pesisir adalah:
a)
Masih rendahnya kepedulian industri sepanjang
DAS dan pesisir terhadap sistem
b)
pengolahan limbah cair yang masuk ke perairan
umum
c)
Kurang ketatnya pengawasan limbah oleh
instansi terkait
d)
Belum jelasnya penerapan sanksi terhadap
industri yang melanggar isi dokumen Amdal
e)
dan peraturan perundangan yang berlaku (PP
27/99 tentang Amdal dan UU 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup)
f)
Rendahnya kepedulian masyarakat pesisir
terhadap pengelolaan sampah dan kebersihan
g)
lingkungan sekitarnya serta pola bangunan yang
membelakangi pantai
h)
Penangkapan ikan dengan bahan kimia
i)
Sampah dan kegiatan pariwisata
j)
Buangan minyak kotor dari kapal ikan, nelayan,
dan sebagainya
Berikut
ini adalah Cara efektif mengelola daerah pesisir dan pantai agar tidak tercemar
;
a)
Pemerintah harus mengimplementasikan isi UU tersebut yang menyebutkan peruntukan
pesisir adalah untuk publik, siapapun boleh mengakses. Namun, saat ini pesisir
menjadi ruang privat mencapai 90% dikuasai oleh pihak swasta yang punya uang..
Penguasaan
pesisir oleh pihak swasta membuat nelayan disingkirkan secara sistematis.
Pemerintah harusnya membuka ruang bagi nelayan mengakses bebas wilayah pesisir
tersebut. Pemerintah seharusnya adil, dengan cara memberi ijin nelayan
mengelola dan memanfaatkan daerah pesisir. Hal ini mungkin menjawab masalah dan
keterpurukan nelayan di kawasan pesisir ini.
b)
Mereka harus menjadi kelompok nelayan yang kritis dan berani. Mereka harus
menjadi subjek atas pembangunan yang ada di pesisir. Kelompok nelayan harus
berani mengamati terhadap pencemaran pesisir atau penebangan mangrove. Kalau
bisa mendapatkan bukti konkret atas hal tersebut.
c)
Mengelola kawasan pantai secara terpadu, yaitu menjaga, melestaraikan,
memelihara, dan memanfaatkannya secara berlebihan
Pelaksanaan
pengelolaan pesisir terpadu secara konsisten akan memberikan manfaat langsung
seperti :
Ø
Keberlanjutan sumber daya pesisir, seperti
sumber daya ikan, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.
Ø
Menghindarkan pencemaran dan melindungi
kesehatan masyarakat.
Ø
Meningkatkan manfaat ekonomi yang diperoleh
dari jasa lingkungan laut seperti: pariwisata, energi non-kovensional, dan
industri maritim.
Ø
Mengembangkan bio-teknologi sumber daya
pesisir untuk produk farmasi, kosmetika, soaculent.
Ø
Mengembangkan sistem perekonomian yang
berbasis pada masyarakat.
Ø
Mengembangkan kearifan lokal bagi kelestarian
ekosistem pesisir.
Untuk
mewujudkan hal itu maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan
pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu :
(a) keterpaduan wilayah/ekologis;
(b) keterpaduan sektoral;
(c) keterpaduan kebijakan secara vertikal;
(d) keterpaduan disiplin ilmu dan keterpaduan stakeholder.
Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan
pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
dapat dirasakan oleh segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan.
Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan
suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan
keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir dan laut menjadi sangat
penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one management serta
tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan.
i. PENCEMARAN
RUMAH TANGGA
Air limbah yang paling banyak dan paling tidak teratur dihasikan
oleh rumah tangga. Sebagian besar air limbah rumah tangga mengandung bahan
organic sehingga memudahkan di dalam pengelolaannya. Volume air limbah yang
dihasilkan dalam suatu masyarakat dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain
:
a. Kebiasaan manusia. Makin banyak orang
menggunakan air, makin banyak air limbah yang dihasilkan.
b. Penggunaan sistem pembuangan kombinasi
atau terpisah. Pada sistem kombinasi, volume air limbah bervariasi dari 80-100
galon atau lebih perkapita, sedangkan pada sistem terpisah volume limbah
mencapai rata-rata 25-50 galon perkapita.
c. Waktu. Air limbah tidak mengalir merata
sepanjang hari, tetapi bervariasi bergantung pada waktu dalam sehari dan musim.
Di pagi hari, manusia cenderung menggunakan air yang menyebabkan aliran air
limbah lebih banyak, sedangkan di tengah hari volumenya lebih sedikit, dan di
malam hari agak meningkat lagi.
Membangun sanitasi yang berkelanjutan (sustainabel) dan drainase
didaerah rendah dan pesisir benar benar memberikan tantangan teknis dan
lingkungan tersendiri. Mengapa sanitasi sangat sulit untuk dibangun di daerah
pesisir?
Air tanah
Air tanah sangat dangkal terlebih dimusim hujan, sangat
menyulitkan dalam membangun struktur bawah tanah dalam situasi seperti ini.
Daerah pesisir yang sangat rata/datar
Sangat sulit mendapatkan aliran gravitasi untuk saluran drainase
dan penyaluran air limbah (khususnya sistem terpusat).
Ketersediaan Tanah
Hampir semua tanah disekitar daerah pemukiman adalah milik
pribadi, ini merupakan masalah jika akan membangun fasilitas untuk umum seperti
pengolahan limbah komunal. Secara umum, dampak dari pembuangan air limbah yang
tidak menjalani pengolahan sebelum dibuang ke lingkungan seperti :
- Kontaminasi dan pencemaran pada air
permukaan dan badan-badan air yang digunakan oleh manusia.
- Mengganggu kehidupan dalam air,
mematikan hewan dan tumbuhan air.
- Menimbulkan bau (sebagai hasil
dekomposisi zat anaerobic) dan zat anorganik).
- Menghasilkan lumpur yang dapat
mengakibatkan pendangkalan air sehingga terjadi penyumbatan yang dapat
menimbulkan banjir.
Untuk daerah pesisir, seyogyanya dapat diupayakan prasarana
drainase yang terpusat, karena lokasi pesisir yang merupakan daerah resapan air
sehingga meyulitkan untuk membuat SPAL bagi masing-masing rumah tangga. Gambar
di samping menunjukkan buruknya sanitasi lingkungan di daerah pesisir khususnya
SPAL. Dampak fisik yang dapat langsung dilihat akibat buruknya sanitasi
lingkungan di daerah pesisir adalah lingkungan yang kotor, tidak teratur dan
tentunya berbau. Hal inilah yang menjadi penyumbang timbulnya gangguan
ekosistem di daerah pesisir dan pantai.
Penyebab dan dampak pencemaran air oleh limbah pemukiman
sepertinya menjadi salah satu sumber utama dan penyebab pencemaran air yang
memberikan dampak paling kentara terutama pada masyarakat pda kawasan pesisir
dan pantai
Limbah pemukiman (rumah tangga) yang menjadi salah satu penyebab
pencemaran air diakibatkan oleh aktivitas manusia itu sendiri. Dan pada akhirnya
pencemaran air ini juga memberikan dampak dan akibat merugikan bagi manusia itu
pula.
Limbah Pemukiman. Salah satu penyebab pencemaran air adalah
aktivitas manusia yang kemudian menciptakan limbah (sampah) pemukiman atau
limbah rumah tangga.
Limbah pemukiman mengandung limbah domestik berupa sampah organik
dan sampah anorganik serta deterjen. Sampah organik adalah sampah yang dapat
diuraikan atau dibusukkan oleh bakteri seperti sisa sayuran, buah-buahan, dan
daun-daunan. Sedangkan sampah anorganik seperti kertas, plastik, gelas atau
kaca, kain, kayu-kayuan, logam, karet, dan kulit. Sampah anorganik ini tidak
dapat diuraikan oleh bakteri (non biodegrable).
Selain sampah organik dan anorganik, deterjen merupakan limbah
pemukiman yang paling potensial mencemari air. Padahal saat ini hampir setiap
rumah tangga menggunakan deterjen.
Dampak pencemaran air yang disebabkan oleh limbah pemukiman
mendatangkan akibat atau dampak diantaranya:
Ø
§
Deterjen sangat sukar diuraikan oleh bakteri sehingga akan tetap aktif
untuk jangka waktu yang lama di dalam air, mencemari air dan meracuni berbagai
organisme air.
Ø
§
Material pembusukan tumbuhan air akan mengendapkan dan menyebabkan
pendangkalan.
Dampak pencemaran air limbah terhadap kesehatan manusia.
Limbah cair berdampak pada kesehatan manusia baik Pengaruh langsung terhadap kesehatan,
umpamanya, tergantung sekali pada kualitas air yang terkontaminasi dalam hal
ini berfungsi sebagai media penyalur ataupun penyebar penyakit. Peran air
limbah sebagai pembawa penyakit menular bermacam-macam :
Ø
Air sebagai media untuk hidup mikroba patogen
Ø
Air sebagai sarang insekta penyebar penyakit
Ø
Jumlah air bersih yang tersedia tak cukup
Ø
Air sebagai media untuk hidup vector penyebar
penyakit
Dampak Pencemaran Air Terhadap Rantai Makanan.
Rantai makanan dalam air akan terganggu akibat adanya pencemaran
air. Dengan banyaknya zat pencemaran yang ada di dalam air, menyebabkan
menurunnya kadar oksigen di dalam air tersebut. Beberapa jenis ikan maupun
tumbuh-tumbuhan yang ada dalam air akan mati karena kekurangan oksigen.
Demikian pula apabila zat pencemar tersebut beracun dan berbahaya, maupun
terjadinya kenaikan suhu air, beberapa jenis biota akan mati, sehingga
keseimbangan rantai makanan terganggu. Disisi lain akibat matinya bakteri-bakteri,
maka proses pembersihan diri secara alamiah yang seharusnya dapat terjadi
menjadi terhambat
D. Pengelolaan Limbah
Cair Untuk Pengendalian Pencemaran Air
Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan
penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin agar
sesuai dengan baku mutu air.
Tujuan pengelolaan limbah cair adalah untuk mengendalikan agar
tidak terjadi pencemaran air atau menghasilkan zero pollution.
Pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan pencemaran air
mencakup pendekatan non teknis dan pendekatan teknis.
Pendekatan non teknis yang dimaksud adalah penerbitan peraturan
sekaligus sosialisasi peraturan yang digunakan sebagai landasan hukum bagi
pengelola badan air maupun penghasil limbah dalam mengendalikan limbah maupun
mengelola limbahnya.
Pendekatan teknis berupa penyediaan / pengadaan sarana dan
prasarana penanganan limbah serta monitoring dan evaluasi.
E. Karakteristik Limbah
Cair
Karakteristik limbah cair dinyatakan dalam bentuk kualitas limbah cair
dan jumlah aliran limbah cair yang dihasilkan.
Kualitas limbah cair diukur terhadap kadar fisik, kimiawi dan
biologis. Parameter yg diukur antara lain sebagai berikut:
Ø
Parameter fisik berupa padatan (partikel
padat) yg ada dalam air (padatan total,padatan tersuspensi dan padatan
terlarut) ;warna;bau dan temperature
Ø
Parameter kimia selain berupa kadar BOD5, COD,
dan TOC yang menggambarkan kadar bahan organik dalam limbah, juga senyawa yg
terkait dengan anomia bebas, nitrogen organik, nitrit, nitrat, fosfor organik
dan fosfor anorganik,sulfat,klorida,belerang,logam berat (Fe, Al, Mn dan Pb),
dan gas (H2O, CO2, O2, dan CH4).
Ø
Parameter biologis juga merupakan hal penting
karena ada beribu-ribu bakteri per millimeter dalam air limbah yg belum diolah.
Jenis bakteri yg diukur adalah bakteri golongn Coli.
ii.
PENCEMARAN INDUSTRI
Dengan terbatasnya luas lahan dan sumberdaya di daratan serta
meningkatnya jumlah penduduk, maka banyak kegiatan pembangunan dialihkan dari
daratan ke arah pesisir dan lautan. Sehubungan dengan semakin banyaknya
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat yang
mengambil tempat di wilayah pesisir, antara lain untuk budidaya perikanan,
pelabuhan, pariwisata, industri dan perluasan kota, maka sering timbul adanya
konflik. Konflik dalam pemanfaatan
sumberdaya oleh berbagai sektor yang terjadi pada lokasi yang sama, pada
akhirnya menimbulkan kerusakan ekosistem seperti erosi, pencemaran lingkungan
dan degradasi lahan. Pengelolaan kawasan
yang bersifat sektoral yang hanya bertujuan untuk memaksimumkan produksi tanpa
memperhitungkan keterbatasan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta keterbatasan kemampuan daya asimilasinya,
maka akan memicu terjadinya degradasi lingkungan dan menurunnya nilai sumberdaya
alam itu sendiri.
Oleh karena itu dalam pengelolaan pembangunan wilayah pesisir
diperlukan keterpaduan dalam perencanaannya agar sumberdaya bersangkutan
terjaga keberlanjutannya. Kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan daratan
yang antara lain meliputi pemanfaatan sumberdaya lahan, selain memberikan
dampak lingkungan yang positif juga memberikan dampak yang negatif. Hal positif dari perubahan itu adalah
kemajuan yang dirasakan oleh masyarakat, melalui peningkatan ekonomi. Sedangkan dampak negatif dari perubahan itu
adalah tingginya tingkat erosi tanah, timbulnya pencemaran yang mengakibatkan
lingkungan menjadi terdegradasi yang berdampak pada perubahan kesejahteraan
masyarakat. Setiap eleman masyarakat
akan menanggung peningkatan /penurunan
kesejahteraan yang berbeda-beda tergantung pada tingkat
aksesibilitas masyarakat terhadap
sumberdaya pesisir tersebut yang dicerminkan dari pola usaha yang dilakukan
oleh masyarakat selama ini.
Penurunan kualitas lingkungan dan munculnya berbagai konflik kepentingan
akan menimbulkan gangguan pada keseimbangan ekosistem yang pada gilirannya akan
menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar hal
tersebut, masyarakat dan pemerintah semakin menyadari perlunya melakukan
pembangunan berkelanjutan untuk menjamin kehidupan yang berkelanjutan
pula. Menurut (UNEP dan WWF, 1993. dalam
laporan PT. Intermulti Planindo, 2004), Pembangunan berkelanjutan
diartikan sebagai kegiatan yang
menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dengan kepentingan menjaga kualitas lingkungan dan
ekosistem sehingga tidak melampaui batas kemampuannya, serta keseimbangan
pemanfaatan SDA dan sumberdaya lahan (SDL) antara generasi sekarang dengan
generasi yang akan datang termasuk keadilan sosial dan suatu lingkungan yang
sehat. Salah satu strategi dalam
pembangunan berkelanjutan adalah perlunya melakukan suatu konservasi sumberdaya
alam pesisir.
Dalam suatu kawasan pesisir (Kalianda – Bandar Lampung, misalnya),
biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk
kepentingan pembangunan, seperti tambak, perikanan tangkap, pariwisata,
pertambangan, industri dan pemukiman.
Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu
kelompok masyarakat (orang) yang memiliki ketrampilan/keahlian dan kesenangan
(preference) bekerja yang berbeda, sebagai petani, nelayan, petani tambak,
petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga,
dan sebagainya. perubahan suhu perairan dan penyediaan unsur hara dapat
menurunkan populasi (stok) ikan di perairan pesisir, seperti yang telah
ditunjukkan oleh dampak El Nino terhadap stok ikan sardine di Samudra Pasifik
(UNESCO, 1993) padahal, sangat sukar atau hampir tidak mungkin, untuk mengubah
kesenangan bekerja (profesi) sekelompok orang yang sudah secara mentradisi
menekuni suatu bidang pekerjaan.
Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan
pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan
internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Contohnya,
lagi-lagi pembangunan tambak udang di Pantai Utara Jawa, yang sejak tahun 1982
mengkonversi hampir semua pesisir termasuk mangrove (sebagai kawasan lindung)
menjadi tambak udang. Sehingga, pada
saat akhir 1980-an sampai sekarang terjadi peledakan wabah virus, sebagian
besar tambak udang di kawasan ini terserang penyakit yang merugikan ini. Kemudian, pada tahun 1988 ketika Jepang
memberhentikan impor udang Indonesia selama sekitar 3 bulan, karena kematian
kaisarnya (rakyat Jepang berkabung, tidak makan udang), maka mengakibatkan
penurunan harga udang secara drastis dari rata-rata Rp. 14.000,- per kg menjadi
Rp 7.000,- per kg, sehingga banyak petani tambak yang merugi dan frustasi.
Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama
(common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open
access). Padahal setiap pengguna
sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran, over-
eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di
kawasan ini. Isu tentang hak kepemilikan lahan dan alokasi sumberdaya merupakan
sumber utama konflik di kebanyakan daerah pesisir. Lahan pasang-surut (tanah timbul), dasar laut
pesisir, dan perairan pesisir pada umumnya tidak adak pemiliknya. Demikian juga tentang hak terhadap
pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di ketiga daerah tersebut, kebanyakan
belum ada sistem pengaturannya. Oleh
karena itu, sebagaimana diungkapkan di atas, daerah pesisir ini biasa disebut
sebagai sumberdaya milik bersama, dimana berlaku azas pemanfaatan secara bebas
oleh siapa saja (open acces). Memang,
azas open acces ini sesuai untuk kondisi, dimana permintaan masyarakat terhadap
sumberdaya jauh lebih kecil dari pada kemampuan ekosistem pesisir untuk
menyediakannya. Akan tetapi, ketika
tingkat permintaan terhadap sumberdaya lebih besar ketimbang jumlah yang dapat
disediakan oleh alam, maka sistem alokasi sumberdaya menjadi sangat penting
untuk diterapkan. Apabila sistem alokasi
sumberdaya semacam ini tidak diberlakukan, maka persaingan tidak sehat antar
pengguna sumberdaya (resource users) akan muncul, kemudian menciptakan
mentalitas “free-for- all” diantara pengguna sumberdaya, dan pada gilirannya
akan mengakibatkan pengikisan sumberdaya (resource depletion) serta konflik
sosial yang menjurus pada pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Lebih jauh, suatu pola penggunaan sumberdaya pesisir dan lautan
yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan acap kali bertentangan dengan
pola penggunaan yang dapat memberikan keuntungan maksimal bagi sektor swasta.
Fenomena semacam ini terjadi, karena banyak produk dan jasa-jasa lingkungan
yang disediakan oleh ekosistem pesisir bersifat intangible (tidak dapat
dirasakan langsung atau belum mempunyai nilai pasar) bagi pihak swasta. Misalnya, hutan mangrove dapat memberikan
keuntungan ekonomis yang sangat besar bagi masyarakat secara keseluruhan, jika dikonservasi sebagai habitat dan daerah pemijahan
bagi biota perairan (perikanan); sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak,
tsunami dan badai; sebagai pelindung lahan darat dari perembesan air laut (salt
interusion); sebagai pembersih alamiah pencemaran pantai; sebagai sumber plasma
nutfah; dan lain sebagainya. Akan
tetapi, dari sudut pandang pengusaha swasta, lahan hutan mangrove akan
memberikan keruntungan ekonomis maksimal, jika dikonversi secara total menjadi
pertambakan udang, pemukiman (semacam Pantai Indah Kapuk), kawasan industri, atau
peruntukan pembangunan lainnya.
Konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik
wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan
pengelolaan wilayah adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi,
lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Strategi dan kebijakan yang diambil
didasarkan pada karakteristik pantai, sumberdaya, dan kebutuhan pemanfaatannya.
Oleh karena itu dadalam proses perencanaan wilayah pesisir, dimungkinkan
pengambilan keputusan diarahkan pada pemeliharan untuk generasi yang akan
datang (pembangunan berkelanjutan). Idealnya, dalam sebuah proses pengelolaan
kawasan pesisir yang meliputi perencanaan, implementasi dan evaluasi, harua
melibatkan minimal tiga unsur yaitu ilmuwan, pemerintah, dan masyarakat. Proses
alam lingkungan pesisir dan perubahan ekologi hanya dapat dipahami oleh ilmuan
dan kemudian pemahaman tersebut menjadi basis pertimbangan bagi pemerintah
untuk melaksanakan program pembangunan yang menempatkan masyarakat pesisir
sebagai pelaku dan tujuan meningkatkan sosial ekonomi kawasan.
iii.
TUMPAHAN MINYAK
Upaya pengelolaan penanggulangan resiko pencemaran tumpahan minyak
di kawasan laut, menjadi sangat penting karena terkait dengan usaha
perlindungan kawasan pesisir dan pantai yang mempunyai keanekaragaman hayati
yang tinggi namun rentan terhadap pencemaran minyak.
Pencemaran yang diakibatkan oleh tumpahan minyak di laut, terutama
dalam skala besar, akan menimbulkan masalah lingkungan yang mengganggu
ekosistem laut yang berdampak negatif pada produksi perikanan serta mengurangi
nilai estetika perairan pantai. Gerakan
dan penyebaran minyak di laut sangat dipengaruhi oleh angin dan arus laut
disamping sifat-sifat minyak itu sendiri.
Dalam gerakannya mengikuti arus laut, konsentrasi minyak akan mengalami
pengurangan akibat proses kimiawi dan proses biologis.
Pencemaran akibat tumpahan minyak di laut kemungkinan besar
terjadi di kawasan-kawasan padat lalu lintas laut dan terdapat aktivitas
perminyakan, seperti di Selat Malaka, Selat Makasar maupun di Laut Jawa.
Diperkirakan 7 juta barel per hari minyak mentah (27% dari
sejumlah wilayah yang ditransportasikan di dunia) melewati Selat Malaka, 14%
menuju Singapura dan sisanya melewati Laut Cina Selatan menuju Jepang dan Korea
Selatan, dan sebanyak 0,3 juta barel per hari (sekitar 1%) melalui Selatan
Pulau Sumatera dan sebanyak 5 sampai 6 kapal tanker raksasa yang bermuatan
lebih dari 250.000 ton melewati Selat Lombok dan Makasar.
Selama tahun 1982-1993 tercatat adanya peningkatan lalu lintas perkapalan
yang melalui Selat Malaka. Pada tahun 1982 tercatat 119 kapal yang melewati
selat tersebut setiap harinya, sedangkan pada tahun 1993 mencapai 274 kapal per
hari atau rata-rata per tahun lebih dari seratus ribu kapal yang melewati Selat
Malaka. Kapal tanker yang melalui selat tersebut mencapai 18.130 kapal pada
tahun 1987 dan pada tahun 1993 telah meningkat menjadi 32.863 kapal tanker.
Selama periode tahun 1975 – 1997 telah terjadi kecelakaan kapal sebanyak 104
buah, yang menyebabkan terjadinya tumpahan minyak ke laut diantaranya :
1. Kandasnya kapal tanker Showa Maru dan tabrakan kapal Isugawa
Maru dengan Silver Palace pada bulan Januari 1975;
2. Kecelakaan kapal tanker
Choya Maru pada tanggal 20 Desember 1979 di pelabuhan Bulebag Bali;
3. Kapal tanker Golden Win
bocor di pelabuhan Lhokseumawe pada tanggal 8 Pebruari 1979;
4. Kapal Nagasaki Spirit
bertabrakan dengan kapal tanker Ocean Blessing di Selat Malaka pada tanggal 20
September 1992 yang menumpahkan minyak sebanyak 13.000 ton;
5. Kapal tanker Maersk
Navigator pada bulan Januari 1993 kandas di pintu masuk Selat Malaka;
6. Kapal tanker MV Bandar
Ayu bertabrakan dengan kapal ikan Tanjung Permata III di Pelabuhan Cilacap pada
tanggal 4 April 1994;
7. Kapal pengangkut minyak
bumi Thai, Orapin Global bertabrakan dengan kapal tanker Evoikos di Selat
Singapore pada tanggal 13 Oktober 1997;
8. Kandasnya kapal tanker
MT. King Fisher berbendera Malta di Pantai Teluk Penyu Cilacap pada tanggal 1
April 2000 dengan menumpahkan minyak 4.000 barel;
9. Kandasnya kapal tanker
MT. Natuna Sea di Karang Batu Berhanti dekat P. Sambu pada tanggal 3 Oktober
2000.
Penanggulangan tumpahan minyak di wilayah perairan pesisir
diprioritaskan untuk kawasan konservasi alam (suaka alam laut, cagar alam laut,
suaka margasatwa laut, taman wisata laut, daerah perlindungan plasma nutfah
perairan dan taman nasional laut), sedangkan untuk kawasan perairan pesisir
lainnya prioritas penanggulangan diberikan berdasarkan tingkat kepekaanya
terhadap tumpahan minyak.
Latihan penanggulangan tumpahan minyak (operasi fisik dan
penanggulangan dampak lingkungan) beberapa kali dilaksanakan kerjasama antara
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Lingkungan Hidup, PERTAMINA
dan pemegang kepentingan lain seperti Marpolex (Marine Pollution Exercise
Benoa) antara Indonesia, Filipina dan Jepang di Benoa (Nopember 2001) dan Subic
(Maret 2003) serta Latihan Belawan pada bulan Agustus 2002.
Sumadhiharga (1995) memaparkan dampak-dampak yang disebabkan oleh
pencemaran minyak di laut. Akibat jangka pendek dari pencemaran minyak antara
lain adalah bahwa molekul-molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran sel
biota laut, mengakibatkna keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan
tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau
minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak akan menyebabkan
kematian pada ikan disebabkan kekurangan oksigen, keracunan karbon dioksida,
dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya. Batas toleransi minyak pada air
laut berada antara 0,001 - 0,01 ppm, dan apabila melewati batas tertinggi dari
kadar tersebut maka bau minyak mulai timbul.
Akibat jangka panjang dari pencemaran minyak adalah terutama bagi
biota laut yang masih muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota-biota
laut. Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang
sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat
akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisma satu ke organisma lain melalui
rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak di dalam zooplankton dapat berpindah ke
ikan pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang
lebih besar, hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan manusia.
Aktivitas lalu lintas tanker di lautan menjadi potensi penting
bagi pencemaran ekologi maritim. Khususnya insiden-insiden kebocoran yang kerap
memuntahkan kandungan minyak dari tanker sehingga terbuang ke laut, baik akibat
kecelakaan karena tabrakan antara sesama kapal maupun karena terbentur karang
atau gunung es. Di antara kecelakaan besar yang terjadi adalah yang menimpa
kapal Torrey Canyon (di daerah Cornwall-Inggris, 1976, menumpahkan 117.000
ton), Amoco Cadiz (Inggris, 1978, menumpahkan 223.000 ton), Exxon Valdez
(Alaska, 1989, menumpahkan 11.2x106 ton sepanjang 3800 km dari garis pantai),
dan Mega Borg (Texas, 1990, menumpahkan 500.000 gallon).
Pencemaran minyak, secara langsung dapat mengganggu keadaan
lingkungan laut pada tempat-tempat rekreasi di pantai. Juga dapat mengganggu
pemukiman penduduk sepanjang pantai serta menggangu peternakan/binatang piaraan
penduduk sepanjang pantai. Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak
mentah dengan susunannya yang kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan
mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut.Ikan yang hidup di sekeliling laut
akan tercemar atau mati dan banyak pula yang bermigrasi ke daerah lain.
Ketika terjadi pencemaran akibat kapal tanki Witwater di daerah
laut Atlantik menuju Terusan Panama yang menumpahkan 20.000 barrel diesel dan
bunker C, banyak pohon-pohon mangrove yang masih muda musnah, demikian pula
banyak tumbuhan alga dan hewan invertebrata. Peristiwa yang lebih menghebohkan
adalah peristiwa pecahnya kapal tanki Torrey Canyon yang mengakibatkan matinya
burung-burung laut sekitar 10.000 ekor di sepanjang pantai dan sekitar 30.000
ekor lagi didapati tertutupi oleh genangan minyak. Pembuangan air ballast di
Alaska sekitar Pebruari-Maret 1970 telah pula mencemari seribu mil jalur pantai
dan diperkirakan paling sedikit 100 ribu ekor burung musnah (Siahaan, 1989b).
Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi sinar matahari masuk
sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam. Pohon-pohon mangrove yang masih muda
(berumur 4-5 tahun) juga musnah akibat pencemaran minyak ini.
iv.
PENCEMARAN PERTANIAN
Dalam sebuah kasus pencemaran, banyak bahan kimia yang berbahaya
berbentuk partikel kecil yang kemudian diambil oleh plankton dan binatang
dasar, yang sebagian besar adalah pengurai ataupun filter feeder(menyaring
air). Dengan cara ini, racun yang terkonsentrasi dalam laut masuk ke dalam
rantai makanan, semakin panjang rantai yang terkontaminasi, kemungkinan semakin
besar pula kadar racun yang tersimpan. Pada banyak kasus lainnya, banyak dari
partikel kimiawi ini bereaksi dengan oksigen, menyebabkan perairan menjadi
anoxic.
Dampak dari pencemaran pertanian di wilayah pesisir bahaya
terhadap kesehatan manusia, membahayakan rantai makanan dan kehidupan
biota-biota laut yang hidup di daerah dekat pesisir pantai, gangguan terhadap
kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar,
memerosotkan kualitas air laut dan menurunkan mutu kegunaan dan manfaatnya
(Siahaan, 1989a).
Dampak yang timbul akibat pencemaran oleh berbagai jenis polutan
yang telah disebutkan sebelumnya adalah sangat beragam. Ada beberapa polutan
yang dapat langsung meracuni kehidupan biologis. Ada pula polutan yang menyerap
banyak jumlah oksigen selama proses dekomposisi. Ada polutan yang mendorong
tumbuhnya jenis-jenis binatang tertentu. Dan ada pula polutan yang berakumulasi
di dalam jaringan makanan laut yang tidak dapat dihancurkan oleh sel-sel hidup
(bioaccumulation).
GESAMP telah bersepakat mempelajari beberapa polutan yang khusus
yaitu PCBs; pestisida organoklorin; logam berat seperti merkuri, timbal, arsen,
kadmium; deterjen; dan biotoksin laut. Zat-zat ini diberi prioritas yang tinggi
karena toksisitas, persistensi, dan sifatnya yang berakumulasi dalam
organisme-organisme yang hidup di laut dan pengaruhnya pada jaringan makanan
laut menunjukkan kadar yang tinggi. Mereka masuk melalui plankton dan kemudian
dimakan oleh pelbagai binatang laut seperti binatang-binatang karang yang dapat
mengumpulkan konsentrasi dari pestisida yang sangat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus,
A. D. 2008. Pengembangan Kawasan Konservasi Laut Oleh CII (Conservation
International Indonesia) Bidang Kelautan Di Nusa Penida, Bali. Laporan Kerja
Lapangan. v + 51h.
Goblue.
2008. Tentang Terumbu Karang. http://www.goblue.or.id/tentang-terumbu-karang
[10 februari 2012]
Supriharyono.
2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Cetakan ke-2. Djambatan. Jakarta
Yusuf, S.
2008. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Kelautan dan Perikanan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. iv + 400h.
http://indomarine.webs.com/apps/blog/show/12300727-pengelolaan-terumbu-karang-dan-masyarakat-pesisir
No comments:
Post a Comment