I.
Pendahuluan
Padang lamun
(seagrass meadows) merupakan salah satu ekosistem perairan laut yang paling
produktif dan penting (den Hartog 1970, Fortes 1990, Philips & Menez 1988
dan Thangaradjon et al. 2007). Padang lamun
memiliki produktivitas yang tinggi, dengan keanekaragaman biota yang juga cukup
tinggi. Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut (Gambar 17), seperti
ikan, krustasea, moluska (Pinna sp., Lambis sp.,
Strombus sp.), Ekinodermata (Holothuria sp.,
Synapta sp., Diadema sp., Archaster sp.,
Linckia sp.), dan cacing Polikaeta.
Ekosistem lamun mempunyai fungsi sebagai perangkap sedimen (sediment trap),
memperlambat arus sepanjang pantai, menyokong produksi perikanan, sebagai
habitat dari berbagai jenis-jenis biota (flora dan fauna) laut dengan
keanekaragaman jenis yang tinggi termasuk biota yang dilindungi seperti
Penyu/Dugong. Seperti disebutkan di atas, ekosistem lamun peka dan mudah
terancam oleh perubahan lingkungan dari berbagai aktivitas manusia seperti
reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan, pembuatan jeti, pemukiman penduduk,
aliran permukaan dan limbah industri (Short & Wyllie-Echeverria 1996,
Duarte 2002), termasuk penggunaan alat tangkap perikanan yang bersifat merusak
serta pengaruh perubahan iklim global (Marba & Duarte 1997, Seddon et al.
2000).
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan
berbunga(Angiospermae) yang memiliki dan memiliki rhizoma, daun, dan
akar sejati yang hidup terendam di dalam laut beradaptasi secara penuh di
perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air,
beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (Seagrass) sebagai tumbuhan air
berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar,
serta berbiak dengan biji dan tunas. Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan
maka dikenal juga istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu
hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk
dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun umumnya
membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh
cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan
yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi
diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut
hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun.
Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari
substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering
ditemukan di substrat lumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan
terumbu karang. Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri
dari komponen biotik dan abiotik disebut Ekosistem Lamun (Seagrass ecosystem).Habitat
tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga
dijumpai di terumbu karang.
Di Indonesia terdapat 12 jenis lamun yang terdiri dari 7 marga (Kuriandewa
et al. 2004) dan dengan telah ditemukannya jenis baru Halophila sulawesii (Kuo,
2007) di Sulawesi, sehingga jumlah jenis
lamun menjadi 13 jenis. Menurut Kuang (2006) ada 60 jenis lamun di dunia dengan
jumlah terbanyak ditemukan di wilayah Indo-Pasifik.
II.
Klasifikasi Lamun
Menurut Kuang
(2006) ada 60 jenis lamun di dunia dengan jumlah terbanyak ditemukan di wilayah
Indo-Pasifikk. Di Indonesia terdapat 12 jenis
lamun yang terdiri dari 7 marga (Kuriandewa et al. 2004) dan dengan telah
ditemukannya jenis baru Halophila sulawesii (Kuo, 2007) di Sulawesi, sehingga
jumlah jenis lamun menjadi 13 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili: (1) Hydrocharitaceae, dan
(2) Potamogetonaceae. Jenis yang membentuk komunitas padang lamun tunggal,
antara lain:Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis,
Cymodocea serrulata, danThallassodendron ciliatum
Di Indonesia ditemukan jumlah jenis lamun yang lebih rendah
dibandingkan Filipina, yaitu sebanyak 13 jenis dari 7 marga, yaitu :
1.
Cymodocea rotundata
2.
Cymodocea serulata
3.
Enhalus acoroides,
4.
Halodule uninervis
5.
Halodule pinifolia
6.
Halophila minor
7.
Halpohila ovalis
8.
Halophila decipiens
9.
Halophila
spinulosa,
10.
Thalassia
hemprichii
11.
Syiringodium
isoetifolium
12.
Thalassodendron
ciliatum
13.
Halophila sulawesii
III.
Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Distribusi Lamun
Beberapa faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi dan kestabilan ekosistem padang
lamun adalah :
§ Kecerahan
Penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat
mempengaruhi proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan lamun. Lamun
membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk proses fotosintesa tersebut
dan jika suatu perairan mendapat pengaruh akibat aktivitas pembangunan
sehingga meningkatkan sedimentasi pada badan air yang akhirnya mempengaruhi turbiditas
maka akan berdampak buruk terhadap proses fotosintesis. Kondisi ini secara luas
akan mengganggu produktivitas primer ekosistem lamun.
§ Temperatur
Secara umum ekosistem padang lamun ditemukan secara luas di
daerah bersuhu dingin dan di tropis. Hal ini mengindikasikan bahwa lamun
memiliki toleransi yang luas terhadap perubahan temparatur. Kondisi ini tidak
selamanya benar jika kita hanya memfokuskan terhadap lamun di daerah tropis
karena kisaran lamun dapat tumbuh optimal hanya pada temperatur 28-300C. Hal
ini berkaitan dengan kemampuan proses fotosintesis yang akan menurun jika
temperatur berada di luar kisaran tersebut.
§ Salinitas
Kisaran salinitas yang dapat ditolerir lamun adalah 10-40‰
dan nilai optimumnya adalah 35‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan
lamun untuk melakukan fotosintesis. Toleransi lamun terhadap salinitas
bervariasi juga terhadap jenis dan umur. Lamun yang tua dapat
mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Salinitas juga berpengaruh
terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih.
Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas.
§ Substrat
Padang
lamun hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai karang.
Kebutuhan substrat yang utama bagi pengembangan padang lamun adalah kedalaman
sedimen yang cukup. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen
mencakup dua hal yaitu : pelindung tanaman dari arus laut dan tempat pengolahan
dan pemasok nutrien.
§ Kecepatan arus
Produktivitas
padang lamun dipengaruhi oleh kecepatan arus. Pada saat kecepatan arus sekitar 0,5 m/detik, jenis Thallassia
testudium mempunyai kemampuan maksimal untuk tumbuh.
IV.
Distribusi Lamun
Tumbuhan ini memiliki adaptasi
yang memungkinkannya untuk dapat hidup di laut, antara lain: mampu hidup di
media air asin, mampu berfungsi normal di bawah permukaan air, mempunya sistem
reproduksi secara vegetatif dan generatif, mampu melaksanakan daur generatif
dalam keadaan terbenam, dan mampu bersaing dengan organisme lain di bawah
kondisi lingkungan media air asin (Philips and Mendez 1998 in Kopalit 2010).
Penyebaran lamun terbilang luas, mulai dari Arktik sampai ke Benua Afrika dan
Selandia Baru. Lamun memiliki sebaran yang luas pada habitat litoral berpasir,
tapi tetap mampu hidup di semua substrat, mulai dari lumpur hingga bebatuan
(Nybakken 1997).
Jumlah spesies lamun di seluruh
dunia yang teridentifikasi adalah sebanyak 58 spesies dalam 12 genus, 4 famili,
dan 2 ordo (Kuo and McComb 1989 in English et al. 1997). Sedangkan jumlah
spesies lamun di Indonesia tercatat ada 12 spesies yang tersebar di beberapa
perairan di Indonesia seperti, Selat Flores, Teluk Jakarta, Teluk Banten,
Kepulauan Seribu, dan Kepulaun Riau (Kiswara 1997).
Menurut Tomascik et al. (1997),
di Kepulauan Seribu ditemukkan delapan jenis spesies lamun. Spesies tersebut
meliputi Enhalus acoroides, Cymodocea
rotundata, C. serrulata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, H. minor, Syringodium
isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Spesies yang
dominan di intertidal paparan karang adalah
Thalassia hemprichii dengan
penutupan yang rendah, kurang dari 10%. Sedangkan di wilayah subtidal,
didominasi oleh Enhalus acoroides yang biasa berkumpul dalam hamparan padang
lamun monospesies (Kiswara 1992).
Berdasarkan genangan air dan
kedalam, sebaran lamun secara vertikal dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori, yaitu (Kiswara 1997):
1. Jenis lamun yang
tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air surut yang mencapai
kedalaman kurang dari 1 m saat surut terendah. Contoh: Halodule pinifola, Halodule uninervis, Halophila minor/ovata, Halophila
ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium dan Enhalus acaroides.
2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah kedalaman
sedang atau daerah pasang surut dengan kedalaman perairan berkisar antara 1-5
m. Contoh: Halodule uninervis, Halophila
ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata,Cymodoceae serrulata,
Syringodinium isotifolium, Enhalus acaroides dan Thalassodendron
ciliatum.
3. Jenis lamun yang
tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai 5-35 m. Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens,
Halophila spinulosa, Thalassia hemprichii,
Syringodinium isotifolium dan Thalassodendron ciliatum.
Secara fisik, lamun berfungsi
untuk menstabilkan dasar perairan, menangkap sedimen hasil erosi dari daratan
(Kikuchi and Peres 1997 in Kiswara 1993). Lamun yang terdapat di hamparan
karang juga berfungsi untuk menenggelamkan, menyangga, serta menyaring nutrien
dan bahan kimia yang masuk ke lingkungan perairan (English et al. 1994).
Peranan padang lamun secara biologis adalah sebagai habitat penting bagi
ikan-ikan (spawning, nursery, dan feeding ground), memberikan perlindungan bagi
ikan, sumber utama detritus, mendukung rantai makanan, dan juga berfungsi
sebagai produsen primer. Sebagai tambahan, padang lamun juga menjadi habitat
kritis bagi beberapa spesies yang terancam punah seperti Dugong dugon dan Chelonia
mydas (Waycott et al. 2007).
V.
Morfologi dan Anatomi Lamun
Bentuk vegetatif lamun memperlihatkan karakter tingkat
keseragaman yang tinggi. Hampir semua genera memiliki rhizoma yang sudah
berkembang dengan baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat
panjang seperti ikat pinggang (belt), kecuali jenis Halophila memiliki bentuk
lonjong.
Berbagai bentuk pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan
perbedaan ekologik lamun (den Hartog, 1977). Misalnya Parvozosterid dan
Halophilid dapat dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari pasir yang
kasar sampai limpur yang lunak, mulai dari daerah dangkal sampai dalam, mulai
dari laut terbuka sampai estuari. Magnosterid dapat dijumpai pada berbagai
substrat, tetapi terbatas pada daerah sublitoral sampai batas rata-rata daerah
surut. Secara umum lamun memiliki bentuk luar yang sama, dan yang membedakan
antar spesies adalah keanekaragaman bentuk organ sistem vegetatif. Menjadi
tumbuhan yang memiliki pembuluh, lamun juga memiliki struktur dan fungsi yang
sama dengan tumbuhan darat yaitu rumput. Berbeda dengan rumput laut (marine
alga/seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun, pembuluh internal yang
merupakan sistem yang menyalurkan nutrien, air, dan gas.
Akar
Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas
antara jenis lamun yang dapat digunakan untuk taksonomi. Akar pada beberapa
spesies seperti Halophila dan Halodule memiliki karakteristik tipis (fragile),
seperti rambut, diameter kecil, sedangkan spesies Thalassodendron memiliki akar
yang kuat dan berkayu dengan sel epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan
darat, akar dan akar rambut lamun tidak berkembang dengan baik. Namun, beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang
sama dengan tumbuhan darat.
Akar-akar halus yang tumbuh di bawah permukaan rhizoma, dan
memiliki adaptasi khusus (contoh : aerenchyma, sel epidermal) terhadap
lingkungan perairan. Semua akar memiliki pusat stele yang dikelilingi oleh
endodermis. Stele mengandung phloem (jaringan transport nutrien) dan xylem
(jaringan yang menyalurkan air) yang sangat tipis. Karena akar lamun tidak
berkembang baik untuk menyalurkan air maka dapat dikatakan bahwa lamun tidak
berperan penting dalam penyaluran air.
Patriquin (1972) menjelaskan bahwa lamun mampu untuk
menyerap nutrien dari dalam substrat (interstitial) melalui sistem
akar-rhizoma. Selanjutnya, fiksasi nitrogen yang dilakukan oleh bakteri
heterotropik di dalam rhizosper Halophila ovalis, Enhalus acoroides,
Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii cukup tinggi lebih dari 40 mg
N.m-2.day-1. Koloni bakteri yang ditemukan di lamun memiliki peran yang penting
dalam penyerapan nitrogen dan penyaluran nutrien oleh akar. Fiksasi nitrogen
merupakan proses yang penting karena nitrogen merupakan unsur dasar yang
penting dalam metabolisme untuk menyusun struktur komponen sel.
Lamun sering ditemukan di perairan dangkal daerah pasang
surut yang memiliki substrat lumpur berpasir dan kaya akan bahan organik. Pada
daerah yang terlindung dengan sirkulasi air rendah (arus dan gelombang) dan
merupakan kondisi yang kurang menguntungkan (temperatur tinggi, anoxia, terbuka
terhadap udara, dll) seringkali mendukung perkembangan lamun. Kondisi anoksik
di sedimen merupakan hal yang menyebabkan penumpukan posfor yang siap untuk
diserap oleh akar lamun dan selanjutnya disalurkan ke bagian tumbuhan yang
membutuhkan untuk pertumbuhan.
Diantara banyak fungsi, akar lamun merupakan tempat
menyimpan oksigen untuk proses fotosintesis yang dialirkan dari lapisan
epidermal daun melalui difusi sepanjang sistem lakunal (udara) yang
berliku-liku. Sebagian besar oksigen yang disimpan di akar dan rhizoma
digunakan untuk metabolisme dasar sel kortikal dan epidermis seperti yang
dilakukan oleh mikroflora di rhizospher. Beberapa lamun diketahui mengeluarkan
oksigen melalui akarnya (Halophila ovalis) sedangkan spesies lain (Thallassia
testudinum) terlihat menjadi lebih baik pada kondisi anoksik. Larkum et al
(1989) menekankan bahwa transport oksigen ke akar mengalami penurunan tergantung
kebutuhan metabolisme sel epidermal akar dan mikroflora yang berasosiasi.
Melalui sistem akar dan rhizoma, lamun dapat memodifikasi sedimen di sekitarnya
melalui transpor oksigen dan kandungan kimia lain. Kondisi ini juga dapat
menjelaskan jika lamun dapat memodifikasi sistem lakunal berdasarkan tingkat
anoksia di sedimen. Dengan demikian pengeluaran oksigen ke sedimen merupakan
fungsi dari detoksifikasi yang sama dengan yang dilakukan oleh tumbuhan darat.
Kemampuan ini merupakan adaptasi untuk kondisi anoksik yang sering ditemukan
pada substrat yang memiliki sedimen liat atau lumpur. Karena akar lamun
merupakan tempat untuk melakukan metabolisme aktif (respirasi) maka
konnsentrasi CO2 di jaringan akar relatif tinggi.
Rhizoma dan
Batang
Semua lamun memiliki lebih atau kurang rhizoma yang utamanya
adalah herbaceous, walaupun pada Thallasodendron ciliatum (percabangan
simpodial) yang memiliki rhizoma berkayu yang memungkinkan spesies ini hidup
pada habitat karang yang bervariasi dimana spesies lain tidak bisa hidup.
Kemampuannya untuk tumbuh pada substrat yang keras menjadikan T. Ciliatum
memiliki energi yang kuat dan dapat hidup berkoloni disepanjang hamparan
terumbu karang di pantai selatan Bali, yang merupakan perairan yang terbuka
terhadap laut Indian yang memiliki gelombang yang kuat.
Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang
sangat tinggi tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama
sama dengan akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali
terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki
peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif. Dan reproduksi yang
dilakukan secara vegetatif merupakan hal yang lebih penting daripada reproduksi
dengan pembibitan karena lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma
merupakan 60-80% biomas lamun.
Daun
Seperti semua tumbuhan monokotil, daun lamun diproduksi dari
meristem basal yang terletak pada potongan rhizoma dan percabangannya. Meskipun
memiliki bentuk umum yang hampir sama, spesies lamun memiliki morfologi khusus
dan bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa
bentuk morfologi sangat mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun,
keberadaan atau ketiadaan ligula. Contohnya adalah puncak daun Cymodocea
serrulata berbentuk lingkaran dan berserat, sedangkan C. Rotundata datar dan
halus. Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun.
Pelepah daun menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Tetapi
genus Halophila yang memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah.
Anatomi yang khas dari daun lamun adalah ketiadaan stomata
dan keberadaan kutikel yang tipis. Kutikel daun yang tipis tidak dapat menahan
pergerakan ion dan difusi karbon sehingga daun dapat menyerap nutrien langsung
dari air laut. Air laut merupakan sumber bikarbonat bagi tumbuh-tumbuhan untuk
penggunaan karbon inorganik dalam proses fotosintesis.
VI.
Reproduksi
Reproduksi lamun dapat dilakukan secara aseksual dan
seksual. Secara aseksual dengan membentuk stolon, secara seksual dengan
hydrophilus: plennya tersebar di badan air dan epihidrophyly: polennya berada
dipermukaan air.
VII.
Produktivitas Padang Lamun
Yang
dimaksud dengan biomassa lamun dalam adalah berat dari semua material yang
hidup pada suatu satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah
substrat yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m2 (gbk/m2).
Sedangkan
produksi lamun diartikan sebagai pertambahan biomassa lamun selang waktu
tertentu (Zieman dan Wetzel 1980) dengan laju produksi (produktivitas) yang
sering dinyatakan dengan satuan berat kering per m2 perhari (gbk/m2/hari)
(Brouns 1985) atau berat karbon per m2 pertahun (gC/m2/tahun).
Pengukuran
produktivitas lamun dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode
biomassa, metode penandaan dan metode metabolisme (Zieman dan Wetzel 1980;
Azkab 2000a). Penelitian produktivitas
di Indonesia umumnya menggunakan metode penandaan. Produktivitas yang didapatkan
dari metode ini bisa lebih kecil dari produktivitas yang sebenarnya karena
tidak memperhitungkan kehilangan serasah dan pengaruh grazing oleh hewan-hewan
herbivora yang memanfaatkan lamun sebagai makanan.
Biomassa
dan produksi dapat bervariasi secara spasial dan temporal yang disebabkan oleh
berbagai faktor, terutama oleh nutrien dan cahaya (Tomascik et al. 1987).
Selain itu juga sangat tergantung pada spesies dan kondisi perairan lokal
lainnya seperti kecerahan air, sirkulasi air dan kedalaman (Zieman
1987),panjang hari, suhu dan angin (Mellor et al 1993). Fortes (1990)
menambahkan bahwa besarnya biomassa lamun bukan hanya merupakan fungsi dari
ukuran tumbuhan, tetapi juga merupakan fungsi dari kerapatan. Biomassa lamun
dari beberapa tempat di daerah tropik dirangkum oleh Azkab (1999,2000b).
Nateekarnchanalarp
dan Sudara (1992) yang melakukan penelitian di Thailand melaporkan adanya
perbedaan biomassa lamun menurut lokasi dan musim. Pada musim panas biomassa
lamun H. ovalis tertinggi ditemukan di Chon Khram (1.094 gbk/m2)
kemudian di Yai (0,935 gbk/m2) dan terendah di Hin Com (0,919 gbk/m2).
Beberapa
peneliti melaporkan bahwa produktivitas primer komunitas lamun mencapai 1 kg
C/m2/tahun, namun hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan langsung
oleh herbivora (Kirman dan Reid 1979 dalam Supriharyono 2000). Brouns (1985a)
melaporkan rataan produktivitas di atas substrat T. hempricii berkisar 0,67 -
1,49 gC/m2/hari. Produksi di atas substrat tersebut dapat
menyumbangkan sampai 85% dari total produksi bersih lamun. Peneliti tersebut juga menemukan adanya
hubungan yang erat antara produktivitas T. hemprichii di atas substrat dengan
siklus bulan. Produktivitas tertinggi ditemukan seminggu setelah bulan baru dan
terendah beberapa hari setelah bulan penuh.
Produktivitas menurun secara linear dengan kju 0,035 mgbk/tunas/hari
yang dimulai pada hari ke-5 setelah bulan baru dan bertambah dengan laju 0,026
mgbk/tunas/hari dari hari ke-18 setelah bulan baru.
Padang lamun merupakan ekosistem
yang tinggi produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup
tinggi. Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan,
Krustasea, Moluska ( Pinna sp., Lambis sp., dan Strombus sp.), Ekinodermata
(Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Arcbaster sp., Linckia sp.) dan
cacing ( Polichaeta) (Bengen, 2001).
Menurut Azkab (1988), ekosistem
lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di
samping itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan
dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, menurut hasil penelitian
diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai
produsen primer lamun mempunyai tingkat produktifitas primer tertinggi bila
dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti
ekosistem terumbu karang (Thayer et al. 1975).
VIII.
Fungsi dan Peranan Padang Lamun
Padang lamun merupakan habitat bagi beberapa
organisme laut. Hewan yang hidup pada padang lamun ada berbagai penghuni tetap
ada pula yang bersifat sebagai pengunjung. Hewan yang
datang sebagai pengunjung biasanya untuk memijah atau mengasuh anaknya seperti
ikan. Selain itu, ada pula hewan yang datang mencari makan seperti sapi
laut (dugong-dugong) dan penyu (turtle) yang makan lamun Syriungodium isoetifolium dan Thalassia
hemprichii (Nontji, 1987).
Di daerah padang lamun, organisme melimpah,
karena lamun digunakan sebagai perlindungan dan persembunyian dari predator dan
kecepatan arus yang tinggi dan juga sebagai sumber bahan makanan baik daunnya
mapupun epifit atau detritus. Jenis-jenis polichaeta dan hewan–hewan nekton
juga banyak didapatkan pada padang lamun. Lamun juga merupakan komunitas yang
sangat produktif sehingga jenis-jenis ikan dan fauna invertebrata melimpah di
perairan ini. Lamun juga memproduksi sejumlah besar bahan bahan organik sebagai
substrat untuk algae, epifit, mikroflora dan fauna.
Pada padang lamun ini hidup berbagai macam
spesies hewan, yang berassosiasi dengan padang lamun. Di perairan Pabama
dilaporkan 96 spesies hewan yang berassosiasi dengan beberapa jenis ikan.
Di teluk Ambon di temukan 48 famili dan 108 jenis ikan. Di Teluk Ambon
ditemuklan 48 famili dan 108 jenis ikan adalah sebagai penghuni lamun,
sedangkan di Kepulauan Seribu sebelah utara Jakarta di temukan 78 jenis ikan
yang berassosiasi dengan padang lamun. Selain ikan, sapi laut dan penyu serta
banyak hewan invertebrata yang berassosiasi dengan padang lamun, seperti: Pinna sp, beberapa Gastropoda, Lambis, Strombus, teripang, bintang laut, beberapa jenis
cacing laut dan udang (Peneus doratum) yang ditemukan di Florida selatan
(Nybakken, 1988)
Apabila air sedang surut rendah sekali atau
surut purnama, sebagian padang lamun akan tersembul keluar dari air terutama
bila komponen utamanya adalah Enhalus
acoroides, sehingga burung-burung berdatangan mencari makann di padang
lamun ini (Nontji, 1987).
Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan
salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping
itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan
perkembangan jasad hidup di laut dangkal, menurut hasil penelitian
diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai
berikut:
1.
Sebagai Produsen Primer
Lamun
mempunyai tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan
ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu
karang (Thayer et al.
1975).
2.
Sebagai Habitat Biota
Lamun
memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan
tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah
asuhan, padang pengembalaan dan makan dari berbagai
jenis ikan herbivora dan ikan–ikan karang (coral fishes) (Kikuchi &
Peres, 1977).
3.
Sebagai Penangkap Sedimen
Daun lamun
yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak,
sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar
lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan
dan menstabilkan dasar permukaaan. Jadi padang lamun yang berfungsi sebagai
penangkap sedimen dapat mencegah erosi ( Gingsburg & Lowestan 1958).
4.
Sebagai Pendaur Zat Hara
Lamun
memegang peranan penting dalam pendauran barbagai zat hara dan elemen-elemen
yang langka di lingkungan laut. Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh
algae epifit.
Sedangkan menurut Philips & Menez (1988),
ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif. ekosistem
lamun perairan dangkal mempunyai fungsi antara lain:
·
Menstabilkan dan menahan sedimen–sedimen yang dibawa melalui
I tekanan–tekanan dari arus dan gelombang.
·
Daun-daun memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang
serta mengembangkan sedimentasi.
·
Memberikan perlindungan terhadap hewan–hewan muda dan dewasa
yang berkunjung ke padang lamun.
·
Daun–daun sangat membantu organisme-organisme epifit.
·
Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.
·
Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem
daur rantai makanan.
Selanjutnya dikatakan Philips & Menez (1988), lamun juga sebagai
komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional
maupuin secara modern.
Secara
tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk :
1.
Digunakan untuk kompos dan pupuk
2.
Cerutu dan mainan anak-anak
3.
Dianyam menjadi keranjang
4.
Tumpukan untuk pematang
5.
Mengisi kasur
6.
Ada yang dimakan
7.
Dibuat jaring ikan
Pada zaman
modern ini, lamun telah dimanfaatkan untuk:
1.
Penyaring limbah
2.
Stabilizator pantai
3.
Bahan untuk pabrik kertas
4.
Makanan
5.
Obat-obatan
6.
Sumber bahan kimia.
Lamun kadang-kadang membentuk
suatu komunitas yang merupakan habitat bagi berbagai jenis hewan laut.
Komunitas lamun ini juga dapat memperlambat gerakan air. bahkan ada jenis lamun
yang dapat dikonsumsi bagi penduduk sekitar pantai. Keberadaan ekosistem padang
lamun masih belum banyak dikenal baik pada kalangan akdemisi
maupun masyarakat umum, jika dibandingkan dengan ekosistem lain seperti
ekosistem terumnbu karang dan ekosistem mangrove, meskipun diantara ekosistem
tersebut di kawasan pesisir merupakan satu kesatuan sistem dalam
menjalankan fungsi ekologisnya. Ekosistem padamg lamun memiliki atribut
ekologi yang penting yang berhubungan dengan sifat fisika, kimia dan proses
biologi antar ekosistem di wilayah pesisir dan proses keterkaitan ke tiga
ekosistem ini.
Ekosistem lamun dapat berasosiasi dengan baik dengan
ekosistem mangrove dan terumbu karang. Terumbu karang berperan sebagai
penghalang arus air laut sehingga memungkinkan komunitas mangrove dan lamun di
belakangnya dapat tumbuh dengan baik. Lamun, kemudian berperan untuk menahan
sedimen dan memperlambat gerakan air, sehingga menguntungkan bagi terumbu
karang yang sangat rentan terhadap kelimpahan sedimen. Mangrove juga berperan
sebagai penahan sedimen, terutama yang berasal dari daratan, sehingga
mengurangi kemungkinan penutupan lumpur pada terumbu karang dan padang lamun.
Kumpulan sedimen yang terkumpul, pada gilirannya dapat menjadi substrat bagi
komunitas mangrove. (Hutabarat,S. 1985).
IX.
Asosiasi Dan
Interaksi Di Ekosistem Padang Lamun
1.
Asosiasi
Asosiasi
lamun campuran adalah asosiasi dengan lebih dari 3 spesies lamun. Padang
campuran dilaporkan melimpah pada daerah berpasir yang terlindung (tidak
berlumpur), stabil dan sedimen yang hampir horisontal (landai) (Hutomo et al.
1988). Bagaimanapun, pada daerah yang terlindung, bioturbasi tinggi maka
aktifitas meliang oleh udang-udangan dan makroinvertebrata lain cenderung
berkurang dengan keragaman dan kerapatan lamun, serta kesukaan spesies pionir
seperti Halophila ovalis dan Halodule uninervis (Hutomo et al. 1988).
Secara umum, asosiasi-asosiasi lamun campuran tidak ditemukan pada : 1) Daerah
terlindung “ekstrim” berenergi rendah dimana sedimen didominasi oleh pasir
berbutir halus sampai lumpur halus (contohnya pada Pulau Komodo) ; 2) Daerah
sedimen yang baru mengendap (contohnya pada Atol Taka Bone Rate) ; 3) Daerah
sedimen dengan kemiringan curam (contohya pada Pulau Sumbawa) ; dan 4) Daerah
intertidal atas yang terpapar subaerial selama pasang rendah mengakibatkan
beberapa dessication (Nienhuis et al. 1989).
Asosiasi
lamun yang paling beragam ditamukan pada habitat terumbu karang di zona
sublitoral atas. Sebagai contoh, Nienhuis et al. (1989) mendeskripsikan
asosiasi delapan spesies dari berbagai habitat terumbu karang di Laut Flores
(Pulau Selayar, Atol Taka Bone Rate, Pulau Komodo dan Sumbawa) (Gambar 18.31).
Penurunan yang berhubungan dengan frekuensi dan kemunculan dari asosiasi
kedelapan spesies meliputi Thalassia
hemprichii (terdapat 96% dari sampel), Syringodium isoetifolium (83%),
Cymodocea rotundata (83%), Enhalus
acoroides (65%), Halodule uninervis
(65%), Cymodocea serrulata (61%), Halophila ovalis (35%) dan Halodule pinifolia (9%) (Nienhuis et al.
1989). Pada banyak habitat, tiap spesies dapat terdapat sangat melimpah dan
mendominasi komunitas. Asosiasi ditemukan pada daerah yang memiliki kestabilan
tinggi, yang paling sedikit mengalami penurunan atau pasir yang hampir
horisontal (landai) dan pecahan karang yang menutupi terumbu karang (Gambar
18.32) (Nienhuis et al. 1989). Dibawah permukaan substrat biomasa sangat tinggi
dan jaringan akar/rhizoma yang banyak memperkuat sedimen rataan terumbu.
Pada
penelitian multidisiplin terbaru pada pesisir selatan Lombok, Kiswara dan
Winardi (1994) mencatat 11 spesies lamun dari dua lokasi (yaitu Kuta dan Teluk
Gerupuk). Dengan 11 spesies, Lombok memiliki keragaman paling tinggi dari
pulau-pulau lain dalam kepulauan tersebut. Sebagai catatan bahwa pulau tersebut
adala satu dari sedikit pulau yang harus dipelajari secara intensif. Keragaman
tertinggi yang diamati lebih banyak pada situs daerah terlindung di Teluk
Gerupuk, yang terlindung dari gelombang setelah badai Barat Daya dan gelombang
setelah badai Tenggara. Kondisi dengan energi yang lebih besar di Teluk Kuta
direfleksikan dengan persen penutupan Enhalus
acoroides yang lebih kecil (35%) daripada pada daerah terlindung Teluk
Gerupuk (50%). Bagimanapun, keragaman lebih rendah di Teluk Kuta dapat pula
sebagai hasil dari asosiasi kekeruhan air yang lebih tinggi dengan land runoff
dari sungai besar (Kiswara dan Winardi 1994). Koleksi Halophila spinosa di Teluk Gerupuk dan Thalassodendron ciliatum di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk baru
dicatat untuk spesies ini di wilayah tersebut. Catatan, bagaimanapun kedua
spesies tersebut telah diamati sepanjang pesisir Bali (T. Tomascik, pers. obs.). Di kedua teluk lamun muncul pada padang
monospesifik, pada 2-3 asosiasi spesies sebagaimana asosiasi campuran sampai
enam spesies.
2.
Flora dan Fauna
2.1 Makropifit Bentik.
2.1 Makropifit Bentik.
Lamun
berasosiasi dengan berbagai varietas makroalga. Sebagai contoh Kiswara (1991a)
melaporkan bahwa Gracillaria lichenoides yang bernilai ekonomis penting
merupakan salah satu makropifit yang dominan pada padang lamun dekat Lontar,
Jawa Barat. Atmadja (1992) melaporkan bahwa nelayan di Benoa, Bali dan sepanjang
pesisir Lombok Barat mengumpulkan tujuh spesies rumput laut (yaitu Eucheuma arnoldi, E. spinosum, Gelidiella
acerosa, Gelidiopsis intricata, Gracillaria eucheumoides, G. lichenoides
dan Hypnea cervicornis) dari padang
lamun campuran yang terdiri dari Cymodocea
serrulata, Halodule uninervis, Thalassia hemprichii dan Thalassodendron ciliatum. Di banyak
wilayah (contohnya Salabanka) Caulerpa spp. yang bernilai ekonomis, melimpah
sebagai komponen dari komunitas lamun, tetapi belum dimanfaatkan. Di Filipina
asosiasi lamun dengan makropifit merupakan sumberdaya ekonomis penting, dipanen
untuk produksi agar (contohnya Gracillaria
dan Gelidiella), pakan ternak, pupuk
dan alginate (contohnya Sargassum spp.)
(Fortes 1990a). Di Salabanka, Sulawesi Tengah, pertanian rumput laut di daerah
laguna didominasi oleh komunitas lamun campuran menjadi aktifitas ekonomis
penting.
Pada
studi komunitas lamun jangka panjang yang dilakukan di Kepulauan Spermonde,
Verheij dan Erftemeijer (1993) mencatat 117 spesies makroalga yang berasosiasi
dengan Padang Lamun di lima habitat berbeda. Komunitas makroalga meliputi 50
spesies Chlorophyta, 17 spesies Phaeophyta dan 50 spesies Rhodophyta (Verheij
dan Erftemeijer 1993). Bagaimanapun hanya 13 spesies yang ditemukan berasosiasi
secara ekslusif dengan lamun, bernama Avrainvillea
stellata, Caulerpa buginense, C. racemosa ecad corynephora, Chaetomorpha
crassa, Dictyota ciliolata, D. linearis, Hydroclathrus tenuis, Actinotrichia
fragilis, Gracillaria salicornia, Trichogloea requierii, Fosliella sp.
Mastophora rosea dan Neogoniolithon
brassica-floridum ecad futescens (Verheij dan Erftemeijer 1993). Sisa 104
spesies lainnya terdistribusi secara luas di seluruh Kepulauan Spermonde dimana
mereka tinggal berbagai habitat terumbu dan non-terumbu (Verheij dan Prud’homme
van Reine 1993). Komposisi spesies makroalga yang berasosiasi dengan padang
lamun bergantung pada sejumlah besar tipe substrat dan tingkatan terekpos.
Disepanjang pantai intertidal rataan lumpur terigenous sering didominasi oleh Enhalus acoroides dan Halodule pinifolia, makroalga yang
paling dominan adalah Caulerpa racemosa,
Udotea flabellum, Ulva reticulata,
Gracillaria salicornia dan G.
verrucosa (Verheij dan Erftemeijer 1993). Pada wilayah dimana komponen
utama sedimen terigenous adalah pasir berukuran sedang sampai pasir kuarsa dan
mendukung asosiasi lamun campuran, makropifit yang dominan adalah Halimeda opuntia forma upontia, Dictyota linearis dan Amphiroa
fragilissima (Verheij dan Erftemeijer 1993). Pasir karbonat yang terdapat
di laut lepas menggantikan sedimen terigenous dan komunitas lamun campuran
mendominasi. Pada lingkungan ini makroalga yang mendominasi termasuk Avrainvillea obscura, Enteromorpha
clathrata, Hydroclathrus clathratusi dan Hydrolithon reinboldii (Verheij dan Erftemeijer 1993). Pola umum
yang muncul dari studi adalah bahwa makroalga yang berasosiasi dengan padang
lamun memiliki keragaman terbesar pada rataan terumbu karang pada patch reef
dan coastal reef (Verheij dan Erftemeijer 1993).
2.2. Epifit Lamun.
Istilah epifit lamun mengacu bagi seluruh organisme
autotrofik (yaitu, produsen primer) yang tinggal menetap di bawah permukaan
(air) menempel pada rhizoma, batang dan daun lamun. Bagaimanapun istilah ini
sering digunakan mengacu pada semua organisme (hewan atau tumbuhan) yang
berkembang di lamun (Russel 1990). Kita lebih memilih istilah epifauna bagi
semua organisme heterotrofik yang menempel pada bagian lamun di bawah sedimen,
sementara infauna disebut bagi organisme yang hidup pada sedimen diantara
rhizoma/jaringan akar lamun. Daun lamun sering terdapat kelimpahan epifit yang
paling melimpah, karena lamun memiliki substrat stabil dengan akses cahaya,
nutrien dan pertukaran air. Tidak seperti rumput laut lainnya (contohnya
Phaeophyta), lamun tidak memiliki pertahanan kimia yang kuat (contohnya
campuran phenolic) yang meyebabkan mrereka dapat dimanfaatkan sebagai substrat
hidup bagi berbagai organisme menetap dan bergerak.
Berdasarkan pada morfologi umum dari lamun, Borowitzka dan
Lethbridge (1989) menjelaskan lima kelompok spesies yang menyediakan lingkungan
berbeda bagi epifit dan epifauna :
1)
Spesies dengan
panjang (5-200 cm) lebar (2-18 mm) daun berbentuk tali sering membentuk kanopi
atas : contohnya Enhalus acoroides,
Cymodocea rotundata, C. serrulata, Thalassia hemprichii.
2)
Spesies dengan
panjang (10-75 cm) begian atas batang berkayu (mengandung lignin), dengan daun
yang terpasang secara distichous membentuk kanopi rapat pada padang lamun
monospesifik : contohnya Thalassodendron
ciliatum
3)
Spesies dengan
panjang (10-35 cm) daun subulate:contohnya Syringodium
isoetifolium.
4)
Spesies dengan
lebar (1-3 mm), terkadang panjang (10-18 cm), daun linier: contohnya Halodule pinifolia, H. uninervis.
5)
Spesies dengan bentuk
daun pendek elips, lanceolate oval atau linier sering membentuk understory pada
asosiasi campuran : contohnya Halophila
ovalis, H. ovata, H. spinulosa, H. decipiens.
Studi musiman kuantitatif yang terperinci (jangka panjang)
untuk epifit lamun tidak tersedia di Indonesia. Bagaimanapun, beberapa studi
dapat mendemonstrasikan bahwa produksi primer dalam porsi yang signifikan di
Padang Lamun ditujukan bagi sianobakteri epifit dan alga (Heijs 1985;
Borowitzka et al. 1990; Tomasko dan Lapointe 1991; Klumpp et al. 1992; Pollard
dan Kogure 1993). Kontribusi besar epifit bagi total produksi primer komunitas
lamun hanya sebagian berkaitan dengan fakta bahwa wilayah permukaan yang
ditempati oleh epifit (contohnya permukaan lamun) mencapai 20 kali dari wilayah
permukaan sedimen yang ditempati oleh lamun (Couchman 1987).
Kekayaan jenis dan variasi epifit lamun bergantung pada
spesies, sebagaimana kondisi lingkungan dan tipe habitat (contohnya kedalaman).
Jangka hidup daun lamun sebagai faktor tambahan yang menentukan keragaman dan
biomasa komunitas epifit (Borowitzka dan Lethbridge 1989), karena tingkat
turnover daun antara spesies lamun sangat bervariasi menurut proses metabolik
dasar tiap spesies, sebagaimana intensitas merumput herbivor. Di Kepulauan Spermonde,
Sulawesi Selatan, komunitas alga epifit pada daun lamun terdiri dari 18
spesies, dimana hanya sembilan spesies epifit yang ditemukan di batang (Verheij
dan Erftemeijer 1993). Di Filipina, Enhalus acoroides mendukung sejumlah besar
epifit (Tiquio dan Fortes 1994). Pada komunitas lamun monospesifik (Cymodocea rotundata, C. serrulata,
Syringodium isoetifolium dan Halodule
uninervis) di Papua Nugini, alga epifit telah menunjukkan kontribusi
sebesar 24% dari total produksi biomasa di bawah permukaan, dan 44% dari
produksi primer di bawah permukaan (Heijs 1985). Epifit yang paling penting
sebanyak 55 spesies , umum untuk semua empat spesies lamun dimana alga koralin
kerak (contohnya Fosliella farinosa, F.
lejolisii, Melobsia membranacea). Pada studi yang sama di Fiji, Pollard dan
Kogure (1993) menemukan bahwa komponen epifit pada tunas Syringodium
isoetifolium terhitung 22%-65% dari total produksi primer. Alga epibentik
berada pada lapisan permukaan sedimen lamun juga merupakan komponen penting
komunitas lamun. Pollard dan Kogure (1993) melaporkan bahwa komunitas alga
epibentik terhitung lebih dari 25% dari produktifitas total lamun.
Sebagai tambahan signifikan pada produksi karbon organik,
sisa dari epifit calcareous (contohnya crustose coralline algae; Corallinaceae)
merupakan sumber penting bagi CaCO3. Walker dan Woelkerling (1993)
memperkirakan bahwa alga koralin merah pada daun dan batang Amphibolis
antartica (Teluk Shark, Australia Barat) terhitung CaCO3 sejumlah 200 ton.km-2.
Alga koralin kerak diperhitungkan sebagai kelompok pionir dengan pertumbuhan
serta kematangan seksual yang cepat (Borowitzka dan Lethbridge 1989).
Komunitas epifitik dan epibentik merupakan komponen turunan
dari lingkungan tiga dimensi lamun dengan menyediakan sumber makanan bagi sejumlah
invertebrata serta vertebrata perumput. Klumpp et al. (1992) menunjukkan bahwa
pada terminologi nilai nutrisi, komunitas epifit jauh lebih utama daripada
lamun (rasio C:N epifit adalah 9:18; rasio C:N lamun adalah 17:30). Biomasa
besar epifit lamun ini sangat menambahkan bagi keseluruhan nilai nutrisional
tumbuhan. Meskipun demikian, Birch (1975) membandingkan padang lamun tropis
dengan padang rumput miskin nutrisi. Faktanya telah menjadi pandangan populer
bahwa hanya sedikit hewan merumput yang memanfaatkan lamun secara langsung,
mereka adalah dugong (Dugong dugon) dan penyu (Chelonia mydas) (Thayer et al.
1984). Untuk menghilangkan dugaan, McRoy dan Helfferich (1980) menyusun daftar
154 spesies yang langsung mengkonsumsi lamun, dan mencatat bahwa perumputan
pada lamun hidup lebih umum terjadi di daerah tropis. Pada pandangan terdahulu,
mengingat kelimpahan konsumen lamun rendah, ditujukan pada fakta bahwa lamun
terutama terdiri dari material keras,seperti selulosa (Mann 1988), dan nitrogen
yang sangat rendah (Koike et al. 1987). Baik penyu maupun dugong telah sangat
mengembangkan pencernaan sehingga dapat mengambil sebanyak mungkin nutrisi dari
lamun (Lipkin 1975; Bjorndal 1980; Garnet et al. 1985). Konsumen lamun juga
menunjukkan preferensi pada bagian tertentu dari lamun untuk memaksimalkan
penyerapan nutrisi (Bjorndal 1980; Ogden 1980). Pentingnya nutrisi bagi
komunitas epifit lamun untuk diet hewan perumput ini belum banyak diketahui (Borowitzka
dan Lethbridge 1989).
Pada area yang diamati ke pemasukan nutrien yang lebih
tinggi, alga epifitik meningkatkan biomasa secara substansial bagi kerusakan
lamun. Epifit lamun faktanya sangat berguna sebagai indikator kesehatan lamun.
Tomasko dan Lapointe (1991) telah menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi nutrien
pada kolom air akan meningkatkan biomasa epifitik dan menurunkan tingkat
pertumbuhan rhizoma secara substansial, yang merupakan akibat dari rendahnya
densitas daun sehingga menurunkan produktifitas primer lamun secara keseluruhan
(Tomasko dan Lapointe1991). Eutrofikasi di perairan pantai menjadi perhatian
serius bagi kesehatan lamun, khususnya di wilayah Sanur, Bali, dimana banyak
hotel yang dapat secara langsung menghentikan aliran nutrien ke terumbu karang.
Rendahnya subsidi nutrien dapat meningkatkan serta mempertahankan tingkat
produksi primer tanpa ada efek merusak keseluruhan komunitas, riset eksperimen
sebagai pedomen untuk meningkatkan kualitas air dirasa belum cukup.
2.3. Fauna.
Komunitas
lamun dihuni oleh banyak jenis hewan bentik, organisme demersal serta pelagis
yang menetap maupun yang tinggal sementara disana. Spesies yang sementara hidup
di lamun biasanya adalah juvenil dari sejumlah organisme yang mencari makanan
serta perlindungan selama masa kritis dalam siklus hidup mereka, atau mereka mungkin
hanya pengunjung yang datang ke padang lamun setiap hari untuk mencari makan.
Banyak spesies epibentik baik yang tinggal menetap maupun tinggal sementara
yang bernilai ekonomis, udang dan udang-udangan adalah yang bernilai ekonomis
paling tinggi. Sebagai penjelas, dan bukan karena alasan ekologi maupun biologi
tertentu, ada empat kelompok besar fauna yang diketahui : 1) Infauna (hewan
yang hidup didalam sedimen); 2) Fauna Motil (fauna motil berasosiasi dengan
lapisan permukaan sedimen; 3) Epifauna Sesil (organisme yang menempel pada
bagian lamun); dan Fauna Epibentik Fauna (fauna yang berukuran besar dan
bergerak diantara lamun) (Howard et al. 1989).
Asosiasi
fauna dengan lamun merupakan salah satu kajian yang paling menarik serta mudah
untuk diamati oleh para peneliti Indonesia. Dengan sedikitnya 30.000 km2 padang
lamun menyebar diseluruh kepulauan, dari Pulau Weh di Aceh sampai peairan
pantai Merauke, Irian Jaya, merupakan riset potensial yang tidak terukur.
Walaupun begitu, aturan-aturan dalam penelitian penting untuk diperhatikan
untuk menghindarkan “kesembronoan” yang banyak terjadi pada riset sekarang ini.
Studi multidisiplin tentang ekosistem lamun yang baru dan menarik disepanjang
pesisir Selatan Lombok merupakan langkah baru menuju arah yang benar. Studi
tentang asosiasi fauna di lamun baru-baru ini memfokuskan pada penetapan daftar
spesies, pola keragaman, memperoleh informasi dasar parameter ekologi seperti
kelimpahan dan biomasa dari asosiasi lamun berbagai taksa, dan trophodynamics.
Dengan beberapa pengecualian (Suhartati 1994; Susetiono 1994), studi tentang
asosiasi fauna di lamun yang dihadapkan dengan makro-infauna, epifauna motil
dan fauna epibentik (Aswandy dan Hutomo 1988; Kiswara et al. 1991, 1992;
Aswandy dan Kiswara 1992a; Mudjiono et al. 1992; Aziz 1994; Aziz dan Sugiarto
1994; Hutomo dan Parino 1994; Moosa dan Aswandy 1994; Mudjiono dan Sudjoko
1994; Pristiwady 1994).
2.4. Meiofauna.
2.4. Meiofauna.
Susetiono
(1994) melaporkan pada asosiasi fauna dengan Padang Lamun Enhalus acoroides
monospesifik di pesisir Selatan Lombok. Infauna sedimen terdiri dari Nematoda,
Foraminifera, Copepoda, Ostracoda, Turbelaria dan Polychaeta. Tingginya
kelimpahan Nematoda (seperti indeks rasio kelimpahan Nematoda:Copepoda)
mengindikasikan kelimpahan nutrien yang sering berasosiasi dengan land runoff.
Meiofauna yang muncul secara aktif adalah Copepoda, Nematoda, Amphipoda,
Cumacea, dan Ostracoda. Tingkat analisis umum-atau spesies-belum dilakukan
sedemikian jauh. Berdasarkanpada informasi yang tersedia dari Teluk Kuta, Susetiono
(1994) mengkonstruksikan jaring makanan sederhana pada Padang Lamun Enhalus acoroides.
Foraminifera
bentik merupakan komponen penting pada komunitas lamun, tetapi hanya
mendapatkan sedikit perhatian (Suhartati 1994). Di Kepulauan Seribu patch reef
kompleks, padang lamun melimpah dan sering didominasi oleh asosiasi Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii (Azkab 1991).
Foraminifera bentik pada kedua asosiasi spesies ini didominasi oleh subordo
Miliolina dan Rotaliina (Suhartati 1994). Milionid berkarakteristik lembut,
test porselin yang mengandung kristal kalsit, sementara Rotaliinid seperti
kaca, test berdinding ganda yang mengandung lapisan tipis kalsit hialin radial.
Rotaniid yang paling melimpah adalah Ammonia
beccarii, A. umbonata, Calcarina calcar, Elphidium advenum, E. crispum, E.
craticulatum dan Rosalina bradyi.
Genus Ammonia diketahui sebagai
kelompok euryhalin, umum terdapat di lingkungan perairan dangkal tropis.
Keberadaan Calcarina calcar (Famili
Calcarinidae) mengindikasikan habitat terumbu karang, dimana tidak mengejutkan,
karena studi padang lamun berada pada habitat terumbu karang. Kelimpahan Elphidium spp. (Famili Elphidiidae)
menarik untuk diamati, karena sifat euryhalinnya, spesies perairan dangkal
sangat toleran dengan salinitas rendah, dan dapat ditemukan sampai ke estuari
(Lee et al. 1985). Milionid diwakili oleh Adolesina
semistriata, Miliolinella sublineata, Quinqueloculina granulocostata, Q.
parkery, Q. sp., Spiroloculina communis, Spirolina cilindricea dan Triloculina tricarinata. Kedua genera, Quinqueloculina dan Triloculina (Famili Miliolidae), merupakan ciri dari perairan
dangkal tropis.
2.4. Krustase.
Krustasea
yang berasosiasi dengan lamun merupakan komponen penting dari jaring makanan di
lamun. Bentuk krustase infaunal maupun epifunal berhubungan erat dengan
produsen primer dan berada pada tingkatan trofik yang lebih tinggi, karena
selama masa juvenil dan dewasa mereka merupakan sumber makanan utama bagi
berbagai ikan dan invertebrata yang berasosiasi dengan lamun. Studi analisis
gut terbaru dari ikan yang berasosiasi dengan lamun di pesisir selatan Lombok
(Pristiwadi 1994), mendemonstrasikan bahwa krustase merupakan sumber makanan
dominan.
Bagaimanapun,
Kikuchi (1980) menunjukkan bahwa pada ekosistem lamun subtropis, pengkonsumsian
lamun oleh invertebrata agak jarang, dan detrivor mungkin mendominasi kebiasaan
makan krustase yang berasosiasi dengan lamun. Pada banyak wilayah subtropis
kepiting-kepitingan dan isopoda merupakan krustase perumput yang dominan.
Nienhuis dan Ierland (1978) menemukan bahwa isopod mengkonsumsi lebih dari 75%
tumbuhan di Padang Lamun Eropa. Sampai sekarang, studi yang sama dari Indonesia
dirasa belum cukup. Peran Amphipoda gamarid bagi jaring makanan ekosistem lamun
belum dapat diperkirakan secara lengkap. Ada beberapa keraguan apakah Amphipoda
benar-benar memakan lamun di alam, walaupun telah dibuktikan dengan eksperimen
di laboratorium (Kirkman 1978). Kelimpahan epifit dengan nilai nutrisi utama
menawarkan krustase kolam sebagai nutrisi alternatif untuk dipilih.
Aswandy
dan Hutomo (1988) mencatat 28 spesies krustase di Padang Lamun Teluk Banten.
Dua spesies Amphipoda, bernama Apseudeus
chilkensis dan Eriopisa elongata,
adalah krustase yang paling melimpah pada padang lamun Enhalus acoroides di
Teluk Grenyang. Sampai baru-baru ini sedikit penelitian kuantitatif telah
dilakukan pada krustase yang berasosiasi dengan lamun. Moosa dan Aswandy (1994)
telah menyusun daftar spesies lengkap untuk padang lamun di Kuta dan Teluk
Gerupuk di pesisir selatan Lombok. Daftar 70 spesies krustase disusun dari
kedua teluk, bagaimanapun, banyak spesimen yang rupanya diambil dari wilayah
batuan koral berbatasan dengan padang lamun, sehingga diragukan asosiasi mereka
dengan lamun. Dari 70 spesies krustase tersebut, hanya satu jenis udang
hipolitid, Tozeuma sp., memiliki
adaptasi morfologi khusus sehingga dapat tinggal di padang lamun. Anggota
subtropik dari genus ini, Tozeuma
carolinense (Caridea), merupakan penghuni umum dari padang lamun
disepanjang pesisir timur Amerika serikat, dan berwarna hijau (Barnes 1980).
Stomatopoda juga ditemukan pada padang lamun. Kelompok predator ini merupakan
kelompok yang relatif beragam dan terdistribusi luas, tetapi nampaknya hanya
spesies Pseudosquilla ciliata yang benar-benar berasosiasi dengan lamun (Moosa
dan Aswandy 1994). Bagaimanapun, stomatopoda umumnya berbatasan dengan rataan
terumbu intertidal. Diantara stomatopoda yang berasosiasi dengan karang yang
paling beragam warnanya adalah Odontodactylus scyllaus (Squillidae), merupakan
predator aktif moluska. Predator rakus ini terdistribusi luas dan hidup
disejumlah habitat terumbu, pada celah-celah terumbu. Bagaimanapun, pada
terumbu karang dimana lamun tumbuh disepanjang batas rataan terumbu, O. scyllarus diketahui sebagi makanan
sampai batas luar dari habitat ini, nampaknya pada pencarian moluska yang
melimpah di padang lamun (T. Tomascik,
pers. Obs ; Bunkaen 1993).
Krustase
predator yang berasosiasi dengan padang lamun umumnya berada pada kondisi alami
(tidak dieksploitasi oleh penduduk lokal). Diantara yang paling umum adalah
kepiting kotak, Famili Calappidae. Kepiting kotak biasanya meliang dibawah
permukaan pasir, dan aktif memakan gastropoda. Capit kanan mereka digunakan
khusus untuk menghancurkan cangkang gastropoda. Capit penghancur ini memiliki
tubercle besar di dasar jari yang dapat digerakkan dan digunakan untuk membantu
menghancurkan cangkang gastropoda menjadi berkeping-keping. Kepiting kotak
sangat umum di seluruh kepulauan dan ada tiga spesies tercatat berada pada
padang lamun di Lombok Selatan (Calappa
hepatica, C. calappa dan Matuta
banksii). Rajungan dari Famili Portunidae melimpah di padang lamun, dan
tercatat berada di Lombok (Moosa dan Aswandy 1994).
Padang
lamun juga merupakan habitat kritis bagi juvenil Portunus pelagicus, spesies yang bernilai ekonomis. Famili ini
(Portunidae), memiliki lima pasang kaki yang beradaptasi untuk berenang, hal
ini unik karena sebagian besar kepiting tidak dapat berenang. Kaki beradaptasi
sehingga dapat berperan seperti ‘baling-baling’. Kepiting ini menghabiskan
sebagian besar waktu hidupnya dengan mengubur diri dibawah permukaan substrat,
dimana mereka mengintai untuk menyergap ikan atau invertebrata yang lewat;
tergolong spesies yang sangat agresif. Bagaimanapun, banyak spesies ikan yang
dimangsa oleh mereka. Jantan lebih besar daripada betina. Kepiting portunid
mempunyai kebiasaan kawin unik, dimana mereka juga berbagi dengan Cacridae.
Selama masa kawin, jantan membawa betina dibawah mereka, dengan karapas betina
menempel pada sternum jantan. Segala aktifitas dilakukan bersama, bergerak,
berjalan dan berenang. Saat betina siap untuk molt (berganti kulit) jantan
melepas betina dan kopulasi terjadi sesaat setelahnya.
Padang
lamun diketahui merupakan habitat kritis bagi udang penaeid komersial penting
(seperti Penaeus esculentus dan P. semisulcatus) (Bell dan Pollard 1989; Coles
et al. 1993; Mellors dan Marsh 1993; Watson et al. 1993) dan lobster berduri (Panulirus ornatus). (Bell dan Pollard
1989; Poiner et al. 1989), yang tergantung pada lamun sebagai tempat mencari
makan serta berlindung selam masa postlarva dan juvenil dari siklus hidup
mereka. Pada eksperimen di laboratorium, Hill dan Wassenberg (1993) menemukan
bahwa Penaeus esculentus menghabiskan sekitar 80% dari waktu tidak berenang
mereka di lamun. Pada siang hari P. esculentus dewasa (individu besar, diameter
karapas 15 cm) ditemukan terkubur pada substrat, dimana individu yang lebih
kecil ditemukan terkubur, berada di dasar atau menempel pada lamun. Hasil yang
sama didapatkan umtuk P. semisulcatus,
sehingga mendukung sejumlah pengamatan di lapang.
Asosiasi
sejumlah udang penaeid dengan padang lamun selama periode tertentu dari siklus
hidup mereka diperlihatkan dengan baik. Pertanyaan yang tersisa relative tidak
terjawab, komponen apa dari ekosistem yang memberikan kontribusi besar bagi
keperluan energi penaeid. Apakah penaeid memanfaatkan habitat lamun sebagai
tempat mencari makan atau perlindungan, atau keduanya Wassenberg dan Hill
(1987) melaporkan bahwa Penaeus esculentus yang berisi gut dikoleksi dari
padang lamun di Teluk Moreton, Australia, terdapat benih Zostera capricornis sebagai lamun yang mendominasi. Pada penelitian
lain, Kitting et al. (1984) menggunakan rasio isotop 13C/12C stabil untuk
mengetahui apakah P. aztecus dan P. duorarum tidak memperoleh jumlah karbon
organik yang signifikan dari lamun. Udang panaeid juvenil lebih cenderung
memakan lamun daripada udang panaeid dewasa (Hill et al. 1990).
2.5. Moluska.
Moluska
adalah salah satu kelompok makroinvertebrata yang paling banyak diketahui
berasosiasi dengan lamun di Indonesia, dan mungkin yang paling banyak dieksploitasi.
Sejumlah studi tentang moluska di daerah subtropik telah menunjukkan bahwa
moluska merupakan komponen yang paling penting bagi ekosistem lamun, baik pada
hubungannya dengan biomasa dan perannya pada aliran energi pada sistem lamun
(Watson et al. 1984). Telah didemonstrasikan bahwa 20% sampai 60% biomasa
epifit pada padang lamun di Filipina dimanfaatkan oleh komunitas epifauna yang
didominasi oleh gastropoda (Klumpp et al. 1992). Bagaimanapun, peranan mereka
pada ekosistem almun di Indonesia relative belum diketahui. Moluska utama pada
padang lamun subtropis adalah detrivor dengan sangat sedikit yang langsung
memakan lamun (Kikuchi 1980). Gastropoda cenderung memakan perifiton (Klumpp et
al. 1989). Mudjiono et al. (1992) mencatat 15 spesies moluska (11 gastropoda
dan 4 bivalvia) dari padang lamun di Teluk Banten, Barat Daya Laut Jawa. Fauna
moluska yang terdapat dalam jumlah sedikit dikumpulkan dari lima lokasi
asosiasi yang berbeda, berkisar dari asosiasi Enhalus acoroides monospesifik
sampai asosiasi yang terdiri dari tiga spesies, yaitu E. acoroides, Cymodocea serrulata dan Syringodium isoetifolium, sebagaimana asosiasi tujuh spesies yang
terdiri dari Enhalus acoroides, Cymodocea
serrulata, C. rotundata, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Syringodium
isoetifolium, dan Halophila ovalis.
Jumlah keseluruhan, tujuh famili gastropoda (Trochidae, Cerithiidae,
Strombidae, Muricidae, Columbellidae, Nassariidae dan Fasciolariidae) serta
tiga famili bivalvia (Arcidae, Veneridae dan Mactridae) ditemukan pada asosiasi
tersebut (Mudjiono et al.1992). Sayangnya, tidak ada arti ekologis yang dapat
dipelajari dari catatan kelimpahan, karena seluruh teluk mengalami
overeksploitasi, dan tiga lokasi pengamatan berada dalam jarak dekat pada desa
yang besar di Pulau Panjang. Hanya dua spesies gastropoda yang umum ditemukan
pada semua lokasi, yaitu Pyrene versicolor
dan Cerithium tenellum.
Tulisan
yang ditampilkan pada data yang ditulis oleh Mudjiono et.al (1992) menunjukkan
eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya lamun (e.g hanya 4 juvenil
Trochus niloticus, dengan diameter 3-5 mm yang ditemukan) dan efek dari polusi
(endapan) dari pada pola ekologi.
Pada
kajian yang sama yang dilakukan di Teluk Kotania, Seram Barat, Wouthuyzen dan
Sapulete (1994) mencatat 24 spesies dari Pulau Osi, 6 spesies dari Desa Pelita
Jaya dan 22 spesies dari Desa Kotania. Tipe dari lamunnya tidak dijelaskan,
bagaimanapun, mereka mencatat ada 7 spesies moluska yang sangat melimpah (i.e.,
Anadara antiquata, Pinna nobilis,
P.muricata dan Atrina vexillum)
yang sekarang relatif jarang, mengidikasikan eksploitasi yang berlebihan dari
sumberdaya tersebut.
Pengetahuan
yang lebih baik terhadap nilai potenial ekonomi sumberdaya lamun diperoleh dari
kajian yang baru-baru ini dilakukan oleh Mudjiono dan Sudjoko (1994), dilakukan
pada 3 teluk di Pantai Selatan Lombok. Jumlah total moluska yang ditemukan di
padang lamun ada 70 spesies, banyak diantaranya memiliki nilai ekonomi. Spesies
gastropoda yang ditemukan adalah Pyrene
versicolor, Strombus labiatus, S. luhuanus dan Cymbiola vespertilio.
Sedangkan bivalvia yang ditemukan adalah Anadara
scapha, Trachy cardium flavum, T. subrugosum, Peryglypta crispate, Mactra spp.
dan Pinna bicolor (Mudjiono dan
Sudjoko, 1994). Ditambahkan lagi, sejumlah spesies Conus yang cangkangnya
memiliki nilai ekonomi, juga di temukan.
2.6. Echinodermata.
Hewan
Echinodermata adalah komponen komunitas bentik di lamun yang lebih menarik dan
lebih memiliki nilai ekonomi. Lima kelas echinodermata ditemukan pada ekosistem
lamun di Indonesia. Dibawah ini urutan Echinodermata secara ekonomi : 1.
Holothuroidea (timun laut atau teripang); 2. Echinoidea (bulu babi); 3.
Asteroidea (Bintang laut); 4. Ophiuroidea (Bintang Laut Ular); 5. Crinoidea .
Dari lima kelas yang ada, Echinoidea adalah kelompok yang paling penting di
ekosistem lamun karibia, karena mereka adalah kelompok pemakan yang utama
(Lawrance 1975, Greenway 1976). Echinodermata besar lain seperti Protoreaster, Peintaceraster dan Culcita spp. cenderung pengurai dan
pemakan segala dan tidak memakan lamun secara langsung. Di Indonesia, sepanjang
Indo-Pasifik, Echinoids, juga ditemukan di padang lamun (Tripneustes gratilla, Diadema setosum dan yang lainnya), agak
jarang dilingkungan terumbu karang. Sedangkan pada rataan terumbu karang di
daerah intertidal adalah bintang laut bertanduk Protoreaster nodosus dan Linckia
laevigata. P. nodosus secara frekuensi sangat melimpah di area yang
populasi timun lautnya sudah di eksploitasi secara berlebihan (Salabanka,
Komodo). Bagaimanapun, di tempat itu beberapa Echinoid sangat melimpah dan
kesatuan bentuknya besar. Diadema setosum, khususnya, rata-rata pada siang hari
di perairan terumbu dangkal, mereka mencari tempat perlindungan pada koloni
karang besar, jika mereka ada. Kesatuan ini tidak aktif pada siang hari, tetapi
pada malam hari menyebar keliling untuk mencari makan. Di Karibia, Diadema
antillarum seperti diketahui senang memakan Thallasia testudinum dan Syringodium filiforme, dan membuat
“halos” diantara dasar terumbu karang dan padang lamun yang jauh (Ogden et al.,
1973). Bagaimanapun D.setosum sudah di golongkan sebagai pemakan segala
(pemakan alga/pemakan detritus)(Guib, 1981), karena itu peran mereka pada
umumnya terhadap lamun tropis tetap tidak jelas.
Echinodermata
pada umumnya, dengan pengecualian beberapa holothuroidea, makan pada malam
hari. Bagaimanapun, Klummp et al. (1993) dilaporkan bahwa Tripneustes gratilla dan Salmacis
sphaeroides makan secara terus menerus siang dan malam, tanpa bukti yang
berkala. Mereka mencari sampai ke dasar substrat, memakan alga, serasah lamun
dan daun lamun yang masih hidup (Klumpp et al., 1993). Tripneustes gratilla
terlihat lebih menyukai menempel pada daun Thalassi
hemprichii dan Syringodium
isoetifolium yang kurang luas permukaan daunnya. Persentasi tertinggi
aktivitas memakan T.gratilla
(77%-89%) adalah memakan daun lamun yang masih hidup (Klumpp et al., 1993).
Pengaruh dari aktivitas memakan T.gratilla
terhadap lamun adalah berubahnya ruang tumbuh secara berkala sejak Bulu Babi
melimpah dan berubahnya ukuran setiap musim. Dasar cara memakan Bulu Babi
adalah fungsi dari kepadatan dan ukuran tubuhnya (Klumpp et al., 1993). Sebagai
contoh Mukai dan Nojima (1985) melaporkan bahwa T. gratilla di Papua New Guinea
hanya memakan 1,4% dari produksi lamun pada kepadatan 0,1 individu per m2.
Klumpp et al (1993) melaporkan bahwa antara bulan Maret-Juli T.gratilla
mengkonsumsi 1%-5% dari produksi lamun, selama bulan November-Januari konsumsi
Bulu Babi tersebut meningkat sampai lebih dari 50% dari produksi lamun. Mereka
menyimpulkan bahwa pada setiap tahun, T.
gratilla mengkonsumsi sekitar 24% dari total produksi lamun, jadi sebagian
besar sisa dari produksi lamun rata-rata tidak dimakan. Akhir dari partikel
besar kelompok organik karbon tidak diketahui, tetapi sisa yang lainnya di
ekspor atau ditahan (disimpan) dalam sistem, di busukkan atau dimineralisasikan
kembali. Seberapa banyak partikel bahan organik yang diekspor atau ditahan ke
sistem sampai sekarang masih diperdebatkan. Nienhuis et al (1989) percaya bahwa
kurang dari 10% dari produksi bersih di ekspor dari padang lamun, lalu ditahan
dalam sistem.
Dalam
studi yang baru-baru ini dilakukan, Azis dan Soegiharto (1994) mengambil 45
spesies Echinodermata di padang lamun yang berlokasi di Teluk Kuta dan Gerupuk
Pantai Selatan Lombok. Semua kelompok besar ada, yaitu Asteroidea, Echinoidea,
Holothuroidea, Ophiuroidea, dan Crinoidea. Mereka mencatat bahwa spesies
Holothuroidea memiliki beberapa nilai penting (Holothuria dan Actynopyga)
seperti halnya Bulu Babi, T.gratilla
yang kurang melimpah. Persediaan yang menipis pada populasi Echinodermata juga
dilaporkan dari Teluk Kotania (Pulau Seram Barat, Maluku) dimana dahulu padang
lamun menyokong kelimpahan Holothuroids yang memiliki nilai ekonomi penting.
Pada tahun 1983, padang lamun yang lua di Teluk Kotania menyokong kepadatan
populasi yang tinggi (1-2 individu per m2) dari 9 spesies Timun Laut yang
memiliki nilai ekonomi penting, spesies tersebut adalah Bohadschia marmorata, B. argus, Holothuria (Metriatyla) scabra, H.(Microthele) nobilis, Thelenota ananas, dan Actinopyga miliaris. Pada tahun 1993,
inventarisasi pada daerah yang sama, hanya 3 Timun Laut yang ditemukan dalam
jarak 500 m (Wouthuyzen dan Sapulete, 1994). Rata-rata ukuran tubuh Timun Laut
menurun dari 22 cm di Tahun 1983 sampai kurang dari 15 cm di Tahun 1993.
Penurunan
terhadap persediaan dan ukuran Timun Laut terjadi karena pengambilan oleh
penduduk setempat secara intensif untuk menyuplai pasar teripang yang
menguntungkan. Spesies Echinodermata lainnya yang di eksploitasi secar
berlebihan yang populasinya menurun secara drastic dalam kurun waktu 10 tahun
ini adalah Bulu Babi yang dapat dimakan, yaitu T.gratilla.
2.7. Ikan Di Lamun
Di
sepanjang jarak distribusinya, ekosistem lamun, baik yang luas ataupun sempit
adalah habitat yang penting bagi bermacam-macam spesies ikan (Kikuchi, 1980;
Pollard 1984; Bell dan Pollard 1989). Pada resensi, asosiasi ikan di lamun,
mereka Bell dan Pollard (1989) mengidentifikasi 7 karakteristik utama kumpulan
ikan yang berasosiasi dengan lamun. Berdasarkan Bell dan Pollard (1989) dengan
beberapa perubahan, karakteristik-karakteristiknya adalah :
1)
Keanekaragaman dan
kelimpahan ikan di padang lamun biasanya lebih tinggi daripada yang berdekatan
dengan substrat kosong.
2)
Lamanya asosiasi
ikan-lamun berbeda-beda diantara spesies dan tingkatan siklus hidup.
3)
Sebagian besar
asosiasi ikan dengan padang lamun didapatkan dari plankton, jadi padang lamun
adalah daerah asuhan untuk bnyak spesies yang mempunyai nilai ekonomi penting.
4)
Zooplankton dan
epifauna krustasean adalah makanan utama ikan yang berasosiasi dengan lamun,
dengan tumbuhan, pengurai dan komponen infauna dari jarring-jaring makanan di
lamun yang dimanfaatkan oleh ikan
5)
Perbedaan yang
jelas (pembagian sumberdaya) pada komposisi spesies terjadi dibanyak padang
lamun.
6)
Hubungan yang kuat
terjadi antara padang lamun dan habitat yang berbatasan, kelimpahan relatif dan
komposisi spesies ikan di padang lamun menjadi tergantung pada tipe (terumbu
karang, estuaria, mangrove) dan jarak dari habitat yang terdekat, seperti pada
siklus malam hari.
7)
Kumpulan ikan dari
padang lamun yang berbeda seringkali berbeda juga, walaupun dua habitat itu
berdekatan.
Salah
satu kajian tentang asosiasi ikan dengan padang lamun di Indonesia dibuat oleh
Hutomo dan Martosewojo(1977). Penelitian tersebut dilakukan pada asosiasi
padang lamun Thalassia hemprichii dan
Enhalus acoroides dengan banyak
karang laguna kecil (Pulau Pari) di daerah Kepulauan Seribu. Total ikan yang
berasosiasi dengan lamun yang diambil selama penelitian ada 78 spesies.Dari
hasil tersebut didapatkan 32 famili ikan, hanya 6 kelompok (Apogonidae,
Atherinidae, Labridae, Gerridae, Siganidae dan Monacanthidae) yang biasdianggap
sebagi kelompok yang menetap. Hutomo dan Martosewojo (1977) membagi kumpulan
ikan yang berasosiasi dengan lamun di Pulau Pari menjadi 4 kategori, yaitu :
1.
Penghuni tetap,
dengan memijah dan menghabiskan sebagian besarhidupnya di padang lamun
(contohnya Apogon margaritoporous).
2.
Menetap dengan
menghabiskan hidupnya di padang lamun dari juvenile sampai siklus hidup dewasa,
tetapi memijah di luar padang lamun (contoh : Halichoeres leparensis, Pranaesus duodecimalis, Paramia quinquilineata,
Gerres macrosoma, Monachantus tomentosus, M.hajam, Hemiglyphidodon
plagyometopon, Synadhoides biaculeatus)
3.
Menetap hanya pada
saat tahap juvenile (contoh : Siganus
canaliculatus, S.virgatus, S.chrysospilos, Lethrinus spp, Scarus spp, Abudefduf
spp, Monachnthus mylii, Mulloides samoensis, Pelates quadrilineatus, Upeneus
tragula) dan
4.
Menetap
sewaktu-waktu atau singgah hanya mengunjungi padang lamun untuk berlindung atau
mencari makan.
Pada
tahun 1977, penelitian di Pulau Pari diikuti oleh penelitian lanjutan dari
kumpulan ikan yang berasosiasi dengan padang lamun di Teluk Banten, barat daya
Laut Jawa. Hasil dari penelitian di Teluk Banten (Hutomo, 1985) mendukung
pandangan awal yang mengatakan bahwa hanya sedikit spesies ikan yang menghuni
tetap di padang lamun. Walaupun begitu, penelitian itu juga mengkonfirmasi
kembali bahwa padang lamun berperan sebagai daerah asuhan untuk banyaj spesies
ikan yang mempunyai nilai ekonomi penting. Selanjutnya, komposisi spesies
kumpulan ikan yang terlihat dipengaruhi oleh kumpulan spesies komunitas yang
terdekat. Hutomo (1985) melaporkan bahwa padang lamun dengan kepadatan
tertinggi menyokong tingginya kepadatan ikan. Penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa padang lamun E.acoroides, lebih menyokong tingginya kepadatan
ikan daripada Thalassia hemprichii, yang mempunyai daun lebih pendek. Rollon
dan Fortes (1991) memperoleh hasil yang sama, bahwa tingginya biomassa lamun
berhubungan dengan keanekaragaman ikan (sejumlah besar ikan dan komposisi
spesies). Mereka juga menulis bahwa E.acoroides
dan Thalassia hemprichii adalah
spesies lamun yang paling dominan. Dalam perbandingan, padang lamun campuran
(keanekaragaman tinggi) didominasi oleh lamun yang berdaun pendek, kurang
menyokong kepadatan ikan dan keragaman spesies. Rollon dan Fortes (1991)
,mengatakan bahwa peran padang lamun yang utama adalah sebagai tempat
perlindungan dimana ikan dapat menghindari predasi. Hasil yang sama juga
diperoleh oleh Sudara et al (1992), mengkonfirmasi hipotesis awal bahwa padang
lamun dengan struktur yang kompleks (Tumbuhan besar dengan area yang luas) dan
kepadatan lamun yang tinggi akan menyokong tingginya kepadatan spesies ikan dan
biomassanya (Heck dan Ort, 1980).
Daftar spesies tetap dari spesies ikan yang
berasosiasi dengan lamun di Indonesia ada 360, daftar tersebut berdasarkan studi
yang dilakukan dari tahun 1977-1991 (Hutomo dan Martosewojo, 1977; Hutomo,
1985; Kiswara, 1991). Studi tersebut menulis bahwa ada perbedaan-perbedaan yang
nyata dari ikan-ikan yang berasosiasi dengan lamun di setiap kepulauan yang
berbeda. Ddari 360 spesies yang berasosiasi dengan padang lamun, 78 diantaranya
diambil di Kepulauan seribu, 165 spesies diambil dari Teluk Banten dan 205
spesies diambil dari Pulau Seram Barat (Hutomo dan Martosewojo, 1977; Hutomo,
1985; Peristiwadi, 1991). Perbedaan yang utama karena studi dilakukan pada
ekosistem yang berbeda dengan pengaruh pengambilan sampel yang berbeda.
Bagaimanapun juga, banyak spesies konomi penting seperti Siganids, secara
bersama ke semua pantai padang lamun (Teluk Banten, Teluk Miskam, Teluk Kotania,
Teluk Kuta, dll). Hal tersebut mengindikasikan bahwa Siganids bergantung pada
padang lamun untuk makan dan berlindung. Lepiten (1994) menulis bahwa selama
makan ikan Kelinci, Siganus
canaliculatus, menyalurkan sedikit produksi primer ke dalam rantai makanan
lamun, bagian yang signifikan dari memakan lamun oleh populai siganids adalah
langsung kedalam rantai makanan detritus.
Peristiwadi (1994) menggunakan anlisis
Fish-gut untuk menentukan makanan utama bagi spesies ikan di lamun yang paling
dominan. Dasar dari analisis informasi “gut” Peristiwadi (1994 a)mengusulkan
jaring makanan yang mungkin berhubungan dari organisme benthic sebagai produsen
primer tertinggi sampai predator utama di padang lamun. Hewan crustacea lamun
adalah makanan yang paling dominant di padang lamun Lombok Selatan, yang mana
menaruh produsen primer benthic ke tropic level tertinggi di rantai makanan.
Perbandingan
dari Kelompok Ikan. Ada beberapa studi di Indonesia yang dapat digunakan dalam
bingkai kerja ekologi komparatif, bagaimanapun juga, beberapa dasar
pembandingan kualitatif adalah tepat. Penelitian yang berbeda terhadap struktur
komunitas ikan yang berasosiasi dengan lamun pada tempat yang berbeda
berhubungan dengan struktur komunitas lamun dan habitat terdekat juga tipe
substrat dan kondisi lingkungan. Penelitian di Kepulauan Spermonde, Sulsel,
menyatakan bahwa 49 spesies ikan berasosiasi dengan 2 habitat lamun yang
berbeda (Gusung Talang, padang lamun tepi pantai dengan substrat terigenous dan
Barang Lompo, lamun di rataan terumbu karang) (Erftemeijer dan Allen, 1993).
Jumlah total spesies ikan di Gusung Talang dan Barang Lompo sama, yaitu 27 dan
26 spesies berturut-turut, dimana dua lokasi tersebut tidak berkaitan dengan
spesies lain. Ikan-ikan utama yang ada di padang lamun Barang Lompo adalah
spesies ikan dengan karakteristik lingkungan rataan terumbu karang. Meskipun
demikian, 3 spesies di Barang Lompo dianggap sebagai tipe habitat lamun, nam
spesiesnya adalah Acreichtys tomentosus,
Novaculichtys macrolepidotus, dan Centrogenys vaigiensis. Di Gusung Talang,
spesies ikan padang lamunnya kebanyakan didominasi oleh kelompok tipe estuaria
seperti engraulids, clupeids dan siganids, spesies tersebut memiliki nilai
ekonomi penting. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh Hutomo dan Parino
(1994) menunjukkan bahwa di Pantai Selatan Lombok 85 spesies ikan berasosiasi
dengan padang lamun vegetasi campuran. Ikan yang ada adalah Syngnathoides biaculetus, Novaculichtys sp.,
Acreichtys sp., dan Centrogenys vaigiensis. Sejumlah spesies yang memiliki
nilai ekonomi penting seperti siganids, lethrinids, carangids dan lutjanids
diambil di semua padang lamun vegetasi campuran.
Terumbu karang yang berasosiasi dengan padang
lamun di Kepulauan Seribu mendukung 9 spesies ikan komersial. Di Teluk Banten,
yang lebih kecil dari Pulau Seribu, 12 spesies ikan padang lamun komersial
mendukung perikanan setempat. Padang lamun di Teluk Banten tidak bergantung
pada terumbu karang, tetapi dulunya kebanyakan berasosiasi dengan mangrove yang
lebih luas berubah menjadi kolam ikan dan lahan pertanian. Kebanyakan ikan
utama yang diambil di padang lamun masih juvenile dan setengah dewasa. Di Teluk
Kotania pantai Barat Pulau Seram, Peristiwadi (1994) mengambil 8-9 spesies ikan
komersial dari padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang pada Pulau
Osi dan Marsegu. Spesies ikan lamun ada sekitar 33,2% 45,4% dari total spesies
yang diambil dari 2 Pulau tersebut berturut-turut. Siganids adalah spesies yang
lebih mendominasi, mewakili sekitar 5% dari total individu yang diambil.
X.
Penutup
Lamun
(seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu
(monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah. Jadi sangat
berbeda dengan rumput laut (algae) (Wood et al. 1969; Thomlinson 1974; Azkab
1999). Lamun dapat ditemukan di seluruh dunia kecuali di daerah kutub. Lebih
dari 52 jenis lamun yang telah ditemukan. Di Indonesia hanya terdapat 7 genus
dan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili yaitu : Hydrocharitacea (
9 marga, 35 jenis ) dan Potamogetonaceae (3 marga, 15 jenis). Jenis yang
membentuk komunitas padang lamun tunggal, antara lain : Thalassia hemprichii,
Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodoceae serulata, dan Thallasiadendron
ciliatum. Dari beberpa jenis lamun, Thalasiadendron ciliatum mempunyai sebaran
yang terbatas, sedangkan Halophila spinulosa tercatat di daerah Riau, Anyer,
Baluran, Irian Jaya, Belitung dan Lombok. Begitu pula Halophila decipiens baru
ditemukan di Teluk Jakarta, Teluk Moti-Moti dan Kepulaun Aru (Den Hartog, 1970;
Azkab, 1999; Bengen 2001).
Lamun,
merupakan bagian dari beberapa ekosistem dari wilayah pesisir dan lautan perlu
dilestarikan, memberikan kontribusi pada peningkatan hasil perikanan dan pada
sektor lainya seperti pariwisata. Oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian
khusus seperti halnya ekosistem lainnya dalam wilayah pesisir untuk
mempertahankan kelestariannya melalui pengelolaan secara terpadu. Secara
langsung dan tidak langsung memberikan manfaat untuk meningkatkan perekonomian
terutama bagi penduduk di wilayah pesisir.
Habitat
lamun dapat dipandang sebagai suatu komunitas, dalam hal ini padang lamun
merupakan suatu kerangka struktural yang berhubungan dalam proses fisik atau
kimiawi yang membentuk sebuah ekosistem. Mengingat pentingnya peranan lamun
bagi ekosistem di laut dan semakin besarnya tekanan gangguan baik oleh
aktifitas manusia maupun akibat alami, maka perlu diupayakan usaha pelestarian
lamun melalui pengelolaan yang baik pada ekosistem padang lamun.
Padang
lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, dengan
keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem, ini hidup beraneka
ragam biota laut seperti ikan, krustasea, moluska ( Pinna sp, Lambis sp,
Strombus sp), Ekinodermata ( Holothuria sp, Synapta sp, Diadema sp, Arcbaster
sp, Linckia sp) dan cacing ( Polichaeta) (Bengen, 2001).
Secara
ekologis padang lamun memiliki peranan penting bagi ekosistem. Lamun merupakan
sumber pakan bagi invertebrata, tempat tinggal bagi biota perairan dan melindungi
mereka dari serangan predator. Lamun juga menyokong rantai makanan dan penting
dalam proses siklus nutrien serta sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi
ataupun abrasi (Romimohtarto dan Juwana, 1999).
Ekosistem
Padang Lamun memiliki diversitas dan densitas fauna yang tinggi dikarenakan
karena gerakan daun lamun dapat merangkap larva invertebrata dan makanan
tersuspensi pada kolom air. Alasan lain karena batang lamun dapat menghalangi
pemangsaan fauna bentos sehingga kerapatan dan keanekaragaman fauna bentos
tinggi.
Daerah
Padang Lamun dengan kepadatan tinggi akan dijumpai fauna bentos yang lebih
banyak bila dibandingkan dengan daerah yang tidak ada tumbuhan lamunnya.
Menurut Romimohtarto dan Juwana (1999) ekosistem lamun memiliki kerapatan fauna
keanekaragaman sebesar 52 kali untuk epifauna dan sebesar 3 kali untuk infauna
dibandingkan pada daerah hamparan tanpa tanaman lamun.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous,
http://andrian-deri-alviana.blogspot.com/2013/01/ekosistem-padang-lamun-seagrass.html
diakses pada tanggal 12 Maret 2013, jam 18.00
Anonymous,
http://arifqbio.multiply.com/journal/item/18/Ekologi_Laut diakses pada tanggal
14 Maret 2013, jam 17.00
Anonymous,
http://asdar-pelabuhanperikanan.blogspot.com/2012/02/biologi-laut.html diakses
pada tanggal 14 Maret 2013, jam 17.00
Anonymous,
http://itk.fpik.ipb.ac.id/SIELT/lamun.php?load=deskripsi.php diakses pada
tanggal 14 Maret 2013, jam 17.30
Anonymous, http://fatriaarafat.blogspot.com/2010/02/asosiasi-dan-interaksi-di-ekosistem.html
diakses pada tanggal 24 Maret 2013
Anonymous,
http://marinescienceunpad.wordpress.com/2012/05/04/lamun-seagrass-berbunga-dan-berbuah/
diakses pada tanggal 12 Maret 2013, jam 07.30
Anonymous,
http://pendyaneh.blogspot.com/2009/08/ekosistem-padang-lamun-seagrass.html
diakses pada tanggal 12 Maret 2013, jam 08.00
Hartog, C.den.1970.
Seagrass of the world. North-Holland Publ.Co.,Amsterdam
Hartog, C.den.1970. Seagrass of the world. North-Holland
Publ.Co.,Amsterdam Kikuchi dan J.M. Peres. 1977. Consumer ecology of seagrass
beds, pp. 147-193. In P. McRoy and C.Helferich (eds). Seagrass ecosystem. A
scientific perspective. Mar.Sci.Vol 4.Marcel Dekker Inc, New York.
Kikuchi dan J.M.
Peres. 1977. Consumer ecology of seagrass beds, pp. 147-193. In P. McRoy and
C.Helferich (eds). Seagrass ecosystem. A scientific perspective. Mar.Sci.Vol
4.Marcel Dekker Inc, New York.
Menez, E.G.,R.C.
Phillips dan H.P.Calumpong. 1983. Sea Grass from the Philippines. Smithsonian
Cont. Mar. Sci. 21. Smithsonian Inst. Press, Washington.
Menez, E.G.,R.C. Phillips dan H.P.Calumpong. 1983. Sea Grass
from the Philippines. Smithsonian Cont. Mar. Sci. 21. Smithsonian Inst. Press,
Washington.
Tomascik, T, AJ Mah, A Nontji, and MK Moosa. 1997. The
Ecology of Indonesian Seas Part Two. Periplus Edition.
No comments:
Post a Comment