Search This Blog

Tuesday, 23 July 2013

Beautiful View of Indonesia

I wanted to share some great photos of interesting locations in North Sulawesi :)


taken from Lembeh Island



view of the jetty in Likupang (Lab. Basa Fakultas Perikanan dan Kelautan UNSRAT)



taken from Siladen Island



at Likupang



Pencemaran Timbal (Pb)

Timbal atau dikenal sebagai logam Pb dalam susunan unsur merupakan logam berat yang terdapat secara alami di dalam kerak bumi dan tersebar ke alam dalam jumlah kecil melalui proses alami termasuk letusan gunung berapi dan proses geokimia. Pb merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5 ºC dan titik didih 1.740 ºC pada tekanan atmosfer. Timbal mempunyai nomor atom terbesar dari semua unsur yang stabil, yaitu 82. Namun logam ini sangat beracun. Seperti halnya merkuri yang juga merupakan logam berat. Timbal adalah logam yang yang dapat merusak sistem syaraf jika terakumulasi dalam jaringan halus dan tulang untuk waktu yang lama. Timbal terdapat dalam beberapa isotop: 204Pb (1.4%), 206Pb (24.1%), 207Pb (22.1%), and 208Pb (52.4%). 206Pb, 207Pb and 208Pb kesemuanya adalah radiogenic dan merupakan produk akhir dari pemutusan rantai kompleks. Logam ini sangat resistan (tahan) terhadap korosi, oleh karena itu seringkali dicampur dengan cairan yang bersifat korosif (seperti asam sulfat).
Timbal, terdapat dalam air dengan bilangan oksidasi Pb2+, dan dikeluarkan oleh sejumlah industri  dan pertambangan. Timbal yang berasal dari bahan bakar bertimbal merupakan sumber utama dari timbal di atmosfer dan daratan yang kemudian dapat masuk di perairan alami. Timbal yang berasal dari batuan kapur merupakan sumber timbal dari perairan alami (Rukaesih, 2004).
Timbal dapat masuk dalam ke perairan melalui pengkristalan di udara yang merupakan pembakaran hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor dengan bantuan hujan. Dapat pula sebagai akibat proses korosifikasi bahan mineral akibat hempasan dan angin. Timbal (Pb) yang masuk kedalam bahan perairan sebagai dampak aktifitas manusia, di antaranya dalam air buangan (limbah) industri yang berkaitan dengan timbal (Pb) yang jatuh pada jalur-jalur perairan seperti anak sungai dan terbawa menuju laut.

Sumber Pencemar Timbal (Pb)   
Pencemaran lingkungan oleh timbal kebanyakan berasal dari aktifitas manusia yang mengekstraksi dan mengeksploitasi logam tersebut. Timbal digunakan untuk berbagai kegunaan terutama sebagai bahan perpipaan, bahan aditif untuk bensin, baterai, pigmen dan amunisi. Sumber potensial pajanan timbal dapat bervariasi di berbagai lokasi. 
Manusia menyerap timbal melalui udara, debu, air dan makanan. Salah satu penyebab kehadiran timbal adalah pencemaran udara. Yaitu akibat kegiatan transportasi darat yang menghasilkan bahan pencemar seperti gas CO2, NOx, hidrokarbon, SO2,dan tetraethyl lead, yang merupakan bahan logam timah hitam (timbal) yang ditambahkan ke dalam bahan bakar berkualitas rendah untuk menurunkan nilai oktan.

Efek Timbal Terhadap Kesehatan
·         Sistem syaraf dan kecerdasan
Efek timbal terhadap sistem syaraf telah diketahui, terutama dalam studi kesehatan kerja dimana pekerja yang terpajan kadar timbal yang tinggi dilaporkan menderita gejala kehilangan nafsu makan, depresi, kelelahan, sakit kepala, mudah lupa, dan pusing. Pada tingkat pajanan yang lebih rendah, terjadi penurunan kecepatan bereaksi, memburuknya koordinasi tangan-mata, dan menurunnya kecepatan konduksi syaraf.
Efek timbal terhadap keerdasan anak telah banyak diteliti, dan studi menunjukkan timbal memiliki efek menurunkan IQ bahkan pada tingkat pajanan rendah. Peningkatan kadar timbal dalam darah sebesar 10 µg/dl hingga 20 µg/dl dapat menurunkan IQ sebesar 2.6 poin. Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa kenaikan kadar timbal dalam darah di atas 20 µg/dl dapat mengakibatkan penurunan IQ sebesar 2-5 poin.
·         Efek sistemik
Studi menunjukkan hubungan antara meningkatnya tekanan darah dengan BLL paling banyak ditemukan pada kasus pajanan terhadap laki-laki dewasa. Schwartz (1995) dalam laporan WHO menunjukkan bahwa penurunan BLL sebesar 10 µg/dl to 5 µg/dl menyebabkan penurunan tekanan darah sebsar 1.25 mmHg. Pada wanita dewasa, hubungan antara BLL dengan tekanan darah tidak terlalu kuat dan jarang ditemukan.
Efek sistemik lainnya adalah gejala gastrointestinal. Keracunan timbal dapat berakibat sakit perut, konstipasi, kram, mual, muntah, anoreksia, dan kehilangan berat badan.
·         Efek timbal terhadap reproduksi
Efek timbal terhadap reproduksi dapat terjadi pada pria dan wanita dan telah diketahui sejak abad 19, dimana pada masa itu timbal bahkan digunakan untuk menggugurkan kandungan. Pajanan timbal pada wanita di masa kehamilan telah dilaporkan dapat memperbesar resiko keguguran, kematian bayi dalam kandungan, dan kelahiran prematur. Pada laki-laki, efek timbal antara lain menurunkan jumlah sperma dan meningkatnya jumlah sperma abnormal.

Cara Mengurangi dan Menanggulangi Pencemaran Timbal ?
Dengan mengurangi penggunaan zat-zat berbahaya tersebut dan menjaga kebersihan lingkungan, maka kelangsungan hidup yang ada di darat maupun di perairan akan terjaga. Ekosistem perairan juga terjaga, dan organisme yang ada di perairan akan terjaga kelnagsungan hidupnya dan tidak merugikan semua pihak.
Menetralisir limbah-limbah tersebut bukanlah hal mudah. Teknologi pengolahan limbah seringkali menekan kondisi finansial suatu perusahaan, tetapi tindakan tersebut tetap diperlukan. Namun berdasar penelitian yang dilakukan oleh tim penelitian yang dipimpin oleh Stephan Kohler dari Graz University of Technology di Austria, ada cara sederhana dan mudah yang bisa dilakukan. Di satu tempat di pinggir sungai Saigon, Vietnam, tim peneliti tersebut baru saja selesai melakukan pengujian terhadap metode barunya untuk mengatasi pencemaran air. Beberapa industri yang berada di sana menjadi tempat untuk menguji coba bahan pembersih air yang banyak ditemukan di berbagai perairan laut di seluruh dunia yaitu cangkang kerang laut. Kerang laut memang menjadi bahan hasil penelitian tim tersebut yang murah dan berlimpah. Seperti negara-negara berkembang lainnya, Vietnam juga mengalami masalah air bersih, bahkan jutaan warganya masih belum bisa mengakses air minum bersih. Perusahaan-perusahaan lokal belum mampu sistem penyaringan untuk mengolah air limbah. Kohler bersama timnya menemukan bahwa dengan menuangkan logam dan air dengan pH asam di atas kulit-kulit kerang yang sudah dihancurkan akan dihasilkan air bersih. Kandungan kulit kerang tersebut adalah kalsium karbonat (CaCO3), maka jika terjadi reaksi kimia, dengan mudah atom-atom kalsiumnya akan mudah terlepas dan mengikat logam-logam dan mengubahnya menjadi berbentuk padat. Proses pembersihan air pun akhirnya menjadi jauh lebih mudah.
Upaya penanganan pencemaran logam berat sebenarnya dapat dilakukan dengan menggunakan proses kimiawi. Seperti penambahan senyawa kimia tertentu untuk proses pemisahan ion logam berat atau dengan resin penukar ion (exchange resins), serta beberapa metode lainnya seperti penyerapan menggunakan karbon aktif, electrodialysis dan reverse osmosis. Namun proses ini relatif mahal dan cenderung menimbulkan permasalahan baru, yaitu akumulasi senyawa tersebut dalam sedimen dan organisme akuatik (perairan). Penanganan logam berat dengan mikroorganisme atau mikrobia (dalam istilah Biologi dikenal dengan bioakumulasi,bioremediasi, atau bioremoval), menjadi alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat keracunan elemen logam berat di lingkungan perairan tersebut. Metode atau teknologi ini sangat menarik untuk dikembangkan dan diterapkan, karena memiliki kelebihan dibandingkan dengan proses kimiawi. Beberapa hasil studi melaporkan, penggunaan mikroorganisme untuk menangani pencemaran logam berat lebih efektif dibandingkan dengan ion exchange dan reverse osmosis dalam kaitannya dengan sensitivitas kehadiran padatan terlarut (suspended solid), zat organik dan logam berat lainnya. Serta, lebih baik dari proses pengendapan (presipitation) kalau dikaitkan dengan kemampuan menstimulasikan perubahan pH dan konsentrasi logam beratnya. Dengan kata lain, penanganan logam berat dengan mikroorganisme relatif mudah dilakukan, murah dan cenderung tidak berbahaya bagi lingkungan.
Organisme Selular Sianobakteria merupakan organisme selular yang termasuk kelompok mikroalga atau ganggang mikro. Di alam, organisme ini tersebar luas baik di perairan tawar maupun lautan. Sampai saat ini diketahui sekitar 2.000 jenis sianobakteria tersebar di berbagai habitat. Berdasarkan penelitian terbaru, sianobakteria merupakan salah satu organisme yang diketahui mampu mengakumulasi (menyerap) logam berat tertentu seperti Hg, Cd dan Pb. Suhendrayatna (2001) dalam makalahnya, menjelaskan lebih rinci tentang proses penyerapan ion logam berat oleh sianobakteria dan mikroorganisme secara umum. Umumnya, penyerapan ion logam berat oleh sianobakteria dan mikroorganisme terdiri atas dua mekanisme yang melibatkan proses aktif uptake (biosorpsi) dan pasif uptake (bioakumulasi).
a.       Proses aktif uptake
Proses ini juga dapat terjadi pada berbagai tipe sel hidup. Mekanisme ini secara simultan terjadi sejalan dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan sianobakteria, dan/atau akumulasi intraselular ion logam tersebut. Logam berat dapat juga diendapkan pada proses metabolisme dan ekresi sel pada tingkat kedua. Proses ini tergantung dari energi yang terkandung dan sensitivitasnya terhadap parameter yang berbeda seperti pH, suhu, kekuatan ikatan ionik, cahaya dan lainnya.
Namun demikian, proses ini dapat pula dihambat oleh suhu rendah, tidak tersedianya sumber energi dan penghambat metabolisme sel. Peristiwa ini seperti ditunjukkan oleh akumulasi kadmium pada dinding sel Ankistrodesmus dan Chlorella vulgaris yang mencapai sekitar 80 derajat dari total akumulasinya di dalam sel, sedangkan arsenik yang berikatan dengan dinding sel Chlorella vulgaris rata-rata 26 persen. Suhendrayatna (2001) menambahkan, untuk mendesain suatu proses pengolahan limbah yang mengandung ion logam berat dengan melibatkan sianobakteria relatif mudah dilakukan. Proses pertama, sianobakteria pilihan dimasukkan, ditumbuhkan dan selanjutnya dikontakkan dengan air yang tercemar ion logam berat tersebut. Proses pengontakkan dilakukan dalam jangka waktu tertentu yang ditujukan agar sianobakteria berinteraksi dengan ion logam berat, selanjutnya biomassa sianobakteria ini dipisahkan dari cairan. Proses terakhir, biomassa sianobakteria yang terikat dengan ion logam berat diregenerasi untuk digunakan kembali atau kemudian dibuang ke lingkungan. Pemanfaatan sianobakteria untuk menanggulangi pencemaran logam berat merupakan hal yang sangat menarik dilakukan, baik oleh masyarakat, pemerintah maupun industri. Karena, sianobakteria merupakan organisme selular yang mudah dijumpai, mempunyai spektrum habitat sangat luas, dapat tumbuh dengan cepat dan tidak membutuhkan persyaratan tertentu untuk hidup, mudah dibudidayakan dalam sistem akuakultur.

b. Proses pasif uptake
Proses ini terjadi ketika ion logam berat terikat pada dinding sel biosorben. Mekanisme passive uptake dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan cara pertukaran ion di mana ion pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat; dan kedua adalah pembentukan senyawa kompleks antara ion-ion logam berat dengan gugus fungsional seperti karbonil, amino, thiol, hidroksi, fosfat, dan hidroksi-karboksil secara bolak balik dan cepat. Sebagai contoh adalah pada Sargassum sp. dan Eklonia sp. di mana Cr(6) mengalami reaksi reduksi pada pH rendah menjadi Cr(3) dan Cr(3) di-remove melalui proses pertukaran kation.

PENGARUH GLOBAL WARMING TERHADAP EKOSISTEM TERUMBU KARANG

Pada dasarnya banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan karang, baik faktor yang bersifat alami seperti pemanasan global, cyclone, dan tsunami, ataupun yang bersifat buatan yang disebabkan oleh aktifitas manusia yang tidak benar, seperti penggunaan potassium dan bom ikan dalam menangkap ikan. Namun selain penyebab-penyebab di atas, perubahan iklim akibat pemanasan global yang terjadi secara signifikan dalam kurun waktu dasawarsa ini membawa dampak yang sangat berarti terhadap sumber daya kelautan dan perikanan , termasuk terumbu karang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlangsungan pertumbuhan polip kecil adalah suhu, salinitas, cahaya dan kedalaman, tingkat kecerahan, serta dinamika arus dan gelombang yang diterimanya. Jika factor-factor di atas sesuai dengan standart yang diperlukan bagi pertumbuhan polip kecil maka koloni tersebut akan tumbuh dengan baik.
Namun, dampak yang terjadi akibat fenomena pemanasan global yang sudah dijelaskan di atas telah mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat mengkhawatirkan terhadap factor-faktor penunjang kebutuhan hidup suatu karang. Sebut saja suhu, akibat efek gas rumah kaca yang menyebabkan penaikan temperatur bumi secara berkala sehingga suhu air laut, khususnya di permukaan, juga ikut meningkat. Dengan meningkatnya temperatur air laut maka mengakibatkan Zooxanthellae yang merupakan nutrisi penting yang dibutuhkan karang semakin berkurang. Dan dengan peningkatan suhu perairan, maka terumbu karang di laut tropis akan mengalami pemutihan , dimana pada tahun 1998 antara 10% hingga 15% terumbu karang dunia mengalami kematian yang berdampak lanjut hingga saat ini sekitar 15% dari karang dunia rusak setiap tahun.

Dan karang-karang yang mengalami pemutihan tersebut dinamakan coral bleaching. Jika hal tersebut tetap dan terus berlangsung maka karang yang mengalami pemutihan tadi akan menjadi karang mati atau death coral.
Gambar 1. Fenomena pemutihan karang (coral bleaching)
akibat pemanasan global.Sumber: www.kelautankita.blogspot.com
Dalam kasus lain seperti naiknya muka air laut atau sea level rise, ternyata juga membawa dampak buruk terhadap ekosistem terumbu karang. Kenaikan muka air ini dikarenakan volume air yang sangat besar yang menuju ke laut, baik yang berasal dari pencairan gletser, aliran sungai yang menuju ke laut, serta curah hujan yang tinggi di laut. Peningkatan muka air inilah yang menjadi ancaman sirius bagi kehidupan terumbu karang. Sebab karang merupakan salah satu organisme yang sangat sensitif terhadap perubahan, seperti perubahan kedalaman, maka sedikit perubahan muka air laut saja akan menimbulkan perubahan kondisi pula. Terumbu karang tidak dapat hidup dengan baik dalam perairan yang terlalu dangkal maupun perairan yang terlalu dalam. Maka dari itu jika terjadinya kenaikan muka air adalah masalah bagi kelanjutan hidup terumbu karang. Tingginya kandungan karbon dioksida di udara akan memicu peruhahan derajat keasaman (pH) air laut, sehingga mengganggu metabolisme hewan karang sehingga pertumbuhannya terganggu.
Gambar 2. Pemutihan karang secara massal akibat
kenaikan suhu dan muka air laut.
 Sumber: www.kelautankita.blogspot.com

Isu pemanasan global, di mana rata-rata suhu global meningkat 0,6 ± 0,2 derajat celsius dan diprediksi akan meningkat 1,5-4,5 derajat celsius pada abad ini, merupakan ancaman bagi ekosistem terumbu karang. Menurut Rosenberg dan Ben Haim (2002), beberapa penyakit karang merupakan hasil ekspresi gen-gen penyebab penyakit karang yang dipicu kenaikan suhu air laut. Beberapa jenis penyakit karang yang menyerang karang, antara lain, pemutihan karang Oculina patagonica, aspergilosis yang menyerang Gorgonia ventalina, white band yang menyerang karang Acropora cervicornis, pelak putih yang menyerang Diploria strigosa dan Favia favius, cacar putih pada Acropora palmata, yellow blotch disease pada Monastraea faveolata, serta black band pada Diploria strigosa (Ocky Karna Radjasa, 2012).
Dampak lainnya yang disebabkan oleh pemanasan global adalah curah hujan yang tinggi di daerah tropis yang mengakibatkan debit air yang berlebihan menuju ke laut. Aliran air hujan yang menuju ke laut ini juga membawa sedimen dan limbah berbahaya yang berpotensi mencemari perairan di wilayah-wilayah pesisir. Aliran air yang membawa sedimen berupa lumpur dan pasir dalam jumlah besar selain mencemari perairan pesisr juga mampu membunuh terumbu karang di sekitarnya. Hal tersebut dapat terjadi karena butiran-butiran sedimen akan menutup mulut-mulut polip yang menempel dikarang sehingga polip tidak akan mendapat nutrisi secara optimal dan hal tersebut akan mengakibatkan karang kekurangan nutrisi dan menjadi mati.
Lumpur dan limbah yang terbawa oleh air hujan atau dari sungai tersebut juga mampu membuat perairan pesisir menjadi keruh dan kotor. Jika hal tersebut terjadi maka sinar matahari tidak akan bisa masuk kedalam laut. Padahal sinar matahari merupakan salah satu nutrisi yang dibutuhkan terumbu karang untuk dapat melakukan fotosintesis agar karang dapat berkembang. Jika tingkat kecerahan menurun dan intensitas matahari yang diterima oleh terumbu karang berkurang maka karang akan mengalami ganguan pertumbuhan dan akan terjadi pemutihan atau bleaching.
Efek lain yang ditimbulkan oleh pemanasan global adalah perubahan iklim yang sangat signifikan. Perubahan iklim ini terjadi dikarenakan adanya perubahan sistem sirkulasi laut secara global yang lebih dikenal dengan istilah Great Ocean Conveyor Belt (Sabuk Arus Laut Dalam). Dimana dalam sistem ini arus mengangkut sejumlah besar panas dan garam di sekitar bumi melalui arus permukaan laut yang hangat dan arus dalam yang lebih dingin, dimana sistem inilah yang sangat berperan penting dalam menentukan iklim di bumi. Karena terjadi perubahan dinamika arus maka iklim pun juga menjadi berubah-ubah tanpa dapat diprediksi secara tepat. Perubahan iklim ini kemudian berimbas terhadap munculnya badai-badai di laut seperti Cyclone, Typhoon, serta El Nino dan La Nina. Terjadinya badai tersebut mengakibatkan gelombang-gelombang tinggi yang kemudian diikuti dengan pergerakan arus yang semakin kencang sehingga membuat karang-karang terhempas dari mediumnya. Jika hal ini terus terjadi maka gugusan terumbu karang akan mengalami kerusakan dan akan mengakibatkan terjadinya pemutihan karang.
Peningkatan suhu air laut, kenaikan muka air laut, pencemaran wilayah pesisir, dan pergerakan air laut yang semakin ekstrim merupakan sedikt dampak yang ditimbulkan oleh fenomena pemasanan global diseluruh permukaan bumi. Dan hal ini kemudian menjadi bencana terhadap kondisi-kondisi kehidupan di dalamnya, termasuk ekosistem terumbu karang. Coral Bleaching merupakan dampak yang diakibatkan oleh efek pemanasan global dan ini dapat merugikan kehidupan sekarang maupun yang akan dapat.
Kerusakan karang yang meluas akibat peningkatan suhu air laut akan berimplikasi ke kehidupan organisme lain yang hidup berinteraksi dengan terumbu karang, termasuk ikan yang merupakan komoditas ekonomis bagi manusia.
Salah satu bentuk kerugian/kehilangan yang dapat terjadi di kawasan pantai adalah akibat dari kenaikan air laut. Kehilangan/lost dapat terjadi pada kawasan sebagai akibat kenaikan air laut di pantai dimana kerusakan maupun kerugian dalam kegiatan pariwisata meliputi kerugian atau lost yang diartikan sebagai hilangnya nilai – nilai baik nilai keindahan, kenyamanan dan hal lain akibat tidak dapat berlangsungnya aktivitas wisata maupun aktivitas soaial budaya yang mendukungnya, kenyamanan wisata karena kejadian tersebut, adanya biaya tambahan yang harus dikeluarkan karena adanya suatu kejadian yang mengganggu aktivitas wisata dan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan. (Astuti, 2002).
Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh semua stake holder dalam rangka adapatasi terhadap perubahan iklim global diantaranya adalah melakukan lobi perjanjian internasional terkait dengan emisi gas yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas industri, harus ada kesepakatan untuk bersama-sama menurunkan tingkat emisi gas ini. Disamping itu kebijakan pemerintah lokal juga harus lebih memfokuskan terhadap proses adaptasi ini, misalnya dengan membentuk Marine Protected Area (MPA) dan Coastal Zone Management serta kemitraan dan kerjasama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah bahkan antar daerah.




Referensi

Agussalim. 2013. http://bp3ambon-kkp.org/2013/02/pengaruh-sea-level-rise-terhadap-ekosistem-terumbu-karang/ diakses pada tanggal 18 Maret 2013
Anonymous, http://matoa.org/terumbu-karang-jika-dilindungi-efek-pemanasan-global-dapat-dipulihkan/ diakses pada tanggal 12 Maret 2013
Anonymous. 2011. http://derinazaroni.wordpress.com/2011/03/20/dampak-perubahan-suhu-terhadap-terumbu-karang/ diakses tanggal 18 Maret 2013
Anonymous. 2012. http://www.kelautankita.blogspot.com/ diakses pada tanggal 22 Maret 2013
Anonymous. 2012. http://marlina0936.blogspot.com/2012/04/kerusakan-terumbu-karang-akibat.html diakses pada tanggal 12 Maret 2013
Anoymous, http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global diakses pada tanggal 20 Maret 2013
Madiyana. 2010. http://yanamardiyana.wordpress.com/2010/10/14/dampak-pemanasan-global-global-warming-terhadap-ekosistem-terumbu-karang/ diakses pada tanggal 18 Maret 2013
Rani, C. 2007. Perubahan Iklim : Kaitannya dengan Terumbu Karang (Makalah). Universitas Hasanudin: Makasar.
Surakusumah, W. Perubahan Iklim dan Pengaruhnya terhadap Keanekaragaman Hayati : Makalah Perubahan Lingkungan Global. Universitas Pendidikan Indonesia : Bandung.



PENGANGKUTAN DAN TRANSFORMASI TOKSIKAN LOGAM BERAT DI DALAM BIOTA PERAIRAN


1.      Interaksi Logam-Mikrobial
Terdapat tiga proses microbial utama yang mempengaruhi pengangkutan logam di lingkungan:
1)      Degradasi bahan-bahan organic menjadi senyawa yang bobot molekulnya lebih rendah, yang lebih mampu untuk membentuk senyawa dengan ion-ion logam
2)      Perubahan sifat lingkungan dan bentuk kimia logam oleh kegiatan metabolic, sebagai contoh oksidasi-reduksi dan keadaan pH
3)      Perubahan senyawa anorganik menjadi bentuk organologam dengan cara proses oksidatif dan reduktif (Forstner, 1979). Mekanisme ini melibatkan metilasi sejumlah unsur oleh bakteri, sebagai contoh As, Hg, Pb, Se, dan Sn, di mana metilkobalamin muncul sebagai zat pembentuk metal secara biologis yang utama.

2.      Proses Pengambilan
Pengambilan awal logam oleh makhluk hidup air dapat dianggap dalam 3 proses utama:
1)      Dari air melalui pernapasan (misalnya : insang)
2)      Penyerapan dari air ke permukaan tubuh
3)      Dari makanan, partikel dan air yang dicerna melalui system pencernaan
Mekanisme yang terlibat dalam proses pengambilan logam dapat disimpulkan dalam Tabel 1. untuk beberapa kelompok taksonomi mahkluk hidup yang utama.
Tabel 1. Proses Pengambilan Logam dalam Makhluk Hidup Perairan
Kelas Makhluk Hidup
Sumber
Prose/ Mekanisme
Pustaka

Autotrofik

Fitoplankton
Air
Proses pertukaran ion yang meliputi molekul organik seperti protein: Penyerapan yang cepat pada permukaan sel, dan penyerapan pada tempat pertukaran ion dalam sel, misal Za di dalam diatom, Phaeodactylum tricornutum
Bryan (1976) ; Davies (1973)
Makro Alga
Air
Penyerapan atau proses pertukaran ion yang melibatkan protein sel dan polisakarida, misalnya: alginat dalam dinding sel ganggang laut; Zn dalam alga coklat, Laminaria digitata
Gutnecht (1965) ; Bryan (1969)
Sedimen
penyerapan logam dari interstiti atau pori melalui sistem perakaran; pertama masuk ke dalam ruang bebas akar mungkin pasif melalui arus besar dari air sedimen/tanah. Jika penyerapan sama dengan kecepatan arus besar, kemudian pengambilan awal ada ruang bebas merupakan sebuah fungsi kecepatan transpirasi. Namun, jika penyerapan lebih cepat dari kecepatan arus besar, maka sebuah ruang kosong terbentuk di sekitar akar dan tingkat kepekatan yang kemudian menyebabkan difusi logam dari tanahke akar. Kelat-kelat bobot molekulnya rendah penting dalam proses ini.
Hughes, dkk (1980)

Heterotrofik

Pemangsa bersaring (moluska bivalvia dan tunikat)
Air
Penyerapan logam dari lembaran mukus pada mekanisme pemakan siliaria: Penyerapan logam oleh alat pelengkap ke mukus dapat meningkatkan difusi melalui permukaan tubuh atau penyerapan dapat terjadi jika mukus melewati sistem pencernaan, misal : dalam ascidian.
Pentreath (1973) ; Kalk (1973)
Makanan
Dalam moluska, misalnya kerang, logam terutama didapat dari partikel yang dicerna dibandingkan dengan larutan.
Kurtis, dkk (1975) ; Bryan (1976)
Polichaeta
Air
Proses penyerapan yang melibatkan difusi melalui permukaan tubuh luar: di dalam polichaeta yang membuat lubang, Neris diversicolor, kecepatan penyerapan Zn sesuai dengan tingkat penyerapan pada permukaan tubuh daripada dengan kepekatan luar.
Bryan dan Hummerstone (1973)
Krustacea
Air
penyerapan pada permukaan tubuh , misalnya kulit ari, diikuti dengan difusi melalui permukaan, misal epitelium insang, mungkin dilekatkan pada ligan organik dan diikatkan pada protein dalam
Bryan 1970)
Makanan
Pada krustacea yang lebih besar, misal udang karang penyerapan dari makanan melalui perut atau sistem pencernaan muncul lebih penting. Penyerapan dari larutan tampak paling penting bagi udang dan isopoda-isopoda laut.

Ikan
Air
Proses penyerapan mirip pada crustacea yang lebih besar, Pentreath menyatakan bahwa logam jarang diserap insang melalui sebuah proses pasif, karena tingkat kepekatan yang sesuai mungkin dicapai oleh penyerapan logam pada mukus yang menutupi insang dan akumulasi brief levels di dalam jaringan insang.
Pentreath (1973) ; Bryan (1976)
Makanan
Penyerapan dari makanan yang dicerna lebih penting
Pentreath (1973 ; Renfro, dkk (1975)

Dalam kasus makhluk hidup foto- dan kemoautotrof, pengambilan logam terjadi langsung dari larutan atau dari tanaman tingkat tinggi melalui akar. Fitoplankton sebagai contoh, tampaknya cepat menyerap logam pada permukaan sel, dari tempat mereka berdifusi ke dalam membrane sel dan diserap atau diikat pada protein (tempat pertukaran ion) di dalam sel (Davies, 1973). Pada umumnya, Bryan (1976) memperlihatkan bahwapengambilan logam berat oleh tumbuhan air menjadi proses pasif yang dapat dipengaruhi secara tidak langsung oleh metabolism. Namun beberapa jenis kemoautotrof, sebagai contoh, yaitu yang aktif dalam pembentukan cairan buangantambang yang asam, dapat memetabolisasi logam langsung dari senyawa anorganik seperti sulfide logam (Prosi, 1979)
Pada makhluk hidup heterotrofik cara pemasukan logam labih besar daripada makhluk hidup autotrofik dan sangat beragam menurut jenisnya. Penyerapan dari larutan oleh sebagian besar hewan terjadi dengan difusi pasif, kemungkina sebagai senyawa logam yang larut melalui tahapan yang disebabkan oleh penyerapan pada permukaan tubuh dan pengikatan oleh unsure pokok tubuh (Bryan, 1976). Kecepatan penyerapan dipengaruhi oleh perubahan dalam factor fisika-kimiawi (suhu, pH, kadar garam) dan cirri-ciri fisiologi dan perilaku makhluk hidup tersebut. Untuk beberapa logam, kecepatan penyerapan secara langsung sesuai dengan tingkatan ketersediaannya di lingkungan (Bryan, 1979).
Perbandingan pengambilan logam dari sumber  makanan dengan penyerapan langsung dari larutan merupakan kepentingan mendasar bagi makhluk hidup heterotrofik. Kejadiannya sangat terbatas tetapi menunjukkan bahwa makanan dan partikulat merupakan sumber yang lebih penting bagi logam daripada air untuk hewan besar seperti, ikan, udang (Bryan, 1976 ; 1979). Di dalam lingkungan perairan yang tercemar kesukaan terhadap bahan makanan atau kebiasaan makan sangat penting disebabkan oleh penambahan logam di dalam sedimen, particular dan detritus. Prosi (1979) menyarankan bahwa kebiasaaan makan beriktu ini harus dipertimbangkan dalam hubungannya dengan kepekatan logam :
1)      Fitofage (misalnya: gastropoda, krustasea)
2)      Makan dengan cara menyaring (misalnya : zooplankton, remis, lokan)
3)      Pemakan sedimen (misalnya : poli- dan oligochaeta)
4)      Pemakan detritus (misalnya : grastropoda, isopoda, amfipoda, larva choronomid)
5)      Karnivora (misalnya: zooplankton, polochaeta, gastropoda, cephalopoda, krustace, larva seranggan air tawar, ikan)


3.      Ekskresi Dan Pengaturan
Walaupun makhluk hidup air mudah menyerap logam adalah merupakan kemampuan mereka mengatur kepekatan abnormal yang menentukan toleransi dan merupakan sebuah factor penentu dalam penyelamatan diri. Beberapa hewan, seperti ikan dan krustacea, mampu mengeluarkan banyak logam yang terserap secara tidak normal dan mengakibatkan pengaturan kepekatan dalam tubuh pada tingkat yang paling normal (Bryan, 1976). Hal ini umumnya lebih sering terjadi pada logam esensial yang relative banyak jumlahnya., seperti Cu, Zn, dan Fe daripada logam nonesensial seperti Hg dan Cd. Pengaturan atau ekskresi terjadi melalui insang, usus, kotoran dan urin.
Namun demikian, terdapat batas teratas jumlah logam yang dapat diekskresikan oleh hewan tersebut diatas, jika terjadi akumulasi dalam jaringan tubuh (Bryan, 1976). Dengan jalan ini, perbedaan kepekatan logam dapat jelas terlihat pada spesies tunggal yang diambil dari air yang sama-sama tercemar. Sebagai contoh, Johnels, dkk (1967) menemukan bahwa kepekatan merkuri dalam jaringan otot pada Swedish pike meningkat sesuai dengan ukuran atau umur ikan tersebut tetapi ini tidak terjadi pada ikan dari air yang relative tidak tercemar. Penelitian ini dan penelitian lainnya yang hamper sama, menunjukkan bahwa ambang kontak terjadi jika terdapat akumulasi logam.
Tumbuh-tumbuhan air dan bivalvia merupakan pengatur logam yang relative lemah, khususnya jenis nonesensial. Pengurangan dapat terjadi melalui difusi pada tumbuhan-tumbuhan air, atau difusi dan beberapa mekanisme lainnya pada moluska. Ini meliputi ekskresi sebagai granula dari ginjal pada remis, lapisan yang menonjol (spheres pinched off) dari sel-sel pencernaan pada Cardium edule, dan bentuk partikulat dari ujung kerang oysters (Bryan, 1976).
Pada umumnya, kurva pengurangan terdiri dari 2 bagian, cepat dan lambat, dengan waktu paruh yang berbeda. Bagian lambat dianggap mempunyai nilai yang lebih mewakili dan kurang dipengaruhi oleh cara pemasukan Bryan, 1976). Pembatasan penggunaan isotop logam untuk menduga laju pengurangan logam stabil dari jaringan yang telah dibicarakan oleh Bryan, 1976. Pada beberapa hewan yang tercemar, laju pengurangan lebih cepat atau lebih lambat dibandingkan dengan yang diduga dari kecepatan isotopic.

4.      Toleransi Terhadap Logam Dan Biotransformasi
Banyak makhluk hidup yang tercemar mampu untuk mentolerir kepekatan logam yang lebih dari kebutuhan fisiologis yang sudah diketahui, dan pada beberapa keadaan, terjadi tingkatan maka enzim penghambat akan bekerja. Makhluk hidup yang toleran terhadap logam mungkin mengandung logam dengan kepekatan dua atau tiga kali lebih besar daripada normal.
Mekanisme detoksifikasi dapat melibatkan penyimpanan logam pada tempat yang tidak aktif di dalam makhluk hidup untuk sementara atau lebih permanen. Penyimpana sementara umunya terikatnya logam pada protein, polisakarida, dan asam amino di dalam jaringan lunak atau cairan tubuh. Metallotionin, secara efektif menyimpan Kadmium di jaringan hati dan ginjal. Tempat penyimpanan seperti: tulang, bulu, rambut atau rangka luar menjadi alat-alat berguna untuk pengurangan beberapa logam (misalnya PB, Cd dan Hg).
Perubahan bentuk secara kimiawi dan penggabungan juga penting tetapi tidak begitu dipahami. Pengambilan metilmerkuri tampaknya didetoksifikasi sampai tingkatan tertentu oleh demetilasi dan disimpan dalam jaringan sebagai bentuk anorganik yang kurang toksik. Banyak makhluk hidup yang mingkin mampu mengubah selenium dan arsen anorganik menjadi bentuk organic yang kurang toksik (Wood, 1974; Forstner, 1979). Hubungan yang kuat antara kepekatan merkuri dan selenium pada banyak hewan bertulang belakang mengarah pada anggapan bahwa selenium dapat menghambat kegiatan toksik merkuri (Forstner, 1979).

5.      Bioakumulasi
Kemampuan yang luas pada makhluk hidup air untuk mengakumulasi logam yang esensial maupun yang tidak esensial secara biologis, sudah terbentuk dengan baik. Sebagai contoh Jenkins (1980) telah menunjukan data biokonsentrasi dan bioakumulasi beberapa logam di dalam tumbuhan dan hewan. Faktor kepekatan untuk beberapa jenis makhluk air beranah antara 102 dan 106 (Wright, 1978; Phillips, 1980). Callahan, dkk (1979) berkesimpulan dalam suatu tinjauan pencemaran yang diutamakan, bahwa bioakumulasi merupakan proses yang menentukan keberadaan logam tertentu di dalam biota. Ini adalah As, Cd, Cr, Cu, Pb, Hg, dan Zn tetapi tidak Sb dan Ni, dan pada bebrapa kasus kedudukan Be, Se, Ag, dan Ti tidak tentu. Hal yang cukup menarik dalam memilih makhluk hidup penunjuk biologis untuk pengelolaan pencemaran logam menyediakan banyak ransangan untuk penelitian bioakumulasi (Phillips, 1980).
Pertimbangan perbedaan inter- dan intraspesies nyata dalam kapasitas bioakumulasi logam secara individual, dan logam yang berbeda menunjukan keragaman kinetika pada setiap spesies. Sebagai tambahan, bentuk kimiawi yang berbeda dari setiap logam mungkin diserap dan diekskresikan dengan perbedaan kecepatan yang luas (Phillips, 1980). Rumitnya factor-faktor seperti umur (ukuran, berat), keragaman musim dan penyimpanan lemak yang bekerja pada akumulasi logam jarang telah dibahas oleh Phillips (1980).
Pada umumnya, jumlah relative logam esensial dalam makhluk hidup menggambarkan tingkat yang perlu untuk menjaga fungsi biokimiawi sebagai contoh, system enzim (Bryan dan Hummerstone, 1973). Pada saat pengambilan logam esensial melebihi tingkat ini, mekanoisme homeostatis mengendalikan tingkatan kandungan di dalam tubuh dan penyebaran jaringan. Sebagai contoh dalam berbagai macam krustacea decaposa, kandungan Zn dan Cu total dalam tubuh diatur oleh batas-batas tertentu, factor kepekatan penghambat untuk kedua logam sekitar 104 (Phillips, 1977). Namun, dengan logam esensial dan nonesensial, jika pengambilan berlebihan, mekanisme homeostatis dihambat dan dimulai bioakumulasi karena laju pengambilan melampaui laju pengurangan.

6.      Perpindahan Rantai Makanan Dan Biomagnifikasi
Banyak penelitian beranggapan bahwa biomagnifikasi logam pada pokonya adalah dengan cara yanga analaog dengan perilaku DDT di dalam rantai makanan. Namun, Prosi (1979) berkesimpulan bahwa penambahan logam pada rantai makanan perairan tidak terjadi dan mekanisme biomagnifikasi dirumitkan oleh penyederhanaan. Pada umumunya ada kecenderungan untuk mengabaikan beberapa factor penentu yang berhubungan dengan factor pengambilan dan akumulasi logam oleh makhluk hidup perairan  Prosi (1979). Ini adalah sebagai berikut:
1)      Ketersediaan logam secara biologis untuk hewan pada tingkat trofik yang lebih tinggi, pada umumnya lebih ditentukan oleh perpindahan dari air dibandingkan dari makanan.
2)      Makhluk hidup pemangsa bersaring diketahui mengakumulasi logam di dalam jaringannya dengan tingkat kandungan yang tinggi, tetapi memindahkan hanya sebagian kecil saja pada makhluk predator.
3)      Sedimen dan detritus biasanya mengandung kepekatan logam tertinggi di dalam system yang tercemar dan hewan pemangsa sedimen dan detritus cenderung untuk mengakumulasi logam dalam kepekatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hewan pada tingkat trofik yang lebih tinggi.
4)      Jangka wajtu hidup hewan pada trofik yang lebih tinggi biasanya lebih besar dari pada makhluk hidap pada tingkat yang lebih rendah. Dengan demikian, penambahan yang menyangkut tentang umur dapat merupakan factor yang nyata yang mempengaruhi tingkat penambahan logam pada tingkat logam yang lebih tinggi.
5)      Terjadi suatu pemilihan atas dasar kesukaan terhadap pengambialan dan pengeluaran berbagai logam bentuk yang berbeda.
Satu pengecualian untuk penelitian ini adalah merkuri. Kepekatan merkuri dalam spesies perairan sangat berhubungan dengan kedudukannya dalam rantai makanan (Ratkowsky dkk, 1975),khususnya jika bergerak dari herbivira ke predator besar(Bryan, 1979). Young dkk (1980) tidak menemukan adanya biomagnifikasi pada Ag, Cd, Cr, Cu, Fe, Mn, Mi, Pb, dan Zn pada beberapa ekosistem perairan di selatan California, tetapi merkuri, khususnya dalam bentuk organic, pada umunya meningkat sesuai dengan tingkat trofik. Perbandingan antara Cesium dan Kalium di dalam makhluk hidup digunakan untuk menunjukan keadaan trofik makhluk hidup di dalam ekosistem tersebut.
Kepekatan merkuri yang tinggi yang diteliti pada beberapa spesies finfish secara individual dapat lebih merupakan fungsi waktu seperti tingakat trofik. Hubungan positif yang kuat terbentuk antara kepekatan merkuri dengan ukuran tubuh (berat) pada beberapa ikan-ikan predator besar (Walker, 1976; Mackay dkk, 1975; Phillips, 1989). Bryan (1979) beranggapan bahwa baik kedudukan trofik maupun ukuran (umur) merupakan factor penting yang menentukan tingkat kandungan merkuri pada beberapa spesies ikan dan anjing laut. Juga kepekatan logam pada burung dari bermacam muara di Selandia Baru tidak menggambarkan tingkat pencemaran dan perbedaan yang disebabkan pemasukkan makanan (Turner, 1978).


DAFTAR PUSTAKA
Bryan, G.W. 1976. Heavy metal contamination in the sea. In: Johnston, R. (Ed.). Marine pollution. Academic, London. 215-220.
Bryan, G. W. 1979. Bioaccumulation of marine pollutants. Phil. Trans. R. Soc. Lond. B 286: 483-505.
Bryan, G.W. (1969) The absorption of zinc and other metals by the brown seaweed Laminaria digitata. Journal of the Marine Biological Association of the UK 49, 225.
Conell D. W. dan G. J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. (terjemahan). Universitas Indonesia: Jakarta.
Gutknecht, J. 1965. Uptake and retention of cesium-137 and zinc-65 by seaweeds. Limnol. Ocean. 10:58-66.
Kalk, M. (1963) Absorption of vanadium by tunicatcs. Nature. 198, 1010-1011. 
Pentreath, R.J., 1973. The accumulation and retention of 65Zn and 54Mn by the plaice, Pleuronectes platessa L. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 12, 1–18.
Phillips D. J. H. 1977. The use of biological indicator organisms to monitor trace metal pollution in marine and estuarine environments. Environmental Pollution (13): 281-317.
Phillips D. J. H. 1980. Quantitative aquatic biological indicators. Applied Science Publishers: London

Wood J. M. 1974. Biological cycles for toxic elements in the environment. Science 183(129):1049–1052.